Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dianggap Rusak Demokrasi, Politik Dinasti Tetap Harus Dibatasi
Oleh : Surya
Rabu | 24-07-2013 | 15:59 WIB

JAKARTA, batamtoday - Pengamat politik M. Qadari mengungkapkan politik dinasti bukan terjadi pasca reformasi saja, tetapi terjadi sejak jaman Orde Baru melalui banyak klan atau trah.


Sistem politik sekarang yang terbuka, menyebabkan proses menjadi desentralisasi dimana kekuasaan yang tidak mengerucut menjadi satu keluarga.

Ketika Orba, politik dinasti selain terpusat pada keluarga Cendana, juga terdapat pada trah Sumitro, klan Sutowo dan lainnya.

Namun karena sistem politik saat itu tertutup, jadi kesannya hanya ada satu keluarga sentral yakni keluaga Cendana.

"Jadi politik dinasti itu bukan fenomena baru pasca reformasi, tetapi sudah ada sejak jaman otoriter dulu, " ujar Qadari dalam dialog kenegaraan dengan tema 'Fenomena Politik Dinasti' bersama narasumber lainnya Senator asal Banten Ahmad Subadri dan pengamat hukum tatanegara Margarito Kamis, di gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (24/7/2013).

Politik dinasti, kata Qadari, hanya bisa disebut jika telah melalui tiga generasi yakni dari ayah, anak dan cucu. Namun, jika masih dalam batas anak, istri, saudara, belum disebut politik dinasti. "Itu baru coba-coba atau politik kekerabatan, " katanya.

Namun demikian kata Qadari politik dinasti juga memiliki manfaat disamping mudharat yang lebih besar. Keluarga dari politik dinasti, harus diakui memiliki proses politik atau pengkaderan politik lebih baik daripada keluarga biasa saja.

"Keluarga politik dinasti juga memudahkan bagi masyarakat untuk memberikan penilaian, " ujarnya.

Sementara kekurangan politik dinasti kata Qadari sistem politik yang dominan dan hampir tertutup, tidak memberikan kesempatan orang-orang lain untuk menduduki jabatan politik tertentu.

"Selain rawan meritokrasi, politik dinasti juga mengurangi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan, " ujarnya.

Atas kondisi yang lebih banyak minus dari politik dinasti tersebut, Qadari menilai harus dibatasi aturannya oleh Pemerintah dan DPR, berupa adanya interval atau masa jeda dari keluarga inti untuk mengikuti Pemilukada.

Subadri sepakat Pemerintah dan DPR  harus membatasi keluarga inti menduduki jabatan kepala daerah.
"Harus dibatasi, saat ini politik dinasti sudah bahaya karena menutup kesempatan orang lain,"  katanya.

Subadri tak mengelak politik dinasti paling sempurna terjadi di provinsi Banten. "Kalau ingin melihat politik dinasti, kita harus berguru di Banten. Masyarakat dengan sukacita memilih kepala daerahnya, sebab tipologi pemilih ada yang suka karena diberi mie instan. Bukan hanya soal kesadaran masyarakat, tetapi orang-orang pintar juga cenderung abai untuk memilih, " ujarnya.

Hal berbeda dinyatakan oleh Margarito Kamis. Menurutnya konstitusi membolehkan setiap WNI berkedudukan sama di mata hukum termasuk untuk mengikuti atau mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik sebagai Bupati/Walikota atau Gubernur.

"Tak ada larangan bagi keluarga incumbent untuk mengikuti pilkada. Tak fair dan jahat sekali melarang Bupati/Walikota/Gubernur mencalonkan keluarganya di Pilkada, " katanya.

Margarito menantang apakah kepala daerah pasca reformasi ata jauh lebih baik dibandingkan dengan politik dinasti. "Lihat saja yang ditangkap KPK saat ini, apakah semua berasal dari politik dinasti atau yang bukan dari trah?".

Karenanya, Margarito mengajak semua elemen negara untuk menyehatkan kehidupan bernegara pada konstitusi dengan melakukan pengawasan dan mencegah praktek korupsi.

"Bukan cuma dinasti, tetapi sistem dan  orang-orangnya. Mari sehatkan negara, siapapun sama di mata hukum dengan jaminan konstitusi, " ujarnya.

Editor: Surya