Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perlu UU Transisi Pemerintahan, Jangan Biarkan Incumbent Buat Kebijakan Semena-mena
Oleh : Redaksi
Selasa | 30-07-2024 | 09:44 WIB
AR-BTD-5191-Nurjaman.jpg Honda-Batam
Wartawan senior Indonesia Nurjaman Mochtar. (Foto: Net)

Oleh Nurjaman Mochtar

BARU-BARU ini Presiden Jokowi melakukan mutasi besar-besaran di tubuh TNI dan Polri. Padahal usia pemerintahannya kurang dari tiga bulan. Maka timbul prasangka. Apakah ini menyangkut pengamanan diri Presiden ketika turun. Apakah mutasi di kedua garda pengamanan dan pertahanan ini sudah dikonsultasikan dengan Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Atau benar benar kebijakan Jokowi sendiri.

Apapun yang dilakukan Presiden Jokowi tidak ada yang dilanggar. Belum ada aturannya bagaimana mengakhiri sebuah pemerintahan dan bagaimana memulai pemerintahan yang baru. Sehingga apa yang dilakukan presiden incumbent bebas-bebas saja. Tentu saja ini akan menimbulkan konflik yang tidak berujung antar pendukung politik incumbent dan pengganti.

Di sinilah Undang Undang transisi pemerintahan diperlukan. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan incumbent selama transisi. Apa yang menjadi hak dan kewajiban dari pemerintahan pengganti selama masa transisi. Dan kapan transisi itu dimulai. Sejak penetapan KPU atau setelah keputusan MK.

Kalau kita belajar ke negara, yang mengaku biangnya demokrasi, undang undang transisi ini dimulai tahun 1963. Undang Undang ini dibuat agar di masa transisi ini pemerintahan incumbent tidak mengeluarkan kebijakan yang strategis atau menguntungkan kelompoknya saja. Begitu presiden baru terpilih maka dia akan mendapatkan sharing akses dalam pemerintahan federal untuk hal-hal strategis sesuai Undang Undang.

Biasanya Presiden baru akan mulai diberi pengarahan tentang keamanan dan pertahanan. Bahkan mulai diberi join akses ke sarana-sarana strategis. Pemerintahan incumbent tidak boleh mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis seperti masalah keamanan dan pertahanan nasional. Bahkan disebutkan pemerintahan incumbent tidak boleh mengganti 9000 pejabat sipil yang menyangkut pelayanan federal dan penunjukkan pejabat politik tanpa mendapatkan konfirmasi dari calon pemerintahan baru.

Dengan aturan seperti ini maka transisi dan penggantian pemerintahan berjalan sesuai aturan yang berlaku. Ada petunjuk dan aturan buat semua pihak bagaimana mengakhiri sebuah pemerintahan dan sekaligus bagaimana memulai sebuah pemerintahan. Dengan demikian transisi atau pergantian pemerintahan ini berjalan mulus karena ada aturannya.

Dari pengalaman pergantian pemerintahan di Republik Indonesia ini hampir semuanya berjalan, kalau tidak berdarah-darah, pasti dipenuhi kebencian antar pendukung. Pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru pasti kita mafhum semua. Diwarnai dengan peristiwa G30S PKI yang menewaskan 7 jenderal. Tak terhitung korban tentara dan rakyat sipil sekitar peristiwa itu. Ditambah dengan penahanan Presiden Soekarno di Wisma Yaso hingga akhir hayatnya.

Begitu juga pergantian dari Orde Baru ke Orde Reformasi memakan korban tidak sedikit dan diwarnai huru hara pembakaran dimana-mana terutama di Jakarta. Tentu saja hal ini menimbulkan luka panjang bagi berbagai pihak. Begitu juga kebencian terhadap Orde Baru pun sampai ke ubun-ubun.

Presiden Suharto terus-terusan di demo oleh mahasiswa agar diadili. Hingga Presiden Soeharto diperiksa Kejaksaan karena dituduh menumpuk harta dan melakukan KKN. Tapi kasusnya tidak berlanjut. Ini menunjukkan seolah-olah hasil 32 tahun Pemerintahan Orde Baru tidak ada baiknya sama sekali.

Padahal, mungkin, baru disadari sekarang bahwa yang dilakukan Orde Baru banyak juga yang layak dijadikan contoh. Bahkan terobosan SD Inpres jaman Soeharto dijadikan Esther Duflo, peneliti Amerika Serikat, objek penelitiannya sehingga mendapatkan hadiah Nobel, menjadikan Esther perempuan pertama peraih Nobel.

Ketika pergantian dari Presiden Gus Dur ke Presiden Megawati diwarnai dengan pengusiran Gus Dur dari Istana di malam hari. Sangat memilukan kalau mengingat bagaimana seorang presiden diperlakukan dengan tidak semestinya. Presiden Gus Dur diusir dari Istana di malam hari karena hasil Sidang Umum MPR malam itu menetapkan Wakil Presiden Megawati sebagai presiden. Mengapa Presiden Gus Dur tidak diperbolehkan untuk menunda kepergiannya dari Istana keesokan harinya. Menyedihkan. Tidak ada aturannya.

Begitu juga ketika serah terima dari Presiden Megawati kepada Presiden SBY. Tidak ada proses upacara serah terima dalam pergantian pemerintahan ini. Presiden Megawati pergi begitu saja dari Istana. Wartawan hanya meliput bagaimana para pembantu Presiden Megawati berkemas-kemas di Istana. Tidak ada seremoni serah terima di Istana sebagai simbol persaudaraan. Sehingga hal ini diharapkan bisa mengurangi polarisasi para pendukung kedua presiden itu.

Pernah digagas oleh beberapa pihak agar serah terima pemerintahan dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi dibuat sebuah seremonial. Sebenarnya Presiden SBY sudah menyetujui gagasan ini. Tapi pihak Presiden Jokowi, yang euforia kemenangan, menolak dengan kasar. Bahkan sampai ke telinga SBY kata-kata, "Kalau sudah tidak jadi presiden keluar saja dari Istana. Ngapain nunggu-nunggu." Jadi tidak bisa dilaksanakan karena kedua belah pihak sudah kadung dibalut dendam politik para pendukungnya.

Sekarang pergantian pemerintahan ini akan datang lagi pada bulan oktober. Apakah pergantian ini akan mulus mengingat Presiden Prabowo mantan Menteri Jokowi dan Wapresnya putra Jokowi. Tidak bisa dipastikan. Kembali lagi karena tidak ada aturannya. Maka perlu digagas Undang Undang Transisi Pemerintahan.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia

Sumber: Ceknricek.com