Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pangkoarmada I Minta Drone ke KSAL untuk Patroli di Laut Natuna Utara
Oleh : Redaksi
Rabu | 18-12-2024 | 08:08 WIB
drone_pesawat.jpg Honda-Batam
Ilustrasi (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta -- Panglima Komando Armada (Pangkoarmada) I Laksamana Muda (Laksda) TNI Yoos Suryono Hadi menyatakan, kapal yang dioperasikan di Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut China Selatan saat ini mengalami keterbatasan bahan bakar. Hal itu karena area perairan yang dijaga termasuk luas.

Karena itu, Yoos sedang mengusulkan kepada Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali untuk melakukan pengadaan pesawat tanpa awak.

Langkah itu ditempuh sebagai solusi untuk mengatasi masalah bahan bakar kapal perang. Dengan begitu, kegiatan patroli di Laut Natuna Utara bisa terus berjalan.

"Kita tetap melakukan oeprasi dengan mengedepankan Bakamla operasi di sana, kita juga melibatkan pesawat (CN235). Saya juga meminta kepada Bapak KSAL untuk meminta drone, dengan keterbatasan bahan bakar, kita hemat bahan bakar untuk patroli dengan drone," kata Yoos di acara bertema 'Menjaga Natuna, Menjaga Indonesia' yang diadakan Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) di Markas Seskoal, Cipulir, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2024).

Dengan drone, kata Yoos, pelaksanaan patroli di Laut Natuna Utara bisa tetap berjalan dengan baik. Sehingga penggunaan kapal perang untuk patroli bisa dimaksimalkan untuk operasi lainnya.

Yoos juga menyinggung pengamanan di Perairan Natuna tidak berubah setelah pemerintah RI dan China menandatangani naskah perjanjian kerja sama.

Menurut dia, Koarmada I berposisi di belakang Bakamla dalam menindak kapal asing pencuri ikan di wilayah Indonesia.

"Kapal kita secara periodik akan digilir melakukan operasi sesuai kebutuhan di sana (Laut Natuna Utara)," ucap mantan Danseskoal tersebut.

Hanya saja, Yoos menambahkan, pemerintah RI dan China ke depannya memang sangat memungkinkan melakukan kegiatan bersama yang menguntungkan kedua belah pihak.

Misalnya, melakukan survei bersama dan kerja sama lain di lautan yang disepekati RI dan China. "Nah itu yang ada dalam naskah. Kalau kegiatan ilegal, seperti menangkap ikan, melakukan survei juga ilegal, tidak boleh. Kita dari Angkatan Laut selalu tegas," ujar Yoos.

Yoos juga menjelaskan, masalah sengketa di Laut China Selatan sebenarnya terjadi karena klaim sepihak China melalui Nine Dash Line yang kini menjadi Ten Dash Line.

Dengan peta yang dibuat sendiri pada 1947 itu, menurut dia, wilayah perairan China masuk sampai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

"Itulah masalah di Laut Natuna Utara. Itu kita keberatan (klaim China)," kata Yoos.

Editor: Surya