Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Buktikan Toleransi Umat Beragama Masih Terjaga

Puluhan Bhikkhu Gelar Perjalanan Ritual Empat Negara, dari Thailand hingga Indonesia
Oleh : Aldy
Selasa | 09-05-2023 | 11:48 WIB
biksu-ritual.jpg Honda-Batam
Puluhan Biksu yang melakukan perjalanan ritual lintas empat negara saat tiba di Kota Batam, Senin (8/5/2023). (Foto: Aldy)

BATAMTODAY.COM, Batam - Puluhan Banthe atau Bhikkhu atau yang lazim disebut di Indonesia sebagai Biksu, melakukan perjalanan ritual melintasi empat negara, mulai dari Thailand, Malaysia, Singapura dan berakhir di Candi Borobudur, Indonesia.

Perjalanan ritual ini sendiri, dalam kepercayaan agama Budha dinamakan Thudong. Para peserta Thudong mayoritas adalah para Biksu. Namun, para Biksu juga tidak menutup atau menghalangi bagi umat Budha lainya yang ingin melakukan perjalanan bersama mereka.

Perjalanan kali ini diikuti lebih dari 30 bhikkhu yang dimulai pada 23 Maret 2023 lalu. Perjalanan ritual dari para pemuka agama Budha tersebut, dimulai dari Nakhon Si Thammarat, Thailand.

Di Indonesia sendiri akan melalui rute Batam, Jakarta, Cirebon, Semarang, Magelang dan puncak perjalanan akan berakhir di Candi Borobudur. Perjalanan ritual ini juga disejalankan dengan perayaan hari raya Waisak.

Bhante Kantadhammo, salah satu Bhikkhu Thudong yang berasal dari Indonesia menuturkan, rata-rata perjalanan yang harus ditempuh oleh para bhikkhu kurang lebih dari 45 kilometer per hari. Dalam perjalanan ritual seperti ini, para Bhikkhu juga mensejalankan ritual untuk makan satu kali dalam sehari semalam.

"Para Banthe memulai berjalan kaki dari Bangkok menuju Borobudur pada 23 Maret 2023 lalu. Dari Bangkok hingga Borobudur diperkirakan 2.606 kilometer perjalanan, dan itu ditempuh sekitar 60 hari. Jadi, rata-rata setiap hari harus bisa menempuh jarak kurang lebih 45 kilometer," tutur Banthe Kantadhammo, yang ditemui BATAMTODAY.COM, saat ramah tamah di salah satu restoran di Kawasan Nagoya Batam, Senin (8/5/2023) malam.

Banthe Kantadhammo yang biasa juga disapa Banthe Wawan ini melanjutkan, untuk Thudong saat ini semua bhante berjumlah 30-an orang termasuk dirinya dari Indonesia dan 1 dari Laos.

"Sebenarnya ada peserta dari Australia, Sri Lanka, Vietnam, dan dari India. Tetapi mereka batal ikut karena ada masalah. Saat masuk ke Malaysia ada tiga bhikkhu yang jauh-jauh bulan lalu ingin ikut serta. Jadi total 33 Bhikkhu dan 2 umat (Bangkok dan dari Cirebon)," kata Bhante Wawan.

Banthe Wawan menjelaskan, saat tiba di Batam, para Banthe disambut oleh panitia dan umat. Pada 9 Mei 2023 pukul 14.00 WIB, rombongan Thudong melanjutkan perjalanan ke Jakarta melalui perjalanan udara. Saat di Jakarta, para Banthe akan beristirahat di Cetya Pannasikha.

Dari Jakarta, kemudian Thudong dilanjutkan menuju ke beberapa kota dan sampai di Kota Cirebon. Rencana tinggal di Cirebon selama tiga hari karena akan melakukan beberapa acara, termasuk kedatangan para guru dan kepala Wihara dari Thailand dengan total 13 bhikkhu.

"Tanggal 20 Mei sore hari, setelah siang kita kedatangan para guru di Kota Cirebon. Sore hari kita diundang oleh Sultan Kesepuhan untuk silaturahmi. Tanggal 21 Mei kita akan adakan acara Pindapata, makan bersama, Sanghadana di Sekolah Sariputta Cirebon hingga selesai. Dan Maha Kassapa Thera, untuk acara serah terima tanah ke Sangha, blessing sekretariat dan Buddha rupang. Akan hadir tokoh semua agama, seperti Islam, Kristen, Protestan, Hindu dan lainnya. Selain itu, staf pemerintahan juga ikut hadir. Pada tanggal 22 pagi, setelah makan, para guru akan melepas kita melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah," terang Banthe yang satu-satunya berasal dari Indonesia ini.

Di setiap Thudong, Banthe Wawan memaparkan, para Banthe telah membuktikan toleransi umat beragama di dunia masih sangat tinggi, bahkan di beberapa negara juga masih sangat terjaga. Dalam perjalanan, para Banthe berani menepis isu negatif tentang sifat ekstrem pada agama tertentu.

"Salah satu tujuan perjalanan ritual ini adalah untuk mempererat toleransi. Dan kami sudah membuktikan bahwa toleransi di dunia masih sangat tinggi. Bahkan, nanti setibanya kami di Pulau Jawa, kami diundang oleh Habib Lutfi. Untuk tinggal dan bermalam di pesantren mereka," ungkap Banthe Kantadhammo.

"Saya tidak setuju adanya stigma bahwa Islam atau ummat muslim itu adalah umat yang tidak toleran. Banyak orang berpikiran negatif bahwa Islam itu tidak toleran dan aliran keras, itu merupakan pandangan yang salah. Kita sudah membuktikan dengan melakukan perjalanan ke negara Islam seperti Iran, Irak dan beberapa negara Islam lainnya, mereka sangat welcome dan kami selalu mendapatkan bantuan dari mereka," sambungan Banthe Kantadhammo.

Sementara Peluh Prabu Diaz, seorang fasilitator muslim bagi Biksu Thudong Thailand - Malaysia - Singapura - Indonesia 2023, menuturkan, berkibarnya Bendera Merah Putih di barisan Thudong dari Kota Nakhon Si Thammarat, Thailand, membuat rasa haru dan tidak mampu menahan air mata. Baginya rasa bangga merah putih menjadi salah satu peserta dari perjalanan ritual dan sakral itu.

Terlebih, hadirnya Bendera Merah Putih di barisan itu tak terlepas dari peluh keringatnya dalam mempersiapkan ritual bagi Biksu atau Bhante umat Budha tersebut. Meskipun dia adalah seorang muslim.

"Saya awalnya tidak percaya juga ini bisa terlaksana seluar biasa ini," katanya usai mengantarkan para Biksu Thudong tiba di Kota Batam, Indonesia.

Dengan jubah putih dan sorbannya, Prabu Diaz membagi kisahnya membantu pelaksanaan Thudong 2023. Baginya, apa yang dia lakukan saat ini adalah bentuk dari toleransi, baik sebagai warga negara Indonesia maupun umat muslim.

Perayaan Imlek 2019, jadi titik awal semangatnya dalam membantu perayaan Thudong. Kala itu, Ia bertemu dengan salah satu Bhante yakni Bhante Wawan yang menceritakan panjangnya perjalanan para biksu pada ritual Thudong termasuk di beberapa Negara Islam di Timur Tengah.

"Ternyata tahun 1957 sudah ke berbagai negara Islam. Nah, Indonesia kok belum. Setelah saya pelajari, saya nyatakan ke Bhante Wawan, Thudong harus di Indonesia. Sepanjang ini benar, insyaallah saya semangat dan yakin bisa," tuturnya.

"Saya salat dan meminta kepada Allah. Jika memang langkah ini benar, maka tunjukkan jalannya. Namun jika salah, maka tutuplah semua jalannya," sambung Diaz.

Sejak saat itu, Prabu Diaz memulai langkahnya mempersiapkan ritual Thudong meski penuh tantangan. Mulai dari dikatakan kafir, penista agama, dicemooh, disebut liberal, hingga bingung mencari anggaran.

"Apapun yang dikatakannya biarlah. Saya berpatokan pada Sayidina Ali yang akan memimpin umat di dunia walau tidak seagama," tuturnya lagi.

Namun, tantangan itu berhasil dia lewati dengan tetap berpegang teguh pada Doanya. Seminggu sebelum pelepasan, Diaz mendapatkan kabar gembira bak jawaban dari doanya. Ia ditelepon oleh seseorang yang ingin membiayai seluruh keperluan Thudong. Ditambah lagi dengan dukungan yang ada di setiap daerah yang akan dilintasi termasuk Indonesia.

Para peserta Thudong akan memulai rutenya dari Jakarta hingga ke Candi Borobudur pada puncak perayaan Waisak 2023. "Semua tiketnya ditanggung. Tiba-tiba di Thailand muncul panitia-panitia. Termasuk di Batam, Indonesia. Saya Shalat juga sama Allah. Mudah-mudahan langkah saya ini benar," lanjutnya.

Tak hanya itu, rombongan para Bhante juga akan disambut oleh Habib Muhammad Luthfi bin Yahya di Pekalongan, Jawa Tengah. "Termasuk diajak ke pesantren dan rumahnya Habib Luthfi di Pekalongan. Paginya akan dijamu. Beliau yang menawarkan," ucap Diaz dengan semangat.

Walau demikian, Diaz mengaku pengalamannya kali ini adalah yang pertama dan mungkin akan menjadi yang terakhir. Tingginya risiko dan beratnya tantangan membuatnya pesimis jika kembali mengemban amanah yang sama nanti.

Apalagi, lelaki yang mengaku sebagai Panglima Laskar Agung Macan Ali Nusantara kasultanan Cirebon, menambahkan, diusianya yang akan terus bertambah. Ia berharap hal serupa dapat terus berlangsung dan akan ada umat muslim lainnya yang turut serta mencerminkan nilai-nilai toleransi dalam berkehidupan.

"Ini tidak gampang, harus ke Kementerian Luar Negeri dan kedutaan masing-masing negara karena membawa orang asing. Resikonya besar. Mungkin untuk mengurus lagi nanti saya sudah tidak mampu. Ini tanpa tendensi politik. Saya dibantu oleh banyak orang," tutup Prabu Diaz.

Editor: Gokli