Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPD RI dan Apkasi Teken MoU Kaji Potensi Sengketa Hubungan Pusat-Daerah
Oleh : si
Minggu | 16-12-2012 | 18:42 WIB
Irman_Gusman.jpg Honda-Batam

Ketua DPD RI Irman Gusman

JAKARTA, batamtoday - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) menandatangani nota kesepahaman bersama atau memorandum of understanding (MoU) yang butirnya antara lain mengkaji bersama potensi sengketa hubungan pusat-daerah dan antardaerah.



Ketua DPD Irman Gusman dan Ketua Umum APKASI Isran Noor menekan MoU itu di Jakarta kemarin.

Isran menyadari posisi DPD sebagai lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan yang anggotanya wakil setiap provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum dan bertugas memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah menuju masyarakat yang bermartabat, sejahtera, dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Posisi DPD bersinergi dengan APKASI sebagai organisasi yang mewadahi kepentingan dan menyalurkan aspirasi pemerintah kabupaten seluruh Indonesia, yang pembentukannya dideklarasikan tanggal 30 Mei 2000 di Jakarta.

“Nota kesepakatan bersama ini bertujuan untuk meningkatkan dukungan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang konstitusional DPD,” tandas Isran.

Dalam MoU ini para pihak ditekan pada kedudukan dan posisinya masing-masing, bersepakat untuk melakukan kerjasama guna peningkatan kinerja masing-masing. Oleh karenanya, para pihak mengikatkan dirinya satu sama lain serta merealisasikan butir-butir kesepakatan nota kesepahaman bersama.

“Sebelum penandatanganan MoU ini, antara DPD dan APKASI telah lama menjalin kerjasama, baik di bidang hukum, politik, maupun pembangunan daerah. Pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang konstitusional DPD memiliki makna dan dampak yang sangat penting bagi pembanguan daerah. Kinerja DPD terbukti banyak menyerap aspirasi masyarakat dan daerah,” tambah Isran.

Ia berharap, realisasi butir-butir kesepakatan nota kesepahaman bersama bisa memperjelas konsepsi pelaksanaan otonomi daerah, mewujudkan harmoni dan koherensi pembangunan nasional dan daerah, serta potensi sengketa hubungan pusat-daerah, antardaerah, dan pola penyelesaiannya.

“Yang mendesak adalah meminimalisasi sengketa hubungan pusat-daerah serta ketidakpastian otoritas pemerintahan.”

Dalam kesempatan itu, Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD I Wayan Sudirta mengingatkan DPD dan APKASI untuk merealisasikan butir-butir kesepakatan nota kesepahaman bersama, antara lain mengkaji bersama peraturan daerah.

“Daerah-daerah bergejolak karena konsepsi pelaksanaan otonomi daerah tidak kunjung jelas. Keuangannnya juga. Ibarat kepala dilepas ekor dipegang. DPD dan APKASI merasakannya.”

Ia merujuk ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Jenis dan hierarkinya terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR), Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota.

Jika kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki maka kekuatan perda kabupaten/kota lemah terhadap kekuatan perda provinsi. Di daerah, jenis peraturan perundang-undangan mencakup perda yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, Gubernur, DPRD kabupaten/kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa, atau yang setingkat.

“Otomatis perda kabupaten/kota bisa dibatalkan perda provionsi. Berarti hierarki ini melemahkan otonomi daerah di kabupaten/kota,” ia menukas.

Ketentuan UU 12/2011 ini berbeda dengan ketentuan UU sebelumnya, yaitu UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang hanya mengenal satu jenis perda. Dalam ketentuan UU yang terakhir, yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Ruang lingkup MoU-nya ialah merumuskan bersama konsepsi pelaksanaan otonomi daerah, khususnya menyangkut hubungan administratif, hubungan kewilayahan, dan hubungan pengelolaan sumberdaya alam, serta kekhasan daerah-daerah; menyosialisasikan bersama kebijakan strategis yang mewujudkan harmoni dan koherensi pembangunan pusat-daerah; serta mengkaji bersama potensi sengketa hubungan pusat-daerah, antardaerah, dan pola penyelesaiannya.

Ruang lingkup lainnya ialah mengambil langkah dan upaya bersama dalam pembangunan daerah untuk mengatasi kesenjangan antarwilayah; mengembangkan langkah dan upaya bersama dalam mengaktualisasikan Bhinneka Tunggal Ika dan Wawasan Nusantara; serta mengembangkan langkah dan upaya bersama pembangunan berkelanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.