Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Komnas HAM Nyatakan Peristiwa 1965-1966 sebagai Kejahatan HAM Berat
Oleh : miol/si
Senin | 30-07-2012 | 19:13 WIB

JAKARTA, batamtoday - KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) resmi menyatakan peristiwa 1965-1966 yang selama ini menjadi salah satu beban sejarah bangsa Indonesia merupakan kejahatan HAM berat.



Komnas HAM menyebut kejadian yang dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut berlangsung secara amat sempurna, sistematis, dan meluas.

"Ini memang kerja selama 4 tahun dengan meminta keterangan 349 saksi, baik korban maupun orang yang patut kita mintai pertanggungjawaban, dan jelas kami nyatakan bahwa ini kejahatan kemanusiaan berat," kata Wakil Ketua Komnas HAM Nurcholis di Jakarta kemarin

Dari hasil pengumpulan keterangan selama empat tahun terakhir itu, Komnas HAM, kata dia, berhasil memetakan bentuk kejahatan yang dialami para korban. Pada intinya memenuhi 10 kategori kejahatan HAM sebagaimana diamanatkan Pasal 9 UU No 26 Tahun 2.000 tentang Pengadilan HAM.

Kesepuluh bentuk kejahatan dimaksud ialah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, dan penghilangan orang secara paksa.

"Rata-rata yang kami dapatkan informasinya mereka ditahan sekian puluh tahun di dalam penjara, di sana mereka mengalami penyiksaan, ada yang diperkosa, beberapa dibuang ke Pulau Buru, dan ditembak secara massal, beberapa yang memang menunggu mati di dalam penjara," ungkap Nurcholis.

Paling lengkap

Paling mengenaskan, kata dia, proses-proses yang dialami oleh para korban itu sama sekali tidak melalui proses hukum. "Ini yang kami sebut sebagai kejahatan HAM karena seseorang mendapat perlakuan keji seperti itu tanpa proses hukum apa pun. Tahu-tahu ditangkap, ditahan, diperkosa, dibunuh, disiksa. Ini jumlahnya ratusan ribu orang, bahkan bisa lebih," paparnya.

Tak hanya karena bentuk kejahatan kemanusiaan yang membuat aksi keji 47 tahun silam itu pantas dikutuk sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, tetapi juga karena Komnas HAM menemukan unsur sistematis dan meluas dari sebuah kejahatan. "Jadi sudah beragam bentuk kejahatannya, ditambah sistematis dan meluas. Maka lengkap sekali pelanggaran HAM yang kami tangkap dalam kasus ini," ujar Nurcholis.

Disebut sebagai sebuah kejahatan sistematis, tukasnya, karena dalam temuan mereka terdapat persamaan pola di hampir semua tempat di Indonesia, yakni para korban sebelumnya didaftar, lalu ditahan tanpa surat tahanan, dan itu dilakukan oleh militer yang pada saat itu disebut sebagai Tim Pemeriksa Daerah. "Pola-pola itu sama di setiap daerah. Maka itu kami sebut ini sistematis sekali, dari satu garis komando sampai eksekusi di lapangan," jelasnya.

Tak hanya sistematis, kejadian yang menjadi luka sejarah sekian lama ini juga berlangsung secara luas. "Karena hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Papua," tukas Nurcholis.

Temuan Komnas HAM itu sudah dipublikasikan secara luas dan mendapat beragam tanggapan publik. Pada intinya masyarakat mengapresiasi temuan itu dan berharap agar apa yang diungkap Komnas HAM itu bisa berujung pada sebuah penyelesaian yang konkret.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan oleh negara untuk menindaklanjuti temuan itu? Dalam rekomendasinya, Komnas HAM jelas meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menindaklanjuti secara hukum dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Berkenaan dengan rekomendasi tersebut, masih ada persoalan yang mengganjal yakni perbedaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejagung. Kejagung berpandangan bahwa mereka akan melakukan penyelidikan dan penyidikan bila ada rekomendasi dari DPR RI tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Sementara itu, Komnas HAM berpandangan tidak mungkin ada rekomendasi DPR tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc bila tidak punya data dan fakta hukum terkait kejahatan kemanusiaan tersebut. Karena itu, Komnas HAM bersikeras bahwa Kejagung harus terlebih dahulu melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga fakta-fakta hukum yang diperoleh Kejagung menjadi dasar bagi DPR untuk mengeluarkan rekomendasi.

“Proses pembentukan pengadilan ini yang sering menjadi hambatan. Jaksa Agung sekarang tidak mau menyidik kalau Pengadilan HAM Ad Hoc belum terbentuk. Padahal, sebelumnya ada pengadilan Timur Timor, Tanjung Priok di mana jaksa melakukan penyelidikan sebelum keluar keppres tentang pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc," keluh Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim.

Hambatan lain, ucap Ifdal, proses politik di DPR dan proses pengeluaran keppres bisanya sarat dengan muatan politis yang pada akhirnya semakin mempersulit pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Akibatnya, hampir sepuluh tahun terakhir tidak ada kasus pelanggaran HAM berat yang disidik oleh Kejagung,” katanya.

Meski demikian, Ifdal tetap optimistis bahwa ada cara penyelesaian lain, yaitu berkaca dari luar negeri yang menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi itu menyelesaikan secara politik, kecuali untuk kasus yang diajukan ke Pengadilan HAM Internasional.

“Pemerintah harus punya cara pandang melalui kebijakan politik untuk menuntaskan kasus HAM lalu, yaitu melalui pengadilan atau dengan mekanisme lain. Apalagi, proses pengadilan jalannya terlalu panjang dan akhirnya buntu. Menurut saya, dibutuhkan inisiatif pemerintah dalam mencari jalan yang lebih simpel untuk menyelesaikan itu,” tuturnya.

Tidak ada kemauan

Anggota Komisi III DPR dari F-PKS Nasir Djamil menilai keengganan untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM karena tidak ada kemauan semua pihak, terutama pemerintah, untuk menyelesaikan kasus HAM.

”Kalaupun ada rekomendasi dari DPR ke presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR tidak dalam posisi menuntut agar rekomendasi itu dilaksanakan oleh presiden. Seharusnya DPR menagih dan menuntut ke presiden. Namun, karena semua sudah disandera oleh kepentingan-kepentingan politik, akhirnya gerak anggota DPR pun tidak leluasa,” ujar Nasir.

Lebih lanjut ia mengatakan, mungkin banyak dari anggota DPR yang menganggap bahwa untuk apa mengurus orang mati, yang hidup saja sulit. Akibatnya, tidak ada desakan kuat ke presiden. Atau ada kekhawatiran dari beberapa pihak, bahwa jika dibentuk Pengadilan Ad Hoc akan terjadi blunder, gejolak politik, dan mengancam kelompok tertentu.

Seharusnya, sambung dia, Indonesia memiliki keberanian untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, baik lewat pengadilan atau cara lainnya guna memberikan dampak positif dan pemulihan bagi para korban sekaligus menjadi pembelajaran agar kasus serupa tidak terulang.

“Jadi, saya berharap DPR sebagai penyeimbang, tidak hanya memberikan rekomendasi tapi bagaimana mendesak presiden agar mengeluarkan keppres untuk kepentingan bangsa. Jangan dibayang-bayangi kekhawatiran, kepentingan kelompok."

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin mendorong Presiden agar segera membentuk semacam task force (satgas) yang langsung di bawah koordinasinya. Satgas itulah yang melakukan inventarisasi semua hasil penyelidikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat selama ini oleh Komnas HAM dan sejumlah tim pencari fakta yang pernah dibentuk.

“Terhadap berbagai temuan itu, satgas tersebut menyeleksinya, mana kasus yang memungkinkan dibawa ke jalur hukum dan mana yang tidak perlu. Untuk itu presiden harus segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Adapun terhadap kasus-kasus yang tak memungkinkan dibawa ke pengadilan HAM, satgas menindaklanjutinya dengan mengajukan formulasi dan desain upaya rehabilitasi, ganti rugi, dan sebagainya,” katanya.