Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

1.000 Anak di Kepri Bermasalah Hukum
Oleh : Charles
Kamis | 01-08-2013 | 14:22 WIB

TANJUNGPINANG, batamtoday - Sebanyak 1.000 anak di Provinsi Kepulauan Riau bermasalah dengan hukum yang ditangani Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Kepri, dalam tujuh bulan terakhir. Ribuan anak bermasalah dengan hukum itu berada di wilayah Tanjungpinang, Bintan dan Batam.


Kepala Sub-Seksi  Bimbingan dan Klien Anak, Bapas Tanjungpinang, Agus Setiawan, mengatakan, kasus yang menonjol dari 1.000 anak bermasalah hukum (ABH) tersebut adalah pencurian, pencabulan, serta narkoba. Karena mereka masih di bawah umur, mereka mendapat pendampingan dari Seksi Bimbingan dan Klien Anak Bapas.

"Jumlah itu merupakan kasus anak yang riel kita tangani di pengadilan, belum termasuk yang dilakukan penyelesaian secara diversif atau restorical justice di tingkat penyidik atas adanya kesepakatan dan damai yang dilakukan orang tua anak dengan korban," ungkap Agus.

Sementara, hukuman terberat dari sejumlah kasus ABH ini paling tinggi hukuman penjara 2 bulan lebih. Sisanya, kebanyakan majelis hakim menghukum sesuai dengan masa tahanan kurungan selama proses penyidikan yang sudah dilakukan, dan saat putus anak tersebut dikembalikan pada orang tua.

Namun demikian, Agus juga mengaku masih prihatin dengan pelaksanaan penahanan ABH yang diperlakukan sama dengan tahanan dewasa di rutan karena belum ada rutan atau lapas khusus anak di Provinsi Kepri.

Mengenai koordinasi dan penanganan anak bermasalah hukum dengan penyidik di luar pengadilan, dikatakan Agus, hingga saat ini berjalan dengan baik. Dan sesuai dengan UU Perlindungan Anak dalam restorical justice, hingga  lebih kurang 20 - 30 persen kasus ABH diselesaikan dengan diversip dan anak yang bermasalah tersebut dikembalikan pada orang tua dan dalam bimbingan Bapas.

Di sisi lain, berdasarkan hasil penelitian dan penanganan Bapas pada 1.000 ABH di Kepri, penyebab mereka melakukan tindakan kriminal karena faktor kesalahan pergaulan, lingkungan, dan lemahnya perhatian dan pengawasan dari orang tua.

"Orang tua cenderung membiarkan anak bebas bergaul tanpa ada kontrol sehingga anak gampang mengikut dan terpengaruh lingkungan," ujarnya.

Selain itu, sebagiaan anak yang melakukan tindak kriminal, tambah Agus, juga disebabkan faktor ekonomi dan sosial lingkungan, termasuk juga faktor budaya yang mempengaruhi hingga sebagiaan anak putus sekolah. (*)

Editor: Dodo