Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menembus Jejak Sejarah Kalteng-Kaltim 194 KM dengan Mitsubishi Triton
Oleh : Saibansah
Minggu | 20-02-2022 | 16:32 WIB
A-AKBAR-ROAD-KAPUAS-2.png Honda-Batam
Akbar (kiri) bersama salah satu anggota tim touring, Frids Meson, di depan Tugu Soekarno, titik 0 KM Palangkaraya. (Foto: Ist)

MENEMBUS jejak sejarah Palangkaraya hingga Banjarmasin di atas 'kuda besi' Mitsubishi Triton begitu menantang. Apalagi, di sepanjang jalan tak hanya sejarah dan budaya yang bisa dijumpai, tetapi juga sensasi kuliner yang mengesankan. Bagaimana kisahnya? Berikut catatan touring seorang Akbar, pengusaha kuliner pecinta touring.

Jejak sejarah Kota Palangkaraya dan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai lokasi ibukota Indonesia, dibuktikan dengan keberadaan tugu Dewan Nasional di Museum Balanga. Posisinya di Jalan Tjilik Riwut km 2 Palangka Raya.

Lokasi ini dipilih oleh Soekarno karena dianggap sebagai titik tengah Indonesia dari Sabang-Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Tugu setinggi kurang lebih lima meter dengan maskot sebuah guci itu, menjadi gagasan awal pembangunan calon ibukota masa depan Indonesia oleh Presiden Soekarno. Juga dibuat tugu Soekarno di pusat kota yang menandai tiang pancang pertama pembangunan kota pada tahun 1957 berdasarkan UU Darurat No. 10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah. Dari hutan belantara yang dibuka melalui Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan. Sebagian wilayahnya masih berupa hutan, termasuk hutan lindung, konservasi alam serta Hutan Lindung Tangkiling.

Pada saat kota ini mulai dibangun, Presiden Soekarno merencanakan Palangkaraya sebagai ibukota negara di masa depan, menggantikan Jakarta. Palangka Raya merupakan kota dengan wilayah terluas di Indonesia atau setara 3,6 kali luas Jakarta.

Palangkaraya menjadi populer ketika Pemerintahan Presiden Jokowi semula merencanakan Gunung Mas, salah satu Kabupaten Kalteng yang bersebelahan dengan Kota Palangkaraya, sebagai calon kuat ibukota NKRI. Presiden Jokowi bahkan telah berkunjung dan memopulerkan Jembatan Kahayan, ikon kota Palangkaraya.

Ketika urusan di Palangkaraya selesai dan berlanjut ke Banjarmasin. Daripada naik pesawat dan harus tes swab antigen, dan proses lain-lain, saya memilih touring konvoi dengan dua mitsubishi Triton, untuk menikmati sensasi perjalanan sebagian trans Kalimantan sejauh 193 km.

Ada dua kabupaten yang dilewati saat menuju Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan, yaitu Kabupaten Pulang Pisau dan Kuala Kapuas.

Sejarahnya, Kuala Kapuas semula adalah sebuah kabupaten yang luas, dan berdiri sejak 1952. Namun setelah era reformasi 1998 dan maraknya semangat otonomi daerah, maka sejak tahun 2002, dipecah menjadi 3 Kabupaten, yaitu Kuala Kapuas, Pulang Pisau dan Gunung Mas.

Setelah perjalanan santai hampir 2 jam, sampailah kami di Pulang Pisau yang jaraknya 98 km dari Palangkaraya. Usai istirahat sejenak sambil nyeruput ngopi, tentu saja tidak kita lewatkan mencoba duren Kasongan yang terkenal itu, apalagi yang berjenis otak udang dengan daging warna oranye. Barulah sesudahnya kami melanjutkan perjalanan hari Sabtu tanggal 19 Fabruari 2022 yang cerah itu, ke pemberhentian berikutnya.

Waktu beberapa bulan lalu ke Kalteng, Palangkaraya memang terkenal panas terik. Tapi beruntung dalam perjalanan ini suasana lebih bersahabat, teduh. Bahkan beberapa malam hujan deras. Cuaca ini membuat touring semakin nyaman.

Tepat jam 1 siang, setelah kira-kira satu jam perjalanan sepanjang 44 km, kami tiba di ibukota Kuala Kapuas, sekalian untuk makan siang.

Kuala Kapuas dijuluki sebagai 'Kota Air' karena letaknya berada di tepi salah satu sungai besar di Pulau Kalimantan, yaitu Sungai Kapuas, sepanjang 610 km dan bermuara di Laut Jawa.

Uniknya, Sungai Kapuas ini berbeda dengan Sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Dua sungai ini tidak ada aliran yang berhubungan, hanya namanya saja yang kebetulan sama.

Memasuki kota ini, suasananya terasa menyenangkan, trotoarnya tertata rapi, taman-taman kotanya bersih, beberapa warga yang tampak duduk santai melihat ke arah sungai, membuat kami merasa memasuki sebuah kota nan damai dan tentram.

Sambil makan siang dan minum es kelapa muda, kami berbincang dengan warga soal kota Kuala Kapuas. Termasuk soal kisah tentang bagaimana sulitnya warga saat belum ada Jembatan Petak dan Jembatan PulauTelo, yaitu saat mereka hanya mengandalkan angkutan sungai dengan waktu tempuh yang berjam-jam. Sekarang semua infrastruktur sudah bagus dan memudahkan mobilitas warga.

Pohon batang garing, sebuah pohon simbolis yang diciptakan bersamaan dengan diciptakannya leluhur Dayak Ngaju, dianggap menjadi pohon petunjuk untuk mengatur kehidupan yang harus diajarkan pada orang Dayak Ngaju. Pohon tersebut melambangkan Ranying Hatalla Langit. Dan pohon itulah yang dipilih sebagai logo Kuala Kapuas.

Tak mau melewatkan momentum belanja oleh-oleh, kami pun belanja batik motif batang garing yang khas tersebut.

Setelah puas beristirahat dan belanja batik, touring kami lanjutkan ke Banjarmasin. Di sana kami berencana melihat jembatan yang terkenal itu, Jembatan Barito. Perjalanan keluar dari Kuala Kapuas menuju ke Banjarmasin, terbilang lancar walaupun agak padat. Sehingga jarak ke Kota Banjarmasin sejauh 52 km, kami tempuh sekitar 1,5 jam. Kabupaten Kapuas merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian paling ujung dari Provinsi Kalimantan Tengah, berbatasan langsung dengan Kabupaten Barito Kuala di Provinsi Kalimantan Selatan.

Kuala Kapuas sangat strategis, seakan menjadi penghubung antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Kota ini menjadi semacam kota satelit justru bukan bagi Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah, melainkan bagi ibu kota provinsi sebelahnya, Banjarmasin.

Bisa jadi, itu karena jarak dari Kuala Kapuas ke Banjarmasin lebih dekat dibandingkan Kuala Kapuas-Palangkaraya.

Sebelum sampai hotel tujuan di Banjarmasin, karena perjalanan yang menyenangkan dan tidak terasa lelah sedikit pun, kami pun langsung melipir ke Martapura lebih dahulu.

Apa lagi, kalau bukan untuk berburu batu permata hasil karya pengrajin lokal yang memang sudah terkenal secara nasional sejak tahun 1970-an itu, sebagai pasar intan.

Sungguh touring membelah bumi Kalimantan mengendarai Mitsubishi Triton kali ini begitu luar biasa menantang. Layak diulang kembali!

Editor: Dardani