Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ringgit Anjlok, Terparah dalam Tiga Tahun
Oleh : Redaksi
Rabu | 31-07-2013 | 16:19 WIB

BATAM - Nilai tukar mata uang ringgit Malaysia turun ke level terlemah dalam tiga tahun. Pelemahan dipicu penurunan ekspor, perlambatan pertumbuhan ekonomi, serta kehati-hatian investor global dalam menyentuh aset pasar negara berkembang.


Ringgit turun 8,8 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak 9 Mei, sehingga mata uang ini menunjukkan salah satu kinerja terburuk dalam pasar Asia. Salah satu faktor di baliknya adalah keputusan investor global menjauh dari pasar negara berkembang. Mereka cemas akan dampak yang terjadi bila AS sebentar lagi mencabut stimulus moneter mereka yang agresif.

Ringgit terakhir diperdagangkan sekitar 3,2332 per dolar AS. Namun, Malaysia sebenarnya masih menghadapi masalah di dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi Malaysia sepanjang kuartal I tumbuh pada laju terendah dalam tiga tahun. 

Sementara itu, pelemahan ekspor memperburuk neraca perdagangan. Investor asing pun masih memegang utang pemerintah dalam jumlah yang tinggi. Kombinasi ini turut membebani ringgit.

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings, pada Selasa kemarin menurunkan outlook peringkat utang Malaysia dari stabil menjadi negatif, menggarisbawahi kondisi keuangan negara sebagai “kunci pelemahan peringkat.”

Sejumlah pengamat terkemuka, termasuk dari Bank Dunia, menyatakan Malaysia berisiko mencatatkan defisit transaksi berjalan untuk pertama kalinya sejak 1997. Bank Dunia menjadi satu lagi lembaga keuangan yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Malaysia tahun ini. Bank Dunia memprediksi perekonomian Malaysia hanya tumbuh 5,1 persen atau turun dari 5,6 persen tahun sebelumnya.

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Malaysia adalah yang paling rentan terhadap arus modal keluar, menurut studi Bank of America-Merrill Lynch (BoAML). Terlebih jika AS “secara mendadak” mencabut stimulus moneter AS atau yang disebut quantitative easing (QE). Bagaimanapun, Malaysia selama ini memiliki laju arus modal masuk tertinggi di Asia Tenggara jika diukur berdasarkan persentase terhadap produk domestik bruto.

Volume portofolio masuk ke Malaysia sejak fase pertama QE bermula pada 2009 lampau, sudah lebih dari tiga kali lipat dibandingkan periode 2004-2009. Sejumlah besar di antaranya tersalur ke dalam surat utang pemerintah Malaysia.

Tingginya kepemilikan asing akan surat utang pemerintah—sebesar 49,5 persen pada akhir Mei—kini berubah menjadi satu “titik rawan,” kata Hak Bin Chua, ekonom Asean untuk BoAML.

Yang ditakutkan kini adalah ketika fundamental ekonomi Malaysia memburuk, bersamaan dengan penguatan dolar AS dan tingginya imbal hasil surat utang Treasury AS, akan membuat investor asing menjauhi obligasi pemerintah Malaysia. (*)

sumber: The Wall Street Journal