Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ungkap Ada Kendala Pembahasan, DPR: Butuh Waktu Lebih untuk Kaji RUU TPKS
Oleh : Irawan
Rabu | 23-03-2022 | 10:08 WIB
Riezky_Apriliab.jpg Honda-Batam
Anggota DPR Riezky Aprilia dari PDIP

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota DPR Komisi IV Riezky Aprilia buka-bukaan soal hambatan membahas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang pembahasannya masih tersendat di DPR.

Riezky mengaku umumnya setiap fraksi di DPR mendukung RUU TPKS untuk diundang-undangkan. Hanya saja, menurutnya, redaksional dalam RUU TPKS harus lebih dicermati agar dalam pengimplementasiannya di lapangan tidak timbul masalah.

Kondisi tersebut menyebabkan pembahasan RUU TPKS di tingkat legislatif sedikit terhambat. Pasalnya, menurut Riezky ada banyak orang di badan legislasi (baleg) yang ikut mengkaji RUU TPKS sehingga perlu waktu untuk menampung berbagai kritik dan masukan.

"Jadi apa ada masalah? Tidak ada sebenarnya. Hanya kami menggunakan prinsip kehati-hatian dan prinsip kecermatan dalam membuat undang-undang agar tidak bermasalah dalam tahap pengaplikasiannya nanti," kata Riezky dalam Forum Legislasi dengan tema 'DPR Segera Ketuk Palu RUU TPKS?' di Senayan, Jakarta, Selasa (22/3/2022).

Kader PDIP ini juga mengatakan butuh waktu lebih banyak untuk mengkaji RUU TPKS secara redaksional. Dia menjelaskan, dalam membuat undang-undang DPR perlu mengkaji secara rinci makna kata, penggunaan tanda baca titik, koma, agar tidak multitafsir.

Hal itu juga diperlukan agar RUU TPKS tidak berbenturan dengan aturan perundang-undangan lain sehingga tidak menimbulkan ambiguitas saat penerapannya di masyarakat.

"Dalam membuat konteks undang-undang, kata per kata, titik, koma di mana, ini jangan sampai multitafsir, karena kalau multitafsir nanti pada saat aplikasi, tidak sesuai apa yang dilakukan dengan konsekuensi hukumnya, ribut lagi pasti," jelas dia.

Menurut Riezky, redaksional yang digunakan dalam RUU TPKS harus rigid supaya dapat diaplikasikan dengan baik. RUU TPKS juga tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku agar tidak menimbulkan masalah di ranah pidana.

Sebagai informasi, dalam ranah pidana, ada beberapa aturan yang bersinggungan dengan RUU TPKS seperti Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT), Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Pasal 285 KUHP tentang Tindak Pidana Pemerkosaan.

Tiga beleid itu dianggap sangat beririsan dengan RUU TPKS dalam ranah hukum. Sehingga secara redaksional, RUU TPKS memerlukan kajian agar bahasa hukum yang digunakan lebih rigid dan tidak berbenturan.

"Dalam satu pasal saja, ada beberapa kalimat yang kita yakini harus rigid. Supaya bisa teraplikasi dengan baik, dan tidak sampai multitafsir di ranah pidana," ucap Riezky.

Baleg disebut masih melakukan pembahasan RUU TPKS secara internal. Baleg juga bakal melakukan rapat kerja bersama pemerintah dalam waktu dekat dan disiarkan secara virtual sehingga masyarakat bisa ikut memantau kelanjutan RUU TPKS.

"Baleg itu dari awal terkait RUU TPKS ini jalan terus, ada livestreaming, dan pembahasan itu butuh waktu karena dalam satu hari belum tentu semuanya terbahas," ucap dia.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, sebagai satu lembaga HAM di Indonesia di mana dimandatkan secara khusus melalui peraturan presiden untuk menghapuskan upaya untuk memajukan upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Hal itu didedikasikan atas isu kekerasan seksual dan tidak bisa dilepas juga dari latar berdirinya Komnas perempuan yaitu tragedi Mei '98, yang sampai sekarang memang masih menjadi salah satu tragedi yang paling mencekam dalam sejarah Indonesia

"Kita mengingat ada sejumlah kekerasan seksual yang terjadi di tengah kerusuhan, pembakaran dan penjarahan yang sampai sekarang juga belum tertuntaskan kasusnya," katanya.

Karenanya, pada tahun 2010, Komnas Perempuan mencoba melihat ulang data kekerasan seksual di Indonesia dan menemukan ada 15 bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di Indonesia.

"Kita bicara satu dekade yang lalu,10 tahun yang lalu dan dari 15 jenis kekerasan seksual ini ternyata tidak semuanya bisa dikodifikasi ke dalam hukum pidana karena memang bisa jadi cara penyikapannya bukan dihukum pidana, tetapi dengan rupa-rupa yang lain. Proses inilah kalau saya boleh menekankan menjadi salah satu kekuatan RUU TPKS hari, ini karena menggunakan pendekatan juga, yang biasanya disebut dengan pendekatan pidana khusus internal, sehingga jelas cakupan makna dari kebijakan yang akan diatur ini. Objek pengaturannya tidak bisa semua aktivitas seksual, tetapi hanya aktivitas atau tindakan-tindakan tertentu," pungkasnya.

Editor: Surya