Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Suhu Besar
Oleh : Opini
Rabu | 14-06-2023 | 08:36 WIB
A-DAHLAN-ISKAN50.jpg Honda-Batam
Wartawan senior Indonesia Dahlan Iskan. (Foto: Net)

Oleh Dalan Iskan

SAYA memanggilnya Suhu Besar. Ketika transit satu malam di Medan Kamis lalu saya mampir ke viharanya: vihara Buddha terbesar di dunia. Di Medan, Sumatera Utara.

Dulu, 10 tahun lalu, saya pernah ke situ. Ketika sedang dibangun. Kini sudah sepenuhnya jadi: 19 hektare.

Suhu Besar sendiri sudah menjadi pejabat Presiden Buddha Mahayana se-Dunia. Karena itu kian jarang ia berada di Indonesia. Kamis lalu ia sedang di Medan. Yakni untuk persiapan ibadah Waisak dua hari kemudian. Umat dari berbagai negara datang ke sana.

Suhu Besar ini lahir di Medan. Nama aslinya Hui Siung. Nama suhunya: Prajna Wira. Ayahnya pun sudah lahir di Medan. Kakeknya yang dari Meizhou, asal suku Hakka.

Suhu Besar Hui Siung sekolah SD dan SMP masih di Medan. Lalu melanjutkan sekolah ke Taiwan. Di sanalah ia mendalami agama Buddha. Sampai jadi suhu. Lalu jadi suhu besar. Terakhir menjabat ketua Mahayana se-dunia. Yakni sejak Liao Chung Mahatera (Taiwan) meninggal 9 Maret 2022 di usia 91 tahun.

Suhu Besar sebenarnya menolak jabatan itu. Tapi lantaran ia sekjen organisasi itu, akhirnya diangkat sebagai pejabat presiden sampai terpilih yang definitif.

Secara garis besar Buddha terbagi menjadi tiga aliran: Theravada, Mahayana, dan Tantrayana.

Theravada berkembang di Asia Selatan: Bangladesh, Burma, Thailand, Kamboja. Theravada lebih memegang teguh ajaran asli Buddha. Ulamanya disebut Bhante. Bila jalan kaki, Bhante tidak boleh pakai alas kaki. Soal makan, prinsipnya tidak boleh makan daging binatang. Tapi kalau sifatnya disuguhi boleh dimakan. Asal, tidak minta atau berkehendak.

Mahayana berkembang di Taiwan, Tiongkok, dan Jepang. Ulamanya dipanggil Suhu. Tidak boleh makan daging binatang. Pun ketika disuguhi. Ajarannya sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kondisi setempat. Di Mahayana, wanita juga bisa menjadi suhu. Seperti di vihara Jalan Pasar Besar Surabaya itu. Suhunya wanita: Citta Wirya. Dia alumnus universitas Kristen HKBP Nommensen, Medan.

Tantrayana berkembang di Tibet. Ulamanya disebut Lama. Boleh makan daging binatang. Di Tibet tumbuhan sulit hidup. Ajarannya lebih diwarnai politik.

Tiga-tiganya punya ajaran pokok: berbuat baik, menolong orang, tidak menyakiti orang lain, memiliki jiwa yang tenang.

Tiga-tiganya menyebar sampai ke Indonesia. Tapi yang terbanyak adalah Theravada dan Mahayana. Dua-duanya pun masih terpecah-pecah lagi ke sub aliran. Begitulah agama: termasuk juga Islam dan Kristen.

Vihara Mahayana di Medan itu, saking besarnya, disebut Mahavira. Tapi untuk Indonesia pusat Mahayananya ada di Vihara Jalan Lodan, dekat Ancol. Saya dua kali ke situ.

Bicara dengan Suhu Besar Hui Siung asyik sekali. Terutama soal sejarah perkembangan agama Buddha. Pendapatnya berbeda dengan anggapan umum selama ini. Katanya: agama Buddha menyebar dari Indonesia ke mana-mana. Termasuk ke Tiongkok. Sedang pendapat umum mengatakan Buddha menyebar ke Indonesia dari Tiongkok.

Suhu Besar menceritakan Palembang-lah asal Buddha yang menyebar ke mana-mana. Palembang di masa jaya Sriwijaya, adalah salah satu pusat peradaban dan kebudayaan Asia. Dan yang disebut Palembang masa itu belum tentu kota Palembang hari ini. Bisa jadi Palembang yang dimaksud adalah Muara Jambi, yang sungainya sampai ke Palembang sekarang.

Jadi kalau ada yang berpendapat pusat kerajaan Sriwijaya itu di Muara Jambi bisa jadi benar. Tapi yang mengatakan pusat Sriwijaya itu di Palembang juga betul. Hanya saja pengertian Palembang zaman itu berbeda dengan Palembang masa sekarang.

Buddha Mahayana banyak dipengaruhi peradaban Sriwijaya. Dari Palembang agama itu menyebar sampai ke Hui An, kota pelabuhan besar di dekat Quanzhou, Fujian. Leluhur bos Kapal Api, misalnya, dari daerah itu.

Zaman itu Hui An merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Asia Timur. Hubungan Sriwijaya di Palembang dan Hui An di Quanzhou sangat penting. Di Hui An juga berkembang Islam. Sampai sekarang ada dua masjid besar di Quanzhou.

Dari Quanzhou, ujar Suhu Besar, Buddha menyebar ke kota-kota sekitar. Ke seluruh Fujian. Lalu ke Taiwan. Ke Jepang.

Rasanya jurusan sejarah di berbagai universitas perlu mengundang Suhu Besar. Agar pendapatnya itu diuji di kampus akademis.

Suhu Besar menguasai bahasa Inggris, Mandarin, Hokkian, Haka, dan bahasa Sanskerta. Ia mendalami perkembangan agama Buddha sampai ke Amerika. Ke sumber yang masih menggunakan naskah Sanskerta. Ia pun ke perpustakaan di San Francisco: mencari dokumen sejarah dalam bahasa kuno. Hanya di perpustakaan itulah naskah tersebut didapat.

Kini Suhu Besar masih sering ke San Francisco. Ada beberapa vihara Mahayana di California. Juga ke Taiwan dan Fujian.

Kamis lalu saya diantar sendiri oleh Suhu Besar: keliling Mahavira. Dua jam belum selesai. Entah sudah berapa ribu langkah. Juga naik-turun lewat lift. Ada 4 lift di berbagai sudut Mahavira.

Itu pun belum menjangkau semua ruang di Mahavira. Suhu Besar lupa memperlihatkan dapur. Telanjur sudah sampai bagian lain yang jauh. Dapurnya, kata Suhu Besar, 24 x 24 meter. Tanpa pilar. Lapang. Mahavira harus punya dapur sendiri. Agar terjaga "kehalalannya" versi Buddha Mahayana.

Salah satu ruang pertemuan di Mahavira ini bisa menampung 1.200 orang. Besar. Tanpa pilar. Betapa mahal konstruksi prestressed-nya. Ruang ini juga bisa untuk acara kawinan umat Buddha.

Lalu ada ruang kebaktian: 3 buah. Besar-besar. Lapang. Tanpa pilar. Tiga ruang sembahyang ini diisi banyak sekali patung. Besar-besar. Patung granit.

Tak terhitung banyaknya patung di sini: besar-besar, tinggi-tinggi: masing-masing sekitar 2 ton beratnya. Termasuk 12 arca yang masing-masing menjadi penjaga shio: saya berhenti sejenak di depan arca penjaga shio Kelinci.

Lalu ada satu patung yang tingginya 16 meter. Patung itu ditempatkan di menara setinggi 56 meter. Awalnya ada ide akan dibuat lebih tinggi lagi. Tapi itu dinilai kurang sopan: akan melebihi tingginya Borobudur.

Dibatalkan.

Lantas dibuat 56 meter itu.

Yang istimewa adalah juga Lorong Filsafat Buddha-nya. Sekeliling Mahavira ini dibuatkan koridor. Arsitekturnya khas vihara. Indah. Dinding kanan kiri lorong dihiasi relief yang ditempel di dinding. Isinya 156 topik filsafat hidup. Termasuk adegan Buddha mengiris daging pahanya untuk diberikan ke binatang buas yang kelaparan.

Tiap topik terdiri dari 9 relief. Maka di sepanjang Lorong Filsafat ini terdapat lebih 1.500 relief. Di bawahnya disertakan teks tiga bahasa: Indonesia, Inggris, Mandarin.

Bisa saja siswa diajari filsafat di lorong itu. Satu hari satu topik. Maka diperlukan waktu setahun untuk menyelesaikannya. Lorong ini bisa menjadi kelas filsafat hidup.

Masih ada dua proyek lagi yang belum bisa dikerjakan. Tanahnya sudah disiapkan. Yakni proyek universitas Buddhist dan asrama untuk orang tua. Asrama orang tua itu untuk menggantikan panti jompo yang dikenal sekarang. Versi yang lebih manusiawi. Sekaligus bisa menyenangkan orang tua dalam menghabiskan umur mereka.

Salah satu prinsip ajaran Mahayana adalah: bantulah orang main, nanti alam akan membantumu menjadi sukses.

Itu berbeda dengan ajaran satunya: mana bisa membantu orang lain kalau dirinya sendiri belum sukses.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia