Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPD Ingin Gubernur Dikembalikan ke Pemilihan di DPRD, bukan Dipilih Langsung
Oleh : Surya
Jum'at | 05-07-2013 | 16:36 WIB
farouk_muhammad.jpg Honda-Batam

Anggota DPD RI Farouk Muhammad

JAKARTA,  batamtoday - Mengingat pemilihan kepala daerah (Pemilukada) banyak menimbulkan konflik horisontal di tengah masyarakat selama ini, seperti kerusuhan, anarkisme, politik uang, dan menelan biaya sangat besar, maka Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dalam revisinya mendukung gubernur dipilih oleh DPRD.


Sedangkan untuk bupati dan wali kota tetap dipilih langsung, karena  bupati dan wali kota berhadapan langsung dengan rakyat di wilayahnya, dan otonomi daerah itu berada di kabupaten/kota. Sementara gubernur hanya sebagai tata kelola pemirintahan.

"Dalam revisi DPD RI, pemilihan gubernur oleh DPRD, sedangkan bupati dan wali kota tetap langsung oleh rakyat, karena otonomi daerah itu berada di kabupaten/kota. Sedangkan gubernur hanya sebagai tata kelola pemerintahan provinsi," tandas Farouk Muhammad (Ketua Timja RUU Pilkada DPD RI), dalam talk show 'Dinamika Pilkada di Berbagai Daerah Menjelang Pemilu 2014’ bersama Direktur Lima Ray Rangkuti, dan  Saifullah Ma’shum (Ketua DPP PKB Bidang Pemenangan Pemilu) di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (5/7). 

Kenapa kabupaten/kota tetap dipilih langsung, menurut Farouk karena lebih menjamin legalitas demokratisnya dibanding oleh DPRD.

"Itulah perlunya merevisi sistim pemilukada yang dalam pelaksanaannya menimbulkan konflik horisontal, politik uang, pemaksaan kehendak, dan kalau harus menyelesaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pun tetap rumit karena banyak yang berkepentingan bisa melakukan apa saja untuk memenangkannya. Ini demokrasi prosedural yang mengkhianati demokrasi itu sendiri," tambah Farouk.

Ray Rangkuti menilai pilkada itu memang rumit, dan fatsun-etika politiknya rendah karena banyak aktor yang terlibat. Dari pengurus pusat partai (DPP), pasangan calon, pengurus partai wilayah (DPD/DPW), pengurus cabang (DPC), yang tidak ada komunikasi yang baik, sehingga satu parpol mendukung cagub yang berbeda, seperti kasus Pilkada Jawa Timur.

"Nah, KPU juga akan tergantung kepada pasangan calon siapa yang akan didukung, maka itulah yang akan dimenangkan. Jadi, kerumitan itu ada di DPP, DPD, DPC, KPU, dan pasangan calon sendiri," ujarnya.

Ditambah lagi miskin mentalitas lanjut Ray, di mana semua parpol dan pasangan calon tidak siap mengikuti proses dan mekanisme yang fair, yang sudah disepakati bersama. Akibatnya, banyak waktu dan tenaga dihabiskan hanya untuk mengurus masalah administrasi, dan prosedural daripada substansi penyelenggaraan pilkada itu sendiri.

“Apalagi, semangat kandidat ‘membunuh’ sebelum bertanding, memang makin rumit. Padahal, harus kita akui bahwa figur calon itu jauh lebih kuat dibanding partai sendiri,” tegas Ray Rangkuti.

Saifullah Ma’shum mengakui jika dalam pilkada tersebut banyak intervensi politik maupun uang dari berbagai pihak, seperti partai, incumbent-penguasa, uang, teror, dan sebagainya.

“Anehnya, tak ada jaminan dari akademisi, LSM, aktifis dan sebagainya itu yang tidak terintervensi dan terkontaminasi dengan uang. KPU juga ikut menilai keabsahan sebuah parpol, meski dalam AD/ART-nya menjadi kewenangan Ketua Umum, namun tetap menyatakan partai itu tidak sah. Seperti kasus Khofifah Indar Parawansa di Pilgub Jatim. Untuk itulah perlunya sistim ini dievaluasi,” katanya kecewa.

Editor : Surya