Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Paket Umrah Bakal Kena PPN, Pengusaha Travel Menjerit
Oleh : Redaksi
Senin | 11-04-2022 | 12:36 WIB
A-INFOGRAFIS-TRAVEL-UMROH_jpg2.jpg Honda-Batam
Ilustrasi paket umroh. (Foto: Infografis/CNBC Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pandemi Covid-19 telah memukul bisnis pengusaha travel haji dan umrah di Indonesia. Usaha travel ibadah kegiatan keagamaan diakui belum bangkit. Tapi, kini mereka harus dihadapkan dengan penyesuaian aturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baru, yang sudah berlaku sejak 1 April 2022.

Pemilik Travel Patuna Mekar Jaya, Syam Resfiadi Sapuhi mengungkapkan, dirinya bersyukur bisa bertahan berkat kepercayaan dari jamaah umrah dan haji kepada Patuna Travel.

Syam mengaku, pendaftar haji dan umrah tetap dibuka sejak 2021, di saat kasus virus corona varian Omicron melonjak di tanah air. Sayangnya, tak sedikit jamaahnya yang akhirnya memutuskan untuk membatalkan perjalanannya.

"Sejak pandemi, memang banyak yang membatalkan. Dari yang tertunda hampir 50% dari 700 jamaah yang terdaftar di umrah. Cukup banyak," jelas Syam kepada CNBC Indonesia, Jumat (8/4/2022).

Patuna Travel pun harus menanggung kerugian yang cukup besar. Ongkos operasional harus dikurangi karena pendapatan juga berkurang drastis. Akibatnya, dari 75 karyawan hampir lebih dari setengah karyawannya harus dirumahkan. Sekarang tersisa 13 karyawan yang bekerja.

"Kerugiannya rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 2 miliar, tergantung travel haji dan umrahnya besar atau kecil. Tapi mungkin di Patuna sendiri kerugiannya mencapai Rp 2,5 miliar," ujar Syam.

"Karena ada juga jamaah-jamaah umrah yang menunda keberangkatannya dan akhirnya dibatalkan. Ada juga yang yang sakit, meninggal. Jadi akhirnya kita tutup sementara," ujar Syam lagi. Dia mengaku menutup usahanya sementara pada Maret 2020 hingga Agustus 2021.

Di bulan Ramadhan atau bulan April 2022 ini, operasional Patuna Travel sudah beroperasi penuh. Namun, masih merencanakan strategi paket perjalanan ibadah dan wisata untuk jamaahnya. Sehingga akan memulai menawarkan paket perjalanan ibadah dan wisata di bulan Syawal atau sekira bulan Mei 2022.

Berkaitan dengan aturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, Syam sendiri mengaku belum mengetahui.

Dia justru sedikit 'kaget' dengan adanya penerapan PPN yang baru untuk travel perjalanan kegiatan keagamaan yang sudah berlaku sejak 1 April 2022 ini. Karena, diakuinya, bisnisnya belum pulih sepenuhnya.

"Saya malah belum tahu ini tarif PPN untuk ibadah haji dan umrah 0,5% dan 1,1% untuk ibadah keagamaan plus wisata lainnya. Ya Allahu A'lam, kalau ini kena, mau tidak mau semua penjualan akan dikenakan. Terus terang saya baru tahu," tuturnya.

"Karena penjualannya adalah di Syawal, mungkin akan kita sesuaikan di Mei kurang lebih," kata Syam melanjutkan.

Pasalnya, pada 18 Juli 2019, dirinya pernah mendapatkan Surat Edaran dari Kementerian Agama (Kemenag) kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Surat itu diterbitkan dengan Nomor B-18001/Dj.II.IV.1/Hj.09/07/2019.

Dalam surat itu, Kemenag menyampaikan, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, ibadah umrah termasuk dalam kategori jasa perjalanan ibadah (keagamaan), dan bukan perjalanan wisata sehingga jamaah yang akan melaksanakan ibadah umrah maupun Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah tidak dikenakan pajak.

"Saya masih mengacu pada surat edaran itu, bahwa PPIU bebas pajak. Makanya saya malah belum tahu ada penyesuaian PPN yang baru ini," tuturnya.

Seperti diketahui, Pasal 3 huruf (d) PMK 71/2022, disebutkan bahwa besaran pajak ditetapkan sebesar 10 persen dari tarif PPN Umum, dikali harga jual paket penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain apabila tagihannya diperinci antara tagihan paket penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan dan tagihan paket penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain.

Sementara itu, besaran pajak ditetapkan sebesar 5 persen dari tarif PPN umum dikali dengan harga jual keseluruhan paket penyelenggaraan perjalanan apabila tagihan tidak dirinci antara tagihan paket penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan dan tagihan paket penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun mengungkapkan bahwa yang dikenakan PPN kepada agen travel perjalanan keagamaan ini hanya berdasar terhadap akomodasinya, bukan kepada ibadahnya.

Penjelasan DJP itu justru dipertanyakan oleh Syam. Karena jika pengenaan PPN-nya adalah menyasar kepada akomodasi, maka pihaknya seperti dikenakan pajak berganda. Karena untuk akomodasi, pihak travel juga sudah dikenakan pajak di luar negeri.

"Kan akomodasinya di luar negeri, masa kita di luar negeri kita kena pajak dan disini kena pajak lagi. Logikanya gak jalan dong, mbak. Jadi pajak berganda," kata Syam mengeluh.

Berdasarkan hitung-hitungan Syam, tentu pengenaan PPN ini akan semakin memberatkan Patuna Travel untuk menawarkan jasa perjalannya, karena pada dasarnya itu akan dikenakan kepada konsumen.

"Pada dasarnya yang dibebankan kepada paket itu akan dikenakan kepada konsumen. Sebagai penjual, paket ini jatuhnya akan mahal. Seberapa pun persentasenya, pasti membebani dan memberatkan harga jual," jelas Syam lagi.

Syam dengan Patuna Travel tak punya pilihan lain, kebijakan pemerintah tetap harus dipatuhi dan dijalankan.

"Mereka (pemerintah) melihat mungkin orang-orang yang potensi ibadah haji dan umrah ini bisa jadi masukan yang dibebankan ke pemerintah, apa boleh buat. Kita hidup di Indonesia, pemerintah mengeluarkan aturan, ya harus diikuti. Kalau tidak jadi pidana nanti," pungkas Syam menutup obrolan.

Sumber: CNBC Indonesia
Editor: Dardani