Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ICW Nilai Pelemahan UU Tipikor Dalam Revisinya
Oleh : Andri Arianto
Senin | 28-03-2011 | 10:00 WIB

Jakarta, batamtoday - Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Febridiansyah, menyayangkan pelemahan dalam revisi UU Tipikor. Satu dari sembilan poin temuan ICW yang memprihatinkan adalah pelaku korupsi di bawah Rp 25 juta terancam bebas dari jerat hukum alias tidak diproses.

”Yang sangat janggal dan paradoks menurut kami untuk kasus korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 25 juta bisa dihentikan penuntutannya. Artinya orangnya tidak bisa dipidana," ujar Febri dalam jumpa pers di kantor ICW, Minggu 27 Maret 2011.

Hal tersebut, lanjut Febri, berlaku apabila pelaku mengembalikan uang hasil korupsinya sehingga tidak dikenakan sanksi pidana.

Dia menambahkan, sejatinya pemerintah tidak melihat berapa nominal uang yang dikorup namun terletak pada niat jahat pelaku korupsi yang sudah merugikan uang negara.

”Sepintas ini masuk akal, tapi bagaimana kalau korupsi itu
disembunyikan? Bagaimana pula kalau korupsi itu terjadi di pedesaan yang uang Rp 25 juta itu bernilai cukup besar dan misalnya untuk beli pupuk, beras, jaminan kesehatan dan sebagainya,” bebernya.

Hukuman Minimal

Sejumlah pasal di RUU Tipikor tersebut justru lebih lemah dan kompromistis dibandingkan UU 31/199 dan UU 20/2001 tentang Tipikor yang ada dan berlaku saat ini.

"Sehingga wajar jika langkah pemerintah ini dikatakan berseberangan dengan upaya agenda pemberantasan korupsi. Bahkan, maraknya upaya kriminalisasi dan minimnya realisasi atas janji-janji pemberantasan korupsi membuat publik ragu terhadap niat pemerintah tersebut," katanya.

Febri menyebutkan ada sembilan pelemahan pemberantasan Korupsi di RUU Tipikor tersebut, diantaranya yaitu menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur di Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999.

"Hilangnya pasal 2 yang paling banyak digunakan aparat penegak hukum dalam menjerat 42 tersangka korupsi dengan pasal tentang kerugian keuangan negara," kata Febry.

Menurt Febri, hal ini ada miss interpretasi dari penyusunan RUU yang mengatakan bahwa UNCAC tidak lagi menganut prinsip tentang kerugian keuangan negara. Sehingga RUU Tipikor tidak perlu mengatur soal penyelamatan kerugian negara tersebut. Hal ini akan merugikan pemberantasan korupsi di Indonesia sebagian besar masih menekankan pada
perampokan aset negara atau keuangan negara.

"Tidak bisa dibayangkan jika penyelamatan keuangan negara tidak lagi menjadi salah satu prioritas dalam pemberantasan korupsi ke depan," kata Febri lagi.

Febri mengatakan dalam tataran lebih ekstrim sebenarnya penghilangan pasal ini bisa membuat kasus-kasus besar seperti Bank Century sulit diproses dengan UU pemberantasan korupsi.

Disebutkan juga RUU tersebut menghilangkan ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal. Padahal ketentuan tentang ancaman hukuman minimal ini adalah salah satu ciri dari sifat extraordinary korupsi di Indonesia.

ICW menemukan 7 pasal di RUU Tipikor yang tidak mencantum ancaman hukuman minimal seperti penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan.