Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Inilah Nasib Etnis Melayu di Singapura
Oleh : Redaksi
Senin | 19-08-2013 | 20:58 WIB
singapura....jpg Honda-Batam
Patung Merlion di Singapura.

BATAMTODAY.COM, Singapura - Etnis Melayu di Singapura adalah penduduk asli negara pulau tersebut. Namun, sebagai tuan rumah justru mereka "tak berdaya".


Dalam tulisan New Straits Times, Senin (19/8/2013), yang mengutip sebuah survei pada kebutuhan, keprihatinan dan aspirasi warga Melayu di Singapura, telah mengungkapkan adanya sikap sentimen terhadap kelompok minoritas tersebut.

Hasil survei selama enam bulan yang diumumkan ke publik bulan lalu, bercerita tentang nasionalisme, status mereka secara ekonomi, dan kepedulian sosial. Survei tersebut menunjukkan, bahwa orang-orang Melayu yang identik dengan etnis yang sangat mencintai budayanya, agama, dan negara, justru merasa tak sepenuhnya diterima sebagai bagian dari negara mereka sendiri. Termasuk minimnya partisipasi orang Melayu di Angkatan Bersenjata Singapura (SAF).

Diskriminasi di tempat kerja juga menjadi isu di kalangan masyarakat, yang pada beberapa pekerjaan membatasi perempuan Melayu mengenakan jilbab.

Survei sebanyak 70 yang dilakukan komite independen Suara Musyawarah itu juga mengungkapkan perasaan dikucilkan dari bagian "elit atau sensitif" SAF, seperti komandan, bagian persenjataan dan pertahanan udara, dan bahkan dikeluarkan dari kapal perang angkatan laut.

"Para partisipan mengatakan mereka tidak puas dengan satu atau dua anak Melayu untuk menunjukkan bahwa mereka dapat berkembang di SAF," kata Ketua Komite Suara Musyawarah, Sallim Abdul Kadir (57) kepada The Sunday Times (ST) Singapura, seraya menambahkan bahwa survei ini didasari pada anekdot dan perasaan dalam masyarakat tanpa statistik yang menyertainya.

"Rasa memiliki" masyarakat adalah satu di antara tiga tema utama yang ditemukan dari hasil survei. Survei ini dimulai tahun lalu ketika menteri yang bertanggung jawab Urusan Muslim, Yaacob Ibrahim, mengumumkan pembentukan sebuah komite untuk mendengar dari orang-orang Melayu di Singapura.

Yaacob sendiri diharapkan bisa mengomentari  hasil survei tersebut dalam pekan ini.

Kisah yang dimuat The Sunday Times - edisi mingguan dari The Straits Times - itu membandingkan hasil survei terhadap sensus 2010, yang menunjukkan bahwa etnis Melayu di Singapura tertinggal dalam hal kepemilikan rumah dan pendapatan rumah tangga. Hanya 5,1 persen dari populasi mahasiswa non-Melayu, berusia 15 tahun ke atas, memiliki gelar sarjana, jauh lebih rendah dari angka rata-rata nasional yang sebesar 23 persen.

Pendapatan rata-rata rumah tangga orang Melayu pada 2010 adalah S $3.844 (atau sekitar 31 juta rupiah), di luar kontribusi Central Provident Fund majikan mereka, lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar yang S $ 5.000 (atau sekitar 40 juta rupiah).

Selain itu, kurang dari tiga persen rumah tangga Melayu di Singapura tinggal di rumah pribadi, dibandingkan dengan hampir 20 persen dari rumah tangga keseluruhan.

"Ketika orang-orang Melayu telah membuat kemajuan dalam pendidikan - banyak yang lulus dan mendapatkan nilai yang lebih baik di PSLE (Primary School Leaving Examination), level O dan A, misalnya - namun di banyak daerah masyarakat Melayu telah tertinggal di belakang," The Sunday Times melaporkan.

Sallim, yang memiliki pelatihan dan konsultan pengembangan, mendesak pemerintah untuk menghilangkan persepsi yang tercermin dari hasil survei jika percaya bahwa mereka tidak benar.

Sementara, Wakil Ketua Suara Musyawarah, Alwi Abdul Hafiz, mengatakan, kesetian masyarakat Melayu Singapura telah teruji dua dekade lalu ketika tetap mencintai Singapura daripada kepulauan Melayu (Malaysia).

"Sekarang, ada rasa kebangsaan dan rasa memiliki yang kuat terhadap Singapura, terutama di kalangan generasi muda. Masalahnya adalah, kita merasa bahwa loyalitas kita sedang dipertanyakan dan bahwa kita tidak dapat sepenuhnya dipercaya," katanya.

Survei juga menunjukkan bahwa isu "hak istimewa" untuk orang-orang Melayu - sebagaimana dijamin oleh Pasal 152 Konstitusi Singapura - hampir sulit terwujud.

Dalam status ekonomi, survei itu juga menunjukkan telah terjadi disparitas pendapatan dan minimnya mobilitas sosial. Kondisi ini diperparah oleh kecenderungan orang-orang Melayu yang anggota keluarga yang lebih besar.

Namun, meningkatnya kepedulian sosial di kalangan masyarakat telah menyebabkan lebih dari mereka "ingin membantu orang lain (untuk) memperbaiki kehidupan mereka". Banyak peserta mendesak afar pemerintah menggunakan gaya konsultatif untuk mengelola hal-hal kemelayuan.

Beberapa antara anekdot dari hasil "percakapan dengan masyarakat" ini antara lain:

Tenaga cleaning service, yang harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dengan orang asing, beberapa di antaranya bersedia menerima S $ 450 (3,7 juta rupiah) per bulan untuk bekerja 18 jam sehari - sesuatu yang sulit dilakukan untuk menghidupi keluarga di Singapura.

Dua pengacara Melayu yang melamar pekerjaan - satu di sebuah perusahaan terkait dengan pemerintah dan yang lainnya di sebuah bank terkenal di Singapura - mengklaim aplikasi mereka ditolak karena ras, dan, 

Pengantar barang, yang telah menghabiskan enam bulan untuk mencari pekerjaan, harus menguasai bahasa Mandarin padahal pekerjaan tersebut (jasa pengiriman) tidak terlalu memerlukan komunikasi verbal. (*)

Editor: Dodo