Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ikut Cahaya
Oleh : Opini
Kamis | 04-01-2024 | 08:20 WIB
DAHLAN-DISWAY91.jpg Honda-Batam
Wartawan senior Indonesia Dahlan Iskan. (Foto: Net)

Oleh Dahlan Iskan

"Anda sendirian?"

"Iya".

"Sudah berapa kali ke Disneyland?"

"Sudah sering. Saya punya tiket terusan. Untuk satu tahun".

Di sepak bola sudah biasa ada tiket terusan. Ini Disneyland. Ternyata juga ada tiket terusan. Bisa ke Disneyland kapan saja. Selama setahun. Tahun lalu juga. Tahun depan pula. Ia selalu memperpanjang tiket terusan itu.

Ia sudah 14 tahun di Shanghai. Masih tetap seperti Aat, bertahan sebagai jomblo.

Namanya: Hody Zacharia.

Ayah: Sangir Talaud.

Ibu: Minahasa.

Umur: 46 tahun.

Pekerjaan: guru teater, untuk mata pelajaran tata cahaya.

Jadi guru sekolah teater di Shanghai. Itulah anak muda kota. Yang ketika di kereta bawah tanah sesekali menyapukan pandangannya ke saya. Kini sama-sama di alam terbuka depan Disneyland.

"Pernah baca Disway?"

"Tidak pernah".

"Kenapa tidak segera masuk gerbang?"

"Tunggu bapak...".

"Saya tidak bisa masuk. Tidak punya tiket".

"Trus bapak mau ke mana?"

"Mau balik Shanghai. Tapi tidak punya uang".

"Saya antarkan..." katanya serius.

"Hah? Antarkan? Anda kan harus ke Disneyland..." kata saya sambil khawatir ia akan menjawab..."iya...sih".

"Tidak apa-apa. Saya sudah sering ke sini," kata Hody tetap serius.

Dari situlah saya tahu ia punya tiket terusan. Rasa bersalah saya berkurang sedikit. Ia bisa ke sini lagi besok. Atau lusa.

Kami pun akrab. Lalu muter-muter di street walk. Semua kafe, toko, dan resto masih tutup.

Kami pun memutar mencari jalan balik. Saya tidak berhasil masuk Disneyland. Tapi di luarnya pun sudah terhibur.

Ada danau besar sekali. Ada patung Donald Bebek raksasa di atas danau itu. Tadi seperti gajah di pelupuk mata. Tidak terlihat. Konsentrasi pada antre, labirin dan loket.

Sekarang puncak ekspektasi sudah lewat. Kurva sudah menurun. Hati sudah tenang --setelah bertemu juru selamat. Kami bisa berjalan santai di tepi danau.

Hody-lah yang membelikan tiket kereta. Ia sendiri pakai tiket langganan. Tidak heran. Tiket terusan Disneyland saja ia punya, apalagi tiket kereta bawah tanah. Jangan-jangan ia juga punya tiket terusan pesawat luar angkasa.

"Bagaimana kalau kita ke museum Natural History? Pernah ke sana?" tanyanya.

"Mau! Belum pernah".

Maka di stasiun berikutnya kami pindah kereta jurusan museum.

"Museumnya menarik. Gedungnya 5 lantai ke bawah," katanya.

Baru kali ini ke Shanghai masuk museum. Saya ingin membandingkan. Saya pernah ke museum Natural History yang di New York. Di sebelah Central Park itu.

Yang di Shanghai ini juga menarik. Lengkap.

Ini hari Sabtu. Begitu banyak pengunjung. Antreannya panjang juga. Sampai diputar di labirin juga. Gila. Masuk museum seperti masuk konser.

Mayoritas pengunjung adalah suami-istri yang menggandeng anak kecil. Atau hanya ibu dan anak kecilnya.

"Di Shanghai, hari Sabtu adalah hari anak," ujar Hody. "Orang tua pasti mengajak anak jalan-jalan di hari Sabtu," tambahnya.

Mendengar kata-kata Hody itu sebilah belati seperti menusuk di ulu hati.

Saya tidak pernah melakukan itu di masa lalu. Saya tidak pernah punya hari Sabtu. Pun hari Minggu. Lebaran pun koran tetap saya minta terbit. Begitu bangga, kala itu, disebut sebagai pelopor banyak hal di dunia media.

Pengunjung museum ini tahu: mereka orang ke berapa yang memasuki museum. Ada display digital di dindingnya.

Saya orang yang ke 2.976 hari itu. Pada jam 9 pagi. Angka digital itu berjalan terus. Begitu mencapai 5.900 pintu ditutup. Tidak ada lagi izin masuk.

Di mana-mana museum biasanya lengang. Di Shanghai sampai dibatasi.

Kami masuk lantai pertama: ke alam raya ketika belum ada manusia. Memutar turun ke lantai bawah: mulai ada binatang. Berbagai saurus dipajang dengan ukuran sebenarnya. Sebagian dibuat bergerak.

Lebih ke bawah mulailah masuk ke tahap evolusi. Sampai terjadinya manusia. Dimulai sejak 10.000 juta tahun lalu. Ditampilkan juga film evolusi: manusia bukan ciptaan Tuhan. Manusia adalah hasil evolusi dari kera.

Dipamerkanlah fosil-fosil manusia purba. Dari berbagai belahan dunia. Di satu dinding terlihat fosil manusia Jawa. Dua buah. Dari Sangrian, Sragen (tidak ditulis Sangiran) dan dari Trinil, Ngawi.

Pukul 13.30 barulah kami keluar museum.

Lapar.

Belum sarapan.

"Mau makan apa? Udang? Ikan? Daging?" tanya Hody.

"Mi saja".

"Hanya mi?"

Saya mengangguk. Jangan sampai ia keluar lebih banyak uang lagi.

"Lanzhou la mian?" tanyanya seperti bisa membaca isi kepala saya.

Awalnya Hody bekerja di satu SMA swasta di Jakarta. SMA internasional. Menangani komputer. Lalu jadi asisten guru komputer. Ketika pemilik sekolah membuka sekolah serupa di Shanghai, Hody dipindah ke sekolah baru itu.

Lima tahun kemudian ia pindah kerja. Ke sekolah SMA khusus teater. Tetap di Shanghai. Ia punya kemampuan di program tata cahaya lampu. Ia pun jadi guru teater khusus tata lampu.

Saya memesan mi. Hody memesan mirip iskander di Turki.

Hody tentu sering ke Disneyland. Ia perlu mengamati tata lampu di pertunjukan-pertunjukan di sana.

"Mengatur tata cahaya di teater SMA lebih sulit. Gerak mereka kan belum matang," kata Hody. Tidak mudah membuat bagaimana sorot cahaya bisa mengikuti gerak pemain drama. Atau gerak penari.

Hody mengajarkan bagaimana cahaya lampu bisa mengikuti gerak penari secara tepat. "Sekarang memang sudah ada AI. Tapi keterampilan dasar harus punya," katanya.

Kini tubuh penari bisa dipasangi chip. Terhubung langsung ke lampu yang digerakkan dengan AI. Tidak mudah jadi guru tata cahaya di zaman kecerdasan buatan.

Habis makan kami ke hotel. Jalan dengan energi baru. Hody sudah ketularan budaya orang Shanghai: jalannya cepat.

Hody tahu, anak-cucu saya akan di Disneyland sampai malam. Ia pun begitu. Maka Hody menawarkan makan malam. Ia akan mengajak teman Indonesia lainnya. Teman itu juga dari Indonesia. Sudah 14 tahun pula di Shanghai. Wanita. Cantik. Istimewa. *

Penulis adalah wartawan senior Indonesia