Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Melongok Moncongloe, Kamp Auschwitz di Indonesia (Bag I)
Oleh : Redaksi/Republika
Kamis | 26-07-2012 | 19:44 WIB
moncongloe.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Pintu masuk kamp konsentrasi Moncongloe. (Foto: Republika)

MAKASSAR, batamtoday -  Kamp Konsentrasi Auschwitz dikenal sebagai tempat penyiksaan orang-orang Yahudi. Di sana mereka dipaksa bekerja untuk kepentingan Nazi. Mereka yang bermalas-malasan dicambuk, ditendang, dipukuli, bahkan dibunuh, seperti diceritakan Psikolog, Victor Emil Frankl, dalam bukunya, Man's Search for Meaning.


Hal itu juga terjadi di Indonesia. Namun korbannya bukan dari pemeluk Yahudi. Mereka adalah kelompok orang yang dituding terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sulawesi Selatan, dan sekitarnya. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai tidak kurang dari seribu orang yang dianggap pengurus, anggota, dan simpatisan PKI dijerumuskan ke Moncongloe sejak 1970 sampai delapan tahun kemudian. Dari jumlah itu, 52 diantaranya adalah perempuan.

Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM, Nur Kholis, menjelaskan, apa yang pernah terjadi di Moncongloe adalah perbudakan, karena kemerdekaan mereka yang dikategorikan PKI dirampas. Mereka tidak bebas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka bekerja dipaksa melampaui batas kemanusiaan. 

"Ada yang bertahan hidup sehingga dapat kita mintai keterangan. Ada juga yang mati, karena tak kuasa menahan derita," jelasnya, seperti dikutip Republika, Kamis (26/7/2012).

Mereka dipaksa bekerja. Tenaganya diperas dengan membangun jalan sepanjang 23 KM dari Moncongloe hingga Daya. Mereka mengambil batu dari gunung dengan mengangkutnya ke jalan raya. Selama bekerja disana mereka tidak diupah. Beberapa orang hanya diberikan beras 1/2 liter per hari yang diberikan setiap satu pekan.

Selama ditahan disana, mereka tidak pernah mendapatkan surat penangkapan maupun penahanan. Pengadilan tidak pernah menjatuhkan vonis. Mereka dipindahkan ke sana untuk dipekerjakan secara paksa. 

"Inilah petunjuk pelanggaran delik dan unsur penggunaan kekuasaan dengan merampas kemerdekaan orang lain," jelas Nur Kholis. Hal ini dilakukan sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil.

Dia mengatakan ada korban perbudakan disana menceritakan kisah kehidupannya. Nur Kholis enggan menyebutkan nama korban, karena yang bersangkutan harus dilindungi identitasnya. Sebut saja orang itu bernama Andy. Dia datang ke Moncongloe bersama teman-temannya dengan jumlah keseluruhan 44 orang. Kemudian kelompok ini dikenal dengan kelompok 44. 

Saat tiba disana pertama kali, mereka berteriak bahagia melihat singkong yang ada di kebun petugas militer. Maklum ketika di penjara di Makassar, Sulawesi Selatan mereka kekurangan makan. Singkong diibaratkan sebagai makanan enak disantap, meskipun belum dimasak. Mereka berlomba-lomba mencabut dan memakannya. Banyak diantara mereka sakit perut hingga diare.

Selain tanaman singkong, Andy dan teman-temannya melihat empat barak laki-laki dan satu barak perempuan. Salah satu barak berukuran 6 x 20 meter dihuni 80-100 orang. Mereka kemudian membangun barak sendiri, lengkap dengan pagar, WC, aula masjid, poliklinik, dan pos jaga.

Mereka juga bekerja membuka hutan untuk dijadikan kebun milik tentara disana. Luasnya tergantung pangkat tentara, antara empat sampai enam hektar. Hasilnya untuk tentara, bukan mereka. Andy dan teman-temannya terus diperbudak.