Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Komisi II DPR akan Tindak Lanjuti Putusan MK soal Ambang Batas Pencalonan Presiden
Oleh : Irawan
Kamis | 02-01-2025 | 20:44 WIB
Rizqinizamy_Karsayuda.jpg Honda-Batam
Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda. (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda memastikan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan syarat ambang batas pencalonan presiden inkonstitusional.

MK memutuskan menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) mulai Pilpres 2029.

Rifqi beralasan segala hal yang telah diputuskan oleh MK bersifat final dan mengikat yang harus ditindaklanjuti. Ia memastikan DPR akan membentuk aturan baru.

"Apapun itu MK putusannya adalah final and binding karena itu kita menghormati dan berkewajiban untuk menindaklanjutinya," kata Rifqi, Kamis (2/1/2024).

"Selanjutnya pemerintah dan DPR akan menindaklanjuti dalam pembentukan norma baru di UU terkait di persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden," lanjutnya.

Rifqi menilai putusan MK tersebut akan membawa perubahan bagi kontestasi demokrasi di Indonesia melalui ajang pemilu.

Sebab semua pihak memiliki peluang yang lebih terbuka untuk mengusung calon yang dijagokan mereka dalam pemilihan presiden.

"Saya kira ini babak baru demokrasi konstitusional kita di mana peluang untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak paslon dengan ketentuan yang lebih terbuka," ujar dia.

Sebelumnya, MK memutuskan bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu inkonstitusional.

MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, Kamis (1/2/2024).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," demikian bunyi amar putusan yang dibacakan Ketua MK, Suhartoyo.

Namun, dari sembilan hakim konstitusi, ada dua hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion.

"Dalam Putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion)," tulis MK melalui website resminya yang dirilis pada Kamis (2/1/2025).

Dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh. Sedangkan tujuh hakim konstitusi lainnya menyatakan setuju ambang batas 20 persen perolehan kursi di DPR RI sebagai prasyarat untuk pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan konstitusi.

Perkara ini dimohonkan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

Gugatan terhadap ambang batas ini beberapa kali diajukan banyak pihak, namun selalu kandas dan baru dikabulkan kali ini.

Ambang batas minimal atau presidential threshold sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.

Namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Alasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

Dalam konteks tersebut, Mahkamah menilai gagasan penyederhanaan partai politik dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR pada pemilu sebelumnya sebagai dasar penentuan hak partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan bentuk ketidakadilan.

"Selain itu, dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya, disadari atau tidak, partai politik baru yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu serta-merta kehilangan hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden," ujar Saldi.

Editor: Surya