Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Maltreatment Sebagai Peluang Trafiking dan Eksploitasi Anak
Oleh : Redaksi/TN
Minggu | 17-04-2011 | 07:02 WIB

Batam, batamtoday - Trafiking maupun eksploitasi terhadap anak, khususnya anak perempuan, memang menjadi isu nasional sepuluh tahun belakangan.Meski berbagai rencana dan aksi strategis telah dilakukan, namun estimasi data terdokumentasi menunjukkan kecenderungan peningkatan hampir setiap tahunnya.

Berdasarkan Data Center KPAI 2009, jumlah anak korban trafiking mencapai angka 100.000, jumlah anak korban eksploitasi seksual 55.000, jumlah anak korban tindak kekerasan 2.810.000, jumlah anak jalanan 104.497, sedangkan jumlah pekerja anak sebesar 1.760.000.

Lalu, bagaimana dengan persoalan hak anak? Walaupun hal ini merupakan kewajiban negara, tapi orangtua dan masyarakat adalah pihak yang bertanggung jawab dalam menjaga, memelihara, dan memenuhi hak-hak anak.

Akan begitu panjang sekali untuk merunut berbagai kasus trafiking dan eksploitasi anak. Selain faktor sosial dan ekonomi – seperti kemiskinan – banyak kasus ternyata bermula dari bagaimana keluarga (orangtua) mengasuh & merawat anak.

Maltreatment, yang didefinisikan sebagai penyimpangan orangtua dalam memperlakukan anak, kerap menjadi peluang besar bagi anak terjerumus trafiking dan eksploitasi. Dalam maltreatment itulah ditemukan banyak pelanggaran terhadap hak anak.

Shoba Dewey Chugani mengatakan, “Maltreatment ini akan menimbulkan masalah perkembangan dari kognitif, emosional, fisik, dan sosial.” Lebih lanjut, ia pun menjelaskan jika dalam usia sangat muda, anak disakiti atau diterlantarkan, anak akan kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang di sekitarnya, termasuk orangtua.

Anak dapat mengalami kesulitan bersosialisasi.

Hal inilah yang memberi peluang bagi pihak yang ingin mengambil manfaat dari situasi: sebagai salah satu modus menjerumuskan anak untuk diperdagangkan dan dieksploitasi. Kasus serupa banyak menimpa anak-anak yang berada di jalanan karena diterlantarkan maupun mereka yang memutuskan kabur dari rumah.

Pendiri Yayasan Sahabat Anak Saraswati ini mengakui bahwa bagi anak perempuan, dampak buruknya bisa lebih rumit dibandingkan anak laki-laki.

Pandangan dan perilaku orangtua yang overprotected dan mendomestikasikan anak perempuan sejak dini di rumah, membuat perkembangan kognitif dan kesempatan belajar di masyarakat menjadi kurang.

Mereka kemudian menjadi lebih rentan terhadap modus penipuan untuk diperdagangkan sebagai buruh kasar/rumah tangga maupun dieksploitasi secara seksual.
Untuk mengatasi problem psikologis yang menimpa orangtua dan anak ini, Shoba melihat adanya kebutuhan terhadap support system dari lingkungan/komunitas untuk membantu ketidaksiapan dan ketidakmampuan orangtua dalam proses perawatan dan pengasuhan anak.
Selain itu, diperlukan relasi setara yang seimbang antara ibu dan ayah untuk memikul tanggung jawab memiliki anak.

“Kalau kita sudah punya anak, berarti ini ‘kan sebuah tanggung jawab yang sangat besar. Tentunya akan ada kemungkinan si ibu ngga bisa bekerja, apakah nanti ayahnya akan cukup untuk memberikan (kebutuhan).

Misalkan ada komunikasi yang baik, saya pikir tidak akan menjadi masalah. Secara psikologis, sebaiknya memang si anak mendapatkan role model dari keduanya, dan itu harus balance, ungkapnya.

Persoalan maltreatment ini membuktikan kalau persoalan trafiking dan eksploitasi anak adalah persoalan multidimensi yang bisa berhulu dari masalah psikologis dan gender, dan berhilir pada banyak hal yang kadang sulit terbayangkan. Namun, tentu bukan berarti tak bisa dipecahkan.