Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kasus Perebutan Frekuensi Radio

Dirut Radio Erabaru Keberatan Dijadikan Tersangka
Oleh : Andri Arianto
Kamis | 17-02-2011 | 16:25 WIB
P2170038.JPG Honda-Batam

Keberatan - Gatot S Machali, Direktur Utama didampingi Raymond Tan, Direktur Operasional Radio Erabaru Batam saat menegaskan keberatannya soal status tersangka kasus perebutan frekuensi dihadapan wartawan di kantornya, Bukit Senyum, Batam. (foto:andri)

Batam, batamtoday - Gatot S Machali menegaskan keberatan dirinya yang ditetapkan sebagai tersangka sesuai dengan surat Balai Monitor (Balmon) Frekuensi Batam - Dirjen Postel Kominfo nomor 65/IIc/b.II.BTM/II/2011 bahwa berkas perkara pidana telah dinyatakan lengkap (P21) oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Menurutnya penetapan tersebut sebagai upaya kriminalisasi yang terlalu dipaksakan, mengingat kasus gugatan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) radio Erabaru pada frekuensi 106,5 FM terhadap Menteri Kominfo hingga kini masih dalam proses kasasi.

"Belum ada keputusan hukum tetap di Mahkamah Agung (MA), kok aparan kita justru tidak menghormati supremasi hukum," tegas Gatot kepada wartawan di kantor Erabaru, Bukitsenyum, Batam, Kamis 17 Februari 2011.

Diceritakannya, upaya diskriminasi terhadap Radio Erabaru sangat kental dan dapat dibuktikan, seperti masih banyak status proses perizinan ISR yang belum selesai terkesan diperbolehkan mengudara di Batam, Provinsi Kepri bahkan di seluruh wilayah Indonesia. Hal itu berbeda dengan Radio Erabaru yang menurut Gatot kerap kali mengalami penutupan paksa, penggeledahan dan penyitaan peralatan transmitter oleh pihak Balmon pada 24 Maret 2010 lalu.

Padahal saingannya, Radio SingFM milik PT Radio Suara Marga Semesta hingga saat ini tetap mengudara tanpa masalah meski tanpa mengantongi ISR pada frekuensi tersebut, kata Gatot.

Gatot juga menyebut upaya-upaya yang dilakukan secara masif seperti itu terhadap perusahaan medianya merupakan incaran pihak-pihak yang telah terkena racun intervensi pemerintah komunis China.

"Inilah bentuk intervensi asing terhadap kebebasan pers di Indonesia dan pemerintah hanya bisa mendiamkan saja," tukasnya.