Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Banjir Bandang Landa Tangse Akibat Illegal Logging
Oleh : Tunggul Naibaho
Jum'at | 11-03-2011 | 16:38 WIB
wasior.jpg Honda-Batam

Banjir bandang di Wasior pada bulan Oktober 2010 yang lalu, juga disebabkan praktek illegal logging yang tidak terkendali. (Foto: Ist).

Pidie, Batamtoday - Banjir bandang dilaporkan terjadi di wilayah Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, kemarin Kamis 10 Maret 2011, menelan korban 13 jiwa meninggal, 21 orang hilang, dan ratusan rumah penduduk hanyut.

Demikian dilaporkan WALHI Aceh dalam rilisnya kepada batamtoday Jumat 11 Maret 2011.

Banjir bandang dilaporkan terjadi pada tengah malkam sekitar pukul 23.30 WIB. Banjir terjadi menyusul hujan deras selama dua hari di daerah pegunungan itu juga merusak berbagai fasilitas publik. Banjir bandang juga telah menyebabkan sejumlah desa rusak parah, yaitu Layan, Peunalom Sa, Peunalom Dua, Pucok Sa, Pucok Dua, Blang Dalam, dan Blang Me.

Kayu-kayu gelondongan turun dari bebukitan menyapu perumahan penduduk dan fasilitas publik. Lebih dari seratus rumah hancur akibat hantaman pohon kayu besar yang dibawa banjir bandang. Ruas jalan Tangse-Geumpang juga mengalami gangguan, setelah longsor di Desa Alue Lhok, berbatasan Kecamatan Mane.

Sejauh ini bantuan mulai berdatangan, namun demikian jumlahnya belum memadai.

Banjir di Tangse ini mengingatkan kejadian serupa di Wasior, di Papua Barat bulan Oktober 2010 lalu yang telah menewaskan 29 orang dan 103 orang lainnya dinyatakan hilang dan menyebabkan fasilitas dan infrastruktur pemerintah dan asset milik masyarakat rusak serta hancur.

Atas musibah ini, Teuku Muhammad Zulfikar, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, mengingatkan semua pihak, terutama pemerintah agar lebih tanggap terhadap upaya pemulihan kondisi hutan. Selain melakukan peningkatan kelestarian hutan untuk kepentingan keseimbangan tata air dan lingkungan hidup, diharapkan pemerintah dapat lebih serius mengupayakan pelestarian hutan. Namun kenyataannya upaya tersebut belum sebanding dengan proses perusakan yang terjadi.

Lagi-Lagi Illegal Logging

Walhi Aceh mensinyalir banyak terjadi berbagai kasus illegal logging di wilayah tersebut. Bahkan pihak kepolisian sudah berkali-kali menangkap truk pengangkut kayu olahan hasil illegal logging dengan jumlah banyak. Kayu - kayu tersebut diturunkan dari daerah pegunungan seperti, Kec. Geumpang, Tangse dan Mane serta daerah-daerah pegunungan lainnya di Pidie. Ini artinya kinerja pengawasan petugas penjaga hutan di daerah pegunungan Tangse masih rendah.

Bencana serupa juga pernah terjadi di Tangse pada tahun 1985, yang menyebabkan sebagian besar kemukiman Beungga, Kecamatan Titeu Keumala serta 5 kecamatan di sekitarnya  terendam banjir, sejumlah penduduk meninggal dunia dan hancurnya berbagai fasilitas publik.

Illegal logging, menurut Muhammad Zulfikar, memang mulai marak di Aceh terutama setelah bencana tsunami, dimana kebutuhan kayu sangat besar dalam masa rekonstruksi Aceh. Investasi modal dan eksploitasi sumber daya hutan merupakan ancaman besar bagi kelestarian hutan Aceh. Ke depan, kerusakan hutan akan tetap terjadi dan bahkan terus meningkat apabila upaya yang dilakukan pemerintah sekedar semacam ”gertak sambal” ala Moratorium Logging.

Zulfikar menyatakan keprihatinanya atas kerusakan hutan yang terjadi di wilayah Tangse dan sekitarnya. Kehidupan mendatang, katanya, akan sangat tergantung pada apa yang kita lakukan sekarang dalam menyelamatkan hutan dan lingkungan.

Perusakan sumber daya hutan di tanah air menurut Zulfikar menghadapi tantangan berat karena hutan tetap jadi sasaran utama pihak pihak tertentu untuk mencari keuntungan dalam jumlah besar dengan cara yang mudah.

Zulfikar mengajak semua pihak untuk mempertahankan keberadaan sumber daya hutan dan meningkatkan kawasan yang berfungsi hutan agar kelestarian hutan dapat terjaga dengan baik. Hal ini paling tidak akan mengurangi ancaman bencana alam lebih parah, yang kini tengah mengintai kita. Terlebih di musim-musim penghujan seperti sekarang ini, ingat Zulfikar.