Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Semester I 2023, Kejari Batam Hentikan 25 Kasus Melalui Restoratif Justice
Oleh : Paskalis Rianghepat
Kamis | 13-07-2023 | 19:12 WIB
RJ-Kejari-Batam12.jpg Honda-Batam
Kajari Batam, Herlina Setyorini saat Menyerahkan SKP2 ke Tersangka KDRT di Aula Kantor Kejari Batam, Kamis (13/7/2023). (Foto: Paschall RH).

BATAMTODAY.COM, Batam - Sepanjang Semester Pertama di Tahun 2023, Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam telah sukses menghentikan penuntutan terhadap 25 perkara tindak pidana umum di Kota Batam melalui program Restorative Justice (RJ).

Teranyar, 3 kasus pidana umum (KDRT, Pencurian dan Penganiayaan) yang terjadi di Kota Batam pun dihentikan penuntutannya melalui Restorative Justice (RJ).

Ketiga kasus yang dihentikan penuntutannya ditandai dengan penyerahan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Keadilan Restoratif oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Batam, Herlina Setyorini kepada masing-masing tersangka di Aula Kantor Kejari Batam, Kamis (13/7/2023).

"Alhamdulilah, di semester pertama tahun 2023 ini Kejari Batam telah menjalankan program Jaksa Agung dengan menghentikan 25 perkara melalui Restoratif Justice atau penghentian perkara diluar persidangan," kata Herlina disela-sela penyerahan SKP2 kepada para tersangka.

Herlina menjelaskan restorative justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana di tingkat penuntutan atau di kejaksaan dengan melibatkan tersangka, korban, keluarga kedua belah pihak, dan pihak terkait.

Adapun ketiga tersangka atau pelaku tindak pidana yang dihentikan penuntutannya, kata Herlina, adalah tersangka Bambang Mardongan (Kasus KDRT), tersangka Syamsul bin Kibe (Kasus Pencurian) dan Foanoita Harefa (Kasus Penganiayaan).

"Restorative Justice terhadap ketiga perkara ini tergolong sangat cepat. Pasalnya, baru tadi pagi kami melakukan gelar perkara (Ekspose) dan langsung disetujui oleh Kejati Kepri dan Kejaksaan Agung," papar Herlina.

Herlina menjelaskan, langkah Restorative Justice yang ditempuh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menyelesaikan perkara tersebut diluar persidangan setelah berkoordinasi dan memediasi masing-masing pihak yang berperkara.

Dari hasil koordianasi atau mediasi, tutur Herlina, para pihak yang berperkara (Tersangka dan Korban) sepakat berdamai dan saling memaafkan agar perkara ini tidak dilanjutkan sampai ke meja persidangan.

"Sebelum mengambil langkah RJ, ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yakni mempertemukan Pelaku dan Korban, melakukan musyawarah dengan berbagai pihak terkait hingga para korban mau memaafkan tersangka (Pelaku)," tambah Herlina.

Restorative justice, kata dia, dilakukan atas permohonan dari keluarga tersangka dengan pertimbangan tersangka sudah mengakui perbuatannya. Selain itu, yang terpenting adalah antara korban dan tersangka sudah ada kesepakatan berdamai.

Setelah kami pelajari dan mengacu pada keadilan restorarif yang membolehkan, lanjut Herlina, maka ketiga perkara itu dihentikan. Acuan pertama yang menjadi bahan pertimbangan adalah ancaman hukuman di bawah lima tahun. Terdakwa juga baru pertama kali melakukan tindak pidana artinya masih belum residivis atau belum pernah melakukan tindak pidana berulang-ulang

"Keputusan restorative justice secara otomatis menutup ketiga perkara tersebut, sehingga tidak ada lagi persidangan ke depannya. Inti dari Restorative Justice adalah mengembalikan suasana atau situasi dalam keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana," timpalnya.

Kajari pun berharap, Program Restorative Justice (RJ) tidak hanya menghentikan perkara semata, tetapi juga menggerakan para tersangka, korban dan masyarakat untuk berperan dalam menciptakan harmoni di masyarakat, dan membuat suasana sama seperti sebelum terjadinya tindak pidana.

"Saya tegaskan, dalam melakukan mediasi, Kami (Jaksa) tidak pernah melakukan intimidasi kepada korban agar mau memaafkan para tersangka," tegasnya.

Ditempat yang sama, Kasipidum Kejari Batam, Amanda mengatakan hingga bulan Juli tahun 2023, Kejari Batam telah menjalankan program Jaksa Agung dengan menghentikan 25 perkara tindak pidana umum melalui Restoratif Justice atau penghentian perkara diluar persidangan.

"Hingga bulan Juli 2023, Kejari Batam telah sukses menghentikan 25 perkara tindak pidana umum melalui Restoratif Justice," kata Amanda.

Amanda menuturkan, sebelum menghentikan penuntutan terhadap ke-25 perkara tersebut, pihak Kejari Batam telah melaksanakan beberapa tahapan secara berjenjang berdasarkan mekanisme yang diatur dalam peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran JAM Piudm Nomor : 01/E/Ejp/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan keadilan restoratif.

"Program Restorative Justice (RJ) yang ditempuh Kejari Batam bukan hanya menghentikan perkara semata, tetapi juga menggerakan para tersangka, korban dan masyarakat untuk berperan dalam menciptakan harmoni di masyarakat, dan membuat suasana sama seperti sebelum terjadinya tindak pidana," pungkasnya.

Editor: Yudha