Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Safari Tsinghua
Oleh : Opini
Kamis | 20-04-2023 | 08:36 WIB
dahlan_iskan-020213.jpg Honda-Batam
Wartawan senior Dahlan Iskan. (Foto: Ist)

Oleh Dahlan Iskan

PUN ketika di Tsinghua. Buka puasanya di restoran Xinjiang. Dengan sate istimewanya itu. Di dekat kampus yang luasnya hampir 500 hektare ini. Di pinggir utara kota Beijing.

"Boleh berapa orang?" tanya Lutfiya, mahasiswi S2 asal Lombok itu.

"Berapa saja," jawab saya.

Rupanya dua kamar yang bisa digabung di resto itu hanya cukup untuk 20 orang. Maka hanya pendaftar pertama yang bisa gabung. Cepet-cepetan.

"Saya tidak dapat tempat," ujar Farhan asal Medan yang ayahnya kini tinggal di Lombok. Ia ambil jurusan energi dalam kaitannya dengan listrik di Tsinghua. Saya bertemu Farhan sehari sebelumnya di acara buka puasa di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing.

Dari 20 orang itu yang Islam hanya dua orang. Dua-duanya wanita. Berjilbab semua. Selebihnya adalah Kristen dan Buddha.

"Bapak saya pernah bertemu Pak Dahlan di acara Tri Dharma," ujar Benny Wijaya asal Palembang. Benny masuk SMA di Singapura. Lalu S1 sudah di Tsinghua. Pun S2. Dan kini menempuh S3. Semua di bidang otomotif.

Saya memanggil Benny dengan panggilan Xiao Huang. Dik Huang. Marganya memang Huang. Masih mempertahankan tetap bujangan tanpa pacar. Maka Xiao Huang pun jadi rebutan: di-bully teman-temannya. Ia cuek. Terus tersenyum.

Xiao Huang berkeinginan untuk bekerja dulu setelah menjadi doktor otomotif. Di luar negeri. Setidaknya dua tahun. Setelah itu ia ingin bisnis. Ingin merintis sesuatu yang baru untuk Indonesia.

Selama makan malam kami ngobrol. Dialog. Banyak pertanyaan. Dua mahasiswa asal Surabaya. Empat dari Tangerang. Dari Purwokerto. Dari Pontianak. Pekanbaru. Dari Kalsel. Kami lebih banyak ngobrol dalam bahasa Mandarin. Mayoritas 20 orang itu Tionghoa. Sudah punya modal bahasa Mandarin sebelum ke Tsinghua. Bahkan yang dua orang sekolah SMA-nyi di Hangzhou.

Kini ada 75 orang mahasiswa Indonesia di Tsinghua. Tiap tahun jumlahnya terus meningkat. Ini menandakan kepintaran anak-anak Indonesia kian diakui. Tsinghua adalah universitas ranking 14 di dunia. Pejabat tinggi Tiongkok umumnya lulusan Tsinghua.

"Anda-Anda ini orang pilihan. Banyak mahasiswa Tiongkok sendiri hanya bisa mimpi untuk masuk Tsinghua," ujar teman saya dari Beijing yang saya ajak buka puasa. Mereka pun tepuk tangan. Saya bangga melihat antusiasme mereka untuk menjadi alumni Tsinghua.

Saya tiba satu jam lebih awal dari jadwal buka puasa. Saya ingin diajak keliling kampus. Saya begitu ingin melihat kebesaran nama universitas ini. Memang ini kali pertama saya ke Tsinghua.

"Mau naik sepeda atau motor listrik?" tanya Lutfiya.

"Jalan kaki saja," jawab saya.

"Kuat?"

"Kampus ini kan datar. Dua hari lalu saya naik ke puncak Huangshan," jawab saya.

Lutfiya sendiri punya sepeda. Dia beli sepeda setelah satu minggu tiba di Tsinghua. Kali pertama ke Beijing dulu, 1986, saya juga beli sepeda. Tahun itu nyaris belum ada mobil di Beijing. Jalan-jalan penuh sepeda.

Lutfiya beli sepeda karena kampus ini besar sekali. Kalau berjalan kaki bisa-bisa tidak bisa mengejar pelajaran di kelas yang berbeda.

Tentu saya diajak ke gerbang tua Tsinghua. Yang Anda sudah tahu: banyak orang berfoto di situ. Tulisan di gerbangnya seperti bukan gerbang universitas: ????Taman Qing Hua.

Dulunya lokasi ini memang taman bunga istana kekaisaran dinasti Qing. Diubah jadi universitas di tahun 1911. Inilah universitas yang dibangun oleh Amerika sebagai penebusan kesalahan negara-negara Barat. Sebelum. Itu mereka telah menjarah harta kerajaan kuno yang tak ternilai harganya.

Karena itu bentuk gedung-gedung di kampus ini sangat Amerika. Penempatan gedungnya pun mirip seperti universitas besar di Amerika. Tamannya luas. Indah. Ada bukit-bukit kecil yang kelihatannya bukit buatan. Ada danau. Ada jogging track. Air mancur. Plaza. Pohon-pohon besar.

Berada di dalam kampus Tsinghua tak bedanya dengan di Stamford atau di Harvard dan MIT. Apalagi kesejukan udara di bulan April membuat musim semi berbunga dan berdaun.

Anda sudah tahu: ada perang opium di pertengahan 1800-an. Kekaisaran Tiongkok kalah. Barat boleh menguasai kawasan manapun dan melakukan apa pun.

Maka tanah Tiongkok dikapling-kapling. Tianjin sampai Beijing dan sekitarnya dikuasai Amerika. Shandong dan sekitarnya Jerman. Guangzhou dan sekitarnya Prancis. Ujian dan sekitarnya Jepang. Harbin sampai Dakian untuk Rusia. Waktu itu Jepang dan Rusia bergabung di aliansi Barat. Inggris dapat wilayah... saya lupa.

Di zaman inilah terjadi apa yang dalam literatur disebut zaman perampokan dan penjarahan harta termahal Tiongkok: emas, berlian, mahkota raja, benda-benda kuno...

Zaman itu juga menimbulkan kebencian yang meluas di masyarakat. Apalagi taman-taman besar diberi pengumuman yang sangat merendahkan harga diri mereka. Anjing dan Tionghoa dilarang masuk.

Puncak kebencian itu terjadi tahun 1898. Di bulan Oktober yang mulai dingin. Yakni ketika kelenteng Jade Emperor, kelenteng kaisar, diubah menjadi gereja Katolik.

Pemberontakan besar-besaran terjadi. Kekuatan Barat bergabung menumpas pemberontakan ini. Puluhan ribu pemberontak, anak-anak muda dibunuh.

Kelak ketika terjadi perundingan perdamaian (1901) Tiongkok menuntut ganti rugi atas hilangnya harta karun kuno. Amerika setuju mengalokasikan sejumlah uang tapi bukan uang kontan. Uang itu untuk beasiswa sekolah di Amerika.

Agar penerima bea siswa bisa langsung mengikuti pelajaran di Amerika dibangunkan lembaga pendidikan pra-universitas. Di taman Istana Kaisar Qing itu. Yang membangun Amerika. Pengurusnya Amerika. Dosennya Amerika.

Di kota Qingdao, Shandong saya lihat banyak gedung peninggalan Jerman. Bahkan bir terbaik di Tiongkok diproduksi di Qingdao. Namanya juga Qingdao Beer. Aslinya: Becks Beer. Bir terkenal di Jerman. Ini mirip Belanda meninggalkan Bir Bintang di Indonesia yang aslinya Anda sudah tahu.

Di kota Harbin, di pojok Timur Laut Tiongkok, saya lihat begitu kuat peninggalan Rusia. Bahkan sebagian wilayah Rusia sekarang ini dulunya bagian dari hasil penjajahan itu.

Sejarah perang opium, pengkaplingan wilayah dan persoalan harga diri itu ikut mewarnai perjalanan Tiongkok hari ini.

Kian banyak pula mahasiswa kita yang belajar di kampus penuh sejarah ini. Saya juga diajak ke salah satu perpustakaan Tsinghua. Penuh mahasiswa baca buku. Atau menghadap laptop yang Wi-Fi-nya gratis.

Lalu saya diajak berfoto di depan perpustakaan itu. Rupanya ada nama seseorang diabadikan di gedung itu: Mochtar Riyadi.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia