Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

UU Perkebunan Langgar Konstitusi
Oleh : Surya/Tunggul Naibaho
Selasa | 22-02-2011 | 16:13 WIB

Jakarta, batamtoday - Guru Besar Hukum Agraria UGM ,Prof Nurhasan Ismail, menyatakan UU No 18 tahun 2004 Tentang Perkebunan, bertentangan dengan UUD 1945.

Demikian disampaikan Nurhasan dalam kapasitasnya sebagai saksi ahli di hadapan majelis hakim Mahkamah Konstitusi terkait judicial review atas pasal pasal 21 junto pasal 47 ayat (1,2) pada UU Perkebunan tersebut, Selasa 22 Februari 2011.

Permohonan judicial review diajukan atas nama Japin, Vitalis Andi, Sakri dan Ngatimin.

Pasal 21 berbunyi: ""Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan."

Pasal ini dinilai secara ortodox bertentangan pasal 18 huruf B ayat (2) UUD 1945, yang secara jelas dan nyata mengatakan bahwa, "Negara  mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur undang-undang".

"Undang-undang ini bermaksud melindungi usaha perkebunan, namun masyarakat hukum adat yang dijamin konstitusi dianggap tidak ada," kata Nurhasan.

Lebih jauh Nurhasan mengatakan, dari rumusan konstitusi pada pasal 18 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat lebih dahulu ada, daripada usaha perkebunan.

Alasan gugatan judicial review ini adalah adalah adanya potensi kerawanan untuk menyalahgunakan pasal tersebut. Selain itu, pasal tersebut juga dinilai telah melanggar prinsip-prinsip negara hukum.

""Terutama pada frasa 'Tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan'. Frasa tersebut tidak memenuhi unsur atau prinsip-prinsip negara hukum secara simultan," tutur kuasa hukum pemohon Wahyu Djafar.

Akibat pemberlakuan UU Perkebunan ini, berbagai kasus pengusiran masyarakat hukum adat kerap oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki hak guna usaha kerap terjadi, dan selalu menimbulkan konflik yang berujung kerugian pada masyarakat hukum adat, karena masyarakat hukum adat tidak lagi bisa mengakses tanah yang telah mereka warisi secara turun menurun.