Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Lebaran Ipin
Oleh : Opini
Senin | 24-04-2023 | 08:36 WIB
A-DAHLAN-ISKAN25.jpg Honda-Batam
Wartawan senior Dahlan Iskan. (Foto: Ist)

Oleh Dahlan Iskan

DARI Beijing saya langsung ke Trenggalek. Lebaran di kota kelahiran lodhoh komersial itu. Saya ikut saja apa maunya anak-cucu.

Bupatinya Bonek: Mochamad Nur Arifin. Dipanggil Ipin. Masih muda: 32 tahun. Ketika terpilih sebagai wakil bupati ia baru berumur 25 tahun.

Istrinya model. I-nya lima. Ketika masih di SMA 17 Surabaya, dia ikut DBL, event kebanggaan anak-anak SMA di Indonesia.

Tahun lalu kami berlebaran di Banyuwangi, meski juga tidak punya keluarga di sana.

Di Lebaran seperti inilah kami bisa berkumpul lengkap sekeluarga. Berlebaran seperti itu kami bisa berinteraksi sekeluarga dengan intensitas tinggi: dua harmal. Termasuk menjadi seperti anak kecil: main-main di alun-alun.

Ayunan di pantai. Naik-naik tumpukan batu. Beli makanan-makanan kaki lima di pinggir jalan. Duduk-duduk di trotoar. Dan bikin video main-main keluarga di Pantai Mutiara.

Acara formalnya hanya satu: diajak bupati salat Idulfitri di Masjid Agung Trenggalek. Lalu makan opor ayam di pendapa kabupaten.

Kali ini kami minta izin melaksanakan sungkeman keluarga di pendapa kabupaten. Mumpung masih sepi. Yang ramai adalah di halamannya: masyarakat mulai antre bersalaman dengan bupati sekalian dapat hadiah Lebaran.

Tahun lalu kami sungkeman di taman kompleks villa Soolong. Di pinggir laut Banyuwangi. Acaranya sama: para istri sungkem ke suami. Anak-anak sungkem ke orang tua. Cucu-cucu sungkem ke kakek-nenek. Anak yang lebih muda sungkem ke anak yang lebih tua. Cucu yang lebih kecil sungkem ke yang lebih besar.

Lalu ganti: para suami sungkem ke istri. Kami memang yakin para suamilah yang lebih banyak salah ke istri. Dan kesalahan suami itu biasanya hanya disimpan dalam-dalam di hati istri.

Suami sungkem istri itu sudah bertahun-tahun kami lakukan. Jeleknya: itu bukan atas kesadaran para suami. Itu atas tuntutan para istri. Lalu para suami bisa menerima tuntutan itu. Kami pun, para suami, sungkem ke istri dengan keikhlasan tinggi.

Dari acara makan opor di pendapa ini saya bisa menarik kesimpulan: Bupati Ipin adalah pengagum Bung Karno. Foto dan lukisan proklamator Indonesia itu bertebaran di mana-mana. Ia sendiri selalu mengenakan kopiah khas Bung Karno. Wajahnya, saya pelototi, ada juga mirip Bung Karno: ganteng.

Cucu Pak Iskan melihatnya lain. "Songkok itu punya fungsi lain," katanya.

Sang cucu mengenal lebih baik Cak Ipin. Ada hubungan sesama Bonek. Sang cucu adalah presiden Persebaya yang entah diizinkan mundur atau tidak. "Kopiah itu sekalian untuk menutup rambutnya," katanya lantas tertawa ke arah Ipin.

Itu bukan gurau. Bupati Ipin memang berambut panjang. Dicat pula. Khas anak muda masa kini.

Tapi di Lebaran ini saya tidak melihat rambut panjang itu. Pun ketika kopiah Bung Karno-nya agak digeser. Terlihat bekas cukuran. "Saya sekarang gundul," kata Cak Ipin.

Sejak kapan?

"Sejak hari kanker nasional kapan itu," tambahnya.

Di acara itu, Ipin melihat seorang istri merawat suami yang lagi sakit parah. Padahal sang istri juga lagi sakit kanker. Kepala sang istri gundul. Ia menangis dalam hati: istri yang sakit masih merawat suami yang sakit. Lalu ia menggundul rambut panjangnya.

Bupati Ipin pandai sekali manarasikan persoalan rumit. Bicaranya lancar seperti kereta cepat Tiongkok.

"Dari mana belajar pandai berbicara?" tanya saya.

"Lho saya dulu kan penjual panci," jawabnya spontan.

Ipin memang matang ditempa oleh keadaan: ayahnya meninggal ketika umur Ipin baru 16 tahun. Masih di SMAN 6 Surabaya. Ia anak pertama dari tiga bersaudara. Ia langsung harus mengambil alih usaha orang tua: jualan panci. Direct selling.

Setelah usaha tertata, Ipin kuliah. Tapi pikirannya terus di panci. Ia bahkan bikin pabrik panci di Trenggalek, kampung asal bapaknya.

Dalam berdagang panci, ia punya prinsip yang beda sekali: tidak mau pasang iklan. Juga tidak mau jualan online. Dasar pikirannya: agar tidak cepat ditiru pabrikan besar, terutama Tiongkok. Itulah kiatnya bertahan dari serbuan barang Tiongkok.

Merek pancinya: Tin. Diambil dari nama ibunya. Kuat. "Saking kuatnya banyak yang dipakai mengeduk pasir," kelakarnya. Ia tidak peduli pancinya dipakai apa saja. Yang penting terjual.

"Di LHKPN, saya terlihat punya banyak sekali mobil. Tapi kalau dilihat secara detail tidak ada yang bermerek," guraunya. Itulah mobil-mobil pikap sebagai armada direct selling panci.

Kok tertarik politik?

"Orang tua saya PKB. Tapi saya tidak pernah didukung PKB," katanya pahit.

Ia ingat, waktu kecil, diajak bapaknya ke kantor NU Surabaya. Sang ayah, saat itu, lagi berjuang menjadi ketua PCNU Surabaya.

Sukses punya pabrik panci, Ipin menjadi anak muda yang menonjol di Trenggalek. Maka ketika Emil Dardak maju sebagai calon bupati Trenggalek, Ipin digandeng sebagai cawabup.

Waktu itu umurnya baru dua bulan genap 25 tahun. "Kalau saja penutupan pendaftaran cagub itu bulan Maret, saya tidak memenuhi syarat. Untungnya bulan Mei. Saya baru berumur 25 tahun di bulan April," katanya.

Menjelang mendaftar sebagai cawabup itu Ipin ke Surabaya. Menemui ibunya. Minta restu. Sang ibu memberi restu.

Lega.

Setelah itu sang ibu ingat ada surat yang sudah beberapa hari dia taruh di meja. Dia ambil surat itu. Dia serahkan ke Ipin. Dari Universitas Airlangga. Isinya pemberitahuan: Ipin di-DO.

Hari itu Ipin menerima restu ibu dan pemberitahuan dikeluarkan dari Unair. Penyebabnya: lupa membayar SPP sampai batas waktu yang ditentukan. Padahal tinggal skripsi di fakultas ekonomi.

Ipin segera melupakan DO itu. Yang penting jangan bocor di masa kampanye. Akhirnya: pasangan Emil-Ipin terpilih. Meraih 70 persen suara pula.

Emil adalah doktor lulusan Jepang. Putra mantan wakil menteri PU yang asli Trenggalek. Istri Emil juga model dan bintang film dengan 5i.

Di tengah jalan, Emil maju jadi calon wakil gubernur Jatim. Berpasangan dengan Khofifah Indar Parawansa. Terpilih.

Ipin pun dapat panci besar: otomatis jadi bupati.

Tapi Ipin hampir saja tidak bisa dilantik. Ia dilaporkan hilang. Sehingga ia harus mendapat hukuman jabatan: hilang dalam jabatan.

Ipin memang hilang. Tepatnya menghilang. Padahal ia pejabat bupati. Yakni, sejak Emil maju sebagai calon wakil gubernur dari Partai Demokrat dan koalisinya.

Hari-hari itu Ipin ke London. Mampir Amsterdam dan Paris. Tanpa mendapat izin atasan.

Tapi ia bukan jalan-jalan di sana. Ia mendapat tugas politik. Kalau minta izin, yang memberi izin pun akan kesulitan secara politik.

Ipin pun dihukum: tidak segera dilantik jadi bupati. Status pejabat bupatinya diulur sampai lebih satu tahun.

Tapi hukuman itu berkah bagi Ipin. Gara-gara penundaan pelantikan itu masa jabatan bupatinya tidak dihitung satu periode. Berarti, setelah sekarang ini pun Ipin masih bisa maju lagi jadi calon bupati Trenggalek. Kans-nya besar. Di pilbup lalu ia menang 68 persen.

Sambil menjadi bupati akhirnya Ipin lulus S-1 dari Unitomo. Lalu ditawari untuk ambil S-2 di Unair.

"Saya mau ke S-2 Unair asal ada prodi pemberdayaan perempuan," katanya. Unair pun membuka prodi yang diinginkan. Kini Ipin lagi bersiap menyusun tesis.

Istrinya juga S-2. Sang istri kini lagi berencana menerbitkan bukunyi: Ekonomi Perempuan.

Suami istri muda itulah yang kini bertanggung jawab memakmurkan Trenggalek yang miskin.

Trenggalek punya gunung dan pantai. Mirip Pangandaran di Jabar. Tapi nasibnya juga mirip: jauh dari mana pun. Terutama dari kota besar.

Dulu Trenggalek pernah jaya: sebelum Ipin lahir. Trenggalek pernah jadi pusat produksi cengkih. Itu berkat kenekatan bupati tentara berpangkat kolonel. Namanya: Kolonel Sutran. Presiden Soeharto senang sekali pada Sutran. Ia dianggap berhasil mengangkat Trenggalek dari kabupaten termiskin di dunia menjadi makmur. Sutran diangkat menjadi gubernur Papua.

Lalu Trenggalek miskin lagi. Itu gara-gara anak Soeharto: Tommy Soeharto. Tommy terjun ke bisnis cengkih. Dibuatlah lembaga monopoli yang saya sudah lupa namanya. Harga cengkih pun hancur. Rakyat membabat pohon cengkih mereka.

Selama Lebaran di Trenggalek ini saya masih melihat bekas-bekas pohon cengkih itu. Yakni ketika di hari Lebaran itu kami meninggalkan kota ke Pantai Mutiara. Di laut selatan. Sebelah Pantai Prigi.

Pantai Mutiara adalah "penemuan" baru. Bu Susi Pudjiastuti, Menteri Perikanan dan Kelautan pada saatnya, suka sekali Pantai Mutiara.

Pantai pasirnya tidak sepanjang Prigi. Juga bukan pasir putih. Tapi Mutiara ini seperti pantai teluk terlindungi. Ada pulau nun di mulut Teluk Mutiara.

Pulau itu seperti menjadi tirai bagi pintu Teluk Mutiara. Laut lepasnya tidak terlihat. Dengan demikian tidak ada gelombang besar di Mutiara. Maka Mutiara bisa dicadangkan untuk kejuaraan dunia Power Boat. Ideal sekali. Terutama kalau persoalan angin di Danau Toba tidak bisa teratasi.

Itu yang membedakan Mutiara dengan Prigi. Di Mutiara tidak ada gelombang besar. Lingkungannya bukit. Pulau penutup pintu itu sendiri pulau bukit. Tanjung di dua sisi teluk Mutiara juga bukit. Hijau dan hijau.

Maka berada di pantai Mutiara Trenggalek ini saya merasa seperti berada di pusat wisata dekat Hanoi: Ha Long Bay.

Dari Hanoi, Ha Long Bay juga jauh: satu jam perjalanan. Waktu itu jalannya juga jelek.

Dari Trenggalek ke Mutiara juga jauh: 1,5 jam. Jalannya juga kurang baik.

Hanya saja Hanoi adalah ibu kota negara Vietnam. Sedang kota Trenggalek ibu kota kabupaten miskin. Maka daya beli Hanoi jangan dipertandingkan dengan Trenggalek.

Mungkin setelah tol Surabaya-Kertosono disambung ke Kediri kelak Ha Long Bay-nya Trenggalek ini akan lebih hidup. Apalagi bila ditambah pelebaran jalan menuju pantai itu.

Berarti Ipin masih punya waktu untuk membuat perencanaan yang besar atas Prigi-Mutiara. Agar jangan kedahuluan bangunan-bangunan informal yang kelak sulit menatanya.

Gunung Kidul sudah bisa jadi model kemakmuran daerah semiskin Trenggalek. Lewat pariwisata. Pun Banyuwangi, meski latar belakangnya tidak semiskin Trenggalek.

Maka kembali ke manajemen di daerah. Anak muda seperti Ipin akan bisa menunjukkan perbedaannya.

Hanya saja ada penyebab kemiskinan Trenggalek yang lebih laten: hampir separo wilayah kabupaten itu milik BUMN Perhutani.

Perkebunan dan kehutanan BUMN sudah terbukti tidak bisa memakmurkan rakyat. Tapi tulisan ini akan menjadi sangat serius untuk membahasnya.

Padahal ini tulisan edisi Lebaran. Mohon maaf lahir batin.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia