Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

APBN Harus Punya Kontribusi Bagi Sektor Riil, 2025 Dihantui Hutang
Oleh : Irawan
Rabu | 12-06-2024 | 13:24 WIB
diksusi_apbn.jpg Honda-Batam
Forum Legislasi dengan tema 'Mengupas RAPBN 2025 Menuju Indonesia Maju', di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2024)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menegaskan bahwa APBN harus memiliki kontribusi bagi sektor riil apabila akan digunakan sebagai alat membangkitkan kegiatan ekonomi tanah air.

Sehingga, slogan spending better yang digaungkan pemerintah harus bisa dirasakan oleh masyarakat.

"Kalau kita ingin APBN itu menjadi pengungkit, spending better-nya harus betul-betul untuk sektor riil yang membangkitkan kegiatan ekonomi. Masih banyak yang bisa kita lakukan," kata Zulfikar usai menghadiri diskusi Forum Legislasi dengan tema 'Mengupas RAPBN 2025 Menuju Indonesia Maju', di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2024).

Apabila diberikan ruang APBN untuk sektor riil bukan tak mungkin pertumbuhan di luar Jawa bisa menyentuh angka 7-8 persen.

Politisi Fraksi Partai Golkar ini menyampaikan, apabila diberikan ruang APBN untuk sektor riil bukan tak mungkin pertumbuhan di luar Jawa bisa menyentuh angka 7-8 persen. Untuk itu, hilirisasi yang awalnya dilakukan untuk sektor minerba harus juga menyasar sektor lainnya.

"Hilirisasi misalnya digalakan lagi ke bidang-bidang yang lain. Misalnya kelautan, kita selama ini ribut-ribut (soal) benur, yang anak lobster. Hilirisasi kita di aspek itu apa? Masa kita teriak-teriak terus nangkepin (kapal) terus, tapi nggak ada budidaya (lobster)nya," katanya memberikan contoh.

Zulfikar lantas menjadikan Vietnam sebagai contoh yang dinilai berhasil dalam meningkatkan nilai jual dari sektor kelautannya dengan adanya hilirisasi. Hilirisasi seharusnya tak berkutat pada nikel dan bauksit.

Ia kembali menegaskan masih banyak sektor yang bisa digarap dan berujung pada mengeliatnya sektor industri tanah air.

"Tidak hanya nikel, tidak hanya bauksit (tapi) banyak yang perlu dikembangkan lagi. Kalau industri jalan, (pekerjaan kan ada. Kalau pekerjaan ada, kan penghasilan ada. Nah itu maksud saya spending better-nya ke sana" tutup legislator Dapil Jawa Timur III itu.

APBN Dihantui Utang

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai bahaya kalau rasio pajak atau tax ratio utang luar negeri kita atas PDB (produk domestik bruto) mencapai 40,41% atau setara dengan Rp 6000 triliun.

Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan target 2024 sebesar 38,26% dan lebih tinggi dari realisasi tahun 2023 yang sebesar 38,98%.

"Kenaikan rasio utang itu selaras dengan defisit anggaran yang ditarget meningkat. Defisit anggaran pada 2025 disasar meningkat menjadi 2,45% sampai 2,8% terhadap PDB, dari tahun ini sebesar 2,29% atau Rp6000 triliun. Ini bahaya," tegas Nailul.

Dikatakan, APBN 2025 akan dihantui oleh bunga utang luar negeri yang cukup masif. Apa lagi jika nilai tukar rupiah terhadap dollar terus merosot.

"Alhasil, pemerintah terus berupaya untuk mengurangi subsidi BBM, listrik, gas, dan sebagainya yang bebani rakyat makin berat akibat beban utang tersebut. Kebijakan fiskal itu kontradiktif dengan terus mengurangi subsidi rakyat. Tapi, Menkeu Sri Mulyani selalu mengajukan APBN yang optimistis, maka layak dipertahankan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran," tambah Nailul.

Beban APBN dan utang luar negeri tersebut disebabkan perlunya anggaran OIKA (Otorita Ibu Kota Nusantara) sekitar Rp 466 triliun, program makan susu gratis Prabowo-Gibran Rp 666 triliun dan proyek-proyek pembangunan infrastruktur jalan tol, kereta cepat, MRT dan lain-lain, yang juga telan biaya ratusan triliun rupiah.

Sedangkan pada 15 Mei 2024 l utang Luar Negeri RI Turun Jadi Rp 6.489 Triliun. Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia ada kuartal I 2024 mencapai 403,9 miliar Dolar AS atau setara Rp 6.489 triliun (kurs Rp 16.068). Nilai itu turun 0,02% dibandingkan posisi triwulan sebelumnya yang 408,5 miliar Dolar AS, ungkap Nailul Huda.

Editor: Surya