Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tsunami Ekonomi Jepang Segera Landa Indonesia
Oleh : Tunggul Naibaho
Minggu | 13-03-2011 | 11:46 WIB

Batam, Batamtoday - Meski gelombang tsunami Jepang tidak menjangkau daratan Indonesia, namun tidak demikian dengan dampak perekonomian akibat amukan tsunami yang meluluhlantakan jutaan rumah, infrastruktur, dan pabrik-pabrik di jepang.

Karena itu pemerintah Indonesia harus segera melakukan langkah-langkah cepat, karena jika tidak, maka Indonesia bisa terkena Tsunami ekonomi.

Demikian disampaikan Ketua Presedium Nasional Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSP BUMN) Bersatu, Arif Poyuono kepada batamtoday Minggu 13 Maret 2011.

"Tsunami ekonomi Jepang pasti akan segera kita rasakan, dan karenanya pemerintah SBY harus segara bertindak, dan jangan cuma membahas pepesan kosong soal berita wikileaks dan berita dari koran The Age," tegas Arif. 

Apalagi saat ini perekonomian Indonesia sedang mengalami inflasi yang tak kunjung stabil serta rencana pembatasan BBM akibat dari sudah tidak mampunya lagi pemerintah menanggung subsidi, tambah Arif.

Jepang adalah negara raksasa ketiga dari segi kekuatan ekonominya, maka apa yang terjadi di Jepang pasti akan berdampak pada keseimbangan ekonomi global. Terlebih bagi Indonesia, tandas Arif, mempunyai ketergantungan ekonomi sangat besar kepada negara Sakura itu, baik sebagai tujuan ekspor maupun negara investor.

Tsunami Jepang tidak saja akan berdampak bagi Indonesia, apalagi saat ini ekonomi dunia belum juga stabil paska krisis keuangan di Amerika Serikat, serta berkepanjangannya krisis politik di Timur Tengah yang menyebabkan tingginya harga minyak dunia, tentu saja, jelas Arif, imbas dari tsunami yang terjadi di Jepang akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, dimana jumlah investasi Jepang dan bantuan bantuan dana hibah yang telah direncanakan kepada Indonesia serta komitmen investasi jepang terhadap Indonesia cukup besar.

"Jepang adalah salah satu negara tujuan ekspor bagi Indonesia untuk sektor tekstil, furniture, hasil perkebunan, dan Migas," ucap Arif.

Akibat gempa dan tsunami tersebut, para pemimpin partai berkuasa, Partai Demokrasi Jepang (DPJ) atau Minshuto pimpinan Perdana Menteri (PM) Naoto Kan, serta partai-partai oposisi telah mendesak penyediaan anggaran darurat untuk membantu mendanai upaya-upaya pemulihan. Kantor berita Kyodo melaporkan bahwa PM Naoto Kan telah meminta khusus dana darurat untuk menyelamatkan negeri itu dari tsunami ekonomi.

Dengan demikian dampak Tsunami Jepang akan sangat mempengaruhi ekonomi Indonesia dimana komitmen investasi dan dana bantuan hibah  dari Jepang akan dihentikan untuk waktu yang tidak dapat diprediksi, sebab jepang sendiripun harus berusaha menyelamatkan ekonomi domestik mereka. Tidak itu saja kemungkinan penjadwalan hutang pemerintah Indonesia kepada jepang kemungkinan akan dibatalkan. Hal ini pasti dilakukan oleh Jepang karena Jepang pun membutuhkan dana besar untuk melakukan pemulihan ekonominya dan pembangunan infrakstrukturnya akibat Tsunami yang melanda Jepang.

Berkait itu, maka hampir dipastikan volume ekspor Indonesia akan mengalami penurunan drastis, prediksi Arif.

"Perekonomian Indonesia bisa jadi akan semakin melemah. Tentu saja yang sangat terpukul adalah para pengusaha dan perusahaan yang berorientasi pasarnya ke Jepang," warning Arif.

Apalagi saat ini pengusaha dan perusahaan di Indonesia harus menghadapi ancaman biaya ekonomi tinggi akibat kelangkaan BBM, Pungli, rusaknya infrakstruktur di Indonesia, sering macetnya peyebrangan tol Jakarta merak, naiknya tarif PLN, serta kurangnya daya beli masyarakat, rinci Arif.

" Yang pasti perusahaan perusahan yang berorientasi ekport ke Jepang akan mengurangi produksi malah mungkin akan menghentikan produksinya untuk sementara akibat hilangnya pasar mereka di Jepang  yang pada akhirnya akan meyebakan PHK," ungkap Arif.

Karena itu, Arif mendesak, pemerintah SBY harus segera membuat suatu kebijakan khusus untuk melindungi perusahaan-perusahan yang berorientasi ekpor ke Jepang yang akan mengalami penurun produksi dan melakukan penghentian sementara operasi serta melakukan PHK, akibat tsunami Jepang. Kebijakan tersebut bisa berupa keringanan pajak, dan selain itu Pemerintah Indonesia pun harus bisa mencarikan pasar alternatif bagi produk produk yang tadinya berorientasi ekport ke Jepang.

"Jika pemerintah tidak segera menyiapkan langkah-langkah kebijaksan khusus, maka tsunami Jepang akan dapat menyebakan tsunami Ekonomi di Indonesia," tandas Arif lagi.

Jika Tim Ekonomi SBY jeli dalam melihat opportunity akibat Tsunami di Jepang dan jangan Cuma 'omong doang' atau berharap keajaiban saja serta  mengampangkan dampak dari tsunami tersebut.

Bahkan sebenarnya,  tsunami di Jepang dapat memberikan opportunity business bagi perusahaan di Indonesia, misalnya saja lakukan penjajakan dengan pemerintah Jepang agar perusahaan perusahan kontruksi Indonesia bisa ikut tender untuk membangun kembali kota di  Jepang yang hancur dilanda tsunami.

Atau pemerintah Indonesia membuka pasar untuk perusahaan perusahaan Indonesia yang memproduksi kebutuhan kebutuhan bahan untuk pembangunan kembali infrasktrutur  serta tempat tempat tinggal dijepang yang rusak akibat tsunami, misalnya saja Semen, besi, pipa, kayu, alat alat rumah tangga, dan  furniture. Tentu semua ini akan memberikan dampak terhadap tumbuhnya sektor usaha tersebut di Indonesia .

"Tetapi jika pemerintah hanya mempersoalkan pepesan kosong wikileaks saja dan hanya asyik dengan drama politik sabun reshuffle dan  Menko Perekonomiannya hanya sibuk berpolitik saja, maka kesempatan (business opportunity) yang harusnya bisa didapat dari gempa tsunami Jepang cuma akan jadi pepesan kosong saja,"

Karena itu FSP BUMN Bersatu, kata Arif, mendesak pemerintah SBY agar membuat kebijakan ekonomi khusus untuk menanggulangi dampak tsunami di Jepang terhadap terhadap sektor sektor usaha yang berorientasi ekspor ke Jepang.

Kemudian, pemerintah juga segera pemerintah mencarikan pasar alternatif bagi produk-produk yang biasa di ekspor ke Jepang agar sektor usaha yang berorientasi eksport ke Jepang tidak mengurangi produknya atau menghentikan operasinya.