Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Katolik Kristen
Oleh : Redaksi
Jumat | 13-09-2024 | 10:44 WIB
AR-BTD-4038-Dahlan-Iskan.jpg Honda-Batam
Proses pembangunan Patung Yesus di Sibea-Bea, Samosir. (Foto: Scrupulous/Wikipedia-Scrupulous/Wikipedia)

Oleh Dahlan Iskan

SiTUMORANG kini tidak hanya terkenal karena lagu SiTUMORANG begitu populer. Marga SiTUMORANG kini tercatat dan diingat sebagai pembangun patung Yesus tertinggi di dunia.

Nama-nama seperti Sudung Situmorang dan atau Daulat Situmorang melekat di patung itu. Keduanya termasuk pemrakarsa patung yang dibangun di Sibeabea itu: di Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.

Begitu pentingnya patung yang mereka bangun sampai Paus Fransiskus berkenan meresmikannya. Yakni saat Sri Paus berkunjung ke Indoneeia pekan lalu. Peresmiannya dilakukan di kedutaan Vatikan di Jakarta.

Tentu orang Samosir ingin Sri Paus datang ke Sibeabea. Tapi Anda sudah tahu: usia beliau sudah 87 tahun. Pakai kursi roda. Anda juga sudah tahu di mana itu Sibeabea: di balik Pulau Samosir --kalau Anda melihatnya dari arah Medan.

Jalan tercepat mencapai Sibeabea ada dua. Lewat Medan dan Silangit.

Dari Medan naik mobil ke Danau Toba. Dua jam. Medan-Siantar sudah jalan tol. Siantar-Toba pakai jalan lama.

Begitu jalan raya mentok di danau Toba Anda belok kiri. Ke arah Parapat. Sampai di Tiga Raja Anda berhenti. Ada kapal fery di situ. Mobil Anda bisa dinaikkan fery. Mengarungi danau toba. Ke arah pulau Samosir di seberang sana.

Tibalah Anda di Ambarita, di pantai Pulau Samosir. Mobil Anda bawa turun. Dari Ambarita kembali naik mobil: menyusuri pantai pulau Samosir. Ikut lengkungan di ujung utara pulau. Lalu memutar ke arah selatan dan timur.

Anda tidak akan bosan. Inilah saatnya Anda menikmati indahnya menyusuri pantai Danau Toba yang tenang. Udaranya selalu sejuk. Sepanjang tahun.

Sampai Bolon Pangururan, di sisi barat pulau Samosir, Anda tidak perlu menyeberang lagi. Dari pulau Samosir kini sudah ada jembatan. Itulah jembatan yang menyatukan pulau Samosir dengan daratan Tapanuli di seberang pulau.

Jembatannya sendiri kini jadi objek wisata kebangaan orang Samosir. Mereka tidak membayangkan akan ada jembatan modern nun di pedalaman Samosir. Baru. Melengkung di atas selat Tano Ponggol. Itulah selat antara Samosir dan daratan Tapanuli yang paling sempit.

Jembatan itu panjangnya 350 meter. Berpilar tiga. Tinggi Warna merah. Di bagian atas sana tiga pilar itu menyatu: jadi pegangan kabel-kabel baja.

Jembatannya sendiri berada di sela-sela 'paha' pilar itu. Bentang terpanjangnya 90 meter. Kapal bisa tetap lewat di bawahnya. Arsitektur jembatan itu modern. Tiga pilar yang menyatu tinggi itu menjadi icon tersendiri.

Nama Presiden Jokowi abadi melekat di jembatan itu.

Tiba di jembatan ini berarti Sibeabea tidak jauh lagi. Sibeabea sudah di depan mata.

Sibeabea adalah kampung halaman Sudung Sitomorang. Juga kampung halaman Daulat Situmorang. Rumah mereka berdekatan. Keduanya memang masih sepupu --Sudung memanggil Daulat sebagai paman.

Untuk mencapai Sibeabea, Anda juga bisa terbang dari Jakarta. Langsung ke Bandara Silangit di Siborongborong. Lalu naik mobil sejauh 2,5 jam menuju arah Humbang Hasundutan. Ada pertigaan menuju Sibeabea.

Dari desa itu Sudung merantau ke Medan. Lalu ke Jakarta. Pun Daulat. Dari Sibeabea menuju Medan. Lalu ke Bandung.

Kampung itu memang tidak subur. Bahkan bukit yang jadi lokasi patung sangat tandus. Berbatu. Tidak bisa jadi lahan pertanian. Singkong pun, tanaman tradisional sumber hidup mereka, tidak bisa ditanam di bukit itu.

Sudung jadi sarjana hukum di Universitas Indonesia (UI). S-2 nya pun di bidang hukum. Lalu jadi jaksa. Jadi orang terpandang. Pernah menjadi kepala Kejaksaan Tinggi, Jakarta.

Di Bandung, Daulat jadi insinyur. Arsitek. Lulusan ITB. Lalu jadi pegawai negeri. Daulat bekerja di PU Sumut di Medan. Sudah lama pensiun. Seumur saya: 73 tahun.

Mereka menjadi punya waktu. Lalu terpikir kejadian puluhan tahun sebelumnya. Saat Orde Baru. Yakni ketika menteri pariwisata (waktu itu) Joop Ave datang ke Medan. Keduanya menemui sang menteri. Bersama tokoh Batak lainnya.

Saat itulah Joop Ave mengucapkan kata-kata yang terus terngiang di pikiran mereka: bangunlah patung Yesus di Toba. Yang tertinggi di dunia. Itulah objek wisata yang akan jadi daya tarik tambahan bagi danau Toba.

Kata-kata Joop Ave itu tenggelam. Lama. Lalu muncul lagi saat mereka sudah pensiun.

Tahun 2018 mereka mendirikan yayasan: Yayasan Jadilah Terang Danau Toba. Sudung jadi ketua pembina di yayasan. Daulat satu-satunya arsitek di yayasan itu. Warga Situmorang menjadi inti dari yayasan itu.

Sebagai arsitek Daulat tahu apa yang harus dilakukan: membuat perencanaan. Mereka tahu di mana lokasi terbaik: di atas bukit tandus berbatu di kampung halaman.

Posisinya bagus sekali. Ketinggian bukit itu 100 meter dari permukaan air danau Toba.

Kalau patung dibangun di situ langsung bisa seperti Yesus sedang memberkati seluruh danau Toba. Sudah termasuk Pulau Samosir di tengahnya.

Saya berbincang lama dengan Daulat. Kemarin. Saya baru tahu: inilah patung Yesus tertinggi di dunia yang dikerjakan dengan keikhlasan tertinggi pula.

Sudung dan Daulat pun mengadakan pertemuan dengan warga Sibeabea. Rencana itu dipaparkan. Secara lisan. Tidak ada proposal lengkap seperti umumnya proyek besar. Semuanya ada di kepala sang arsitek.

Warga pun setuju. Bukit itu tidak bertuan. Tidak perlu biaya pembebasan. Luasnya 15 hektare.

Jadilah patung Yesus dibangun di situ. Tidak ada warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah.

Untuk mulai membangunnya tidak perlu menunggu dana terkumpul. Daulat cukup meminjam satu alat berat dari PU. Hanya perlu bayar satu orang operator dan membeli bahan bakarnya.

Dengan satu alat berat itu Daulat merintis jalan menuju puncak bukit. Jauhnya 1,2 km. Naik dan naik. Berliku. Mengikuti kontur bukit.

Ketika sudah terbuka sampai puncak dilakukanlah pemotongan puncaknya. Agar bisa didapat tanah rata di puncak itu.

Jadilah ketinggiannya berkurang. Jadi tinggal 90 meter dari permukaan air danau Toba.

Badan jalan yang dibuat Daulat lebarnya 12 meter. Batu mudah didapat di sana. Tidak perlu beli. Kualitas badan jalan pun bagus.

Tinggal dilakukan pengaspalan. Selebar 7 meter. Tidak banyak lagi biaya. Setelah badan jalan selesai barulah mereka minta bantuan pengaspalan dari PU pusat.

Dengan mudah permintaan itu dipenuhi --karena badan jalan sudah jadi. Berapa miliar rupiah kalau proyek itu pakai dana negara.

Untuk membangun patungnya Daulat yang merancang. Mulai bentuk sampai rancangan konstruksinya.

Bahwa tinggi patung sampai 61 meter itu supaya bisa disebut yang tertinggi di dunia. Sudah bisa mengalahkan yang di Polandia: 52 meter.

Jauh mengalahkan yang paling terkenal di dunia, yang di Rio de Janeiro itu, yang saya pernah ke sana: 30 sampai 38 meter.

Daulat bukan Katolik. Ia protestan. Gerejanya GKPI --Gereja Kristen Protestan Indonesia. Tidak masalah. Sama-sama Yesus. Tapi tetap ada "warna" Kristennya di patung itu.

Lihatlah dari jauh. Dari jarak yang sampai tidak terlihat detail wajah Yesusnya. Yang tampak tinggal siluetnya. Maka patung itu akan terlihat seperti salib.

Inilah patung Katolik dengan rasa Protestan. Orang Indonesia selalu punya jalan untuk akomodatif.

Sudung sendiri Katolik. Kini Sudung berlanjut mengabdi di kampung halaman: merawat Hutan Tele. Itulah hutan yang berperan penting menjadi penyangga air danau Toba. Sudung tidak mau Hutan Tele rusak.

Setelah diresmikan oleh Sri Paus patung Yesus itu akan diresmikan lagi oleh Presiden Jokowi. Minggu depan. Langsung di lokasinya di Sibeabea.

Sebelum berbincang dengan Daulat, saya pikir lokasinya tidak terlalu jauh dari Silangit. Ternyata masih 2,5 jam. Seandainya jalan tol dari Medan sudah sampai Toba pun masih harus menyeberang ke Ambarita.

Adakah ide agar patung tertinggi di dunia itu tidak terasa terlalu jauh? Tarif masuknya memang hanya Rp 5.000/orang tapi siapa mau ke sana?

Sudah waktunya ada bandara di dekat-dekat Humbang Hasundutan. Atau jalan Silangit ke Humbang diperlebar: agar jarak itu bisa ditempuh hanya satu jam.

Toba itu indah nian alamnya, sejuk sekali suhu udaranya, sejuk sepanjang masa, tapi masih saja jauh di mata. Pun setelah ada yang tertinggi di dunia.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia