Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura di Bintan Hanya Pengulangan Tampak Siring
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 28-01-2022 | 09:08 WIB
A-Hikmahanto_Juwana.jpg Honda-Batam
Rektor Universitas Achmad Yani, Prof. Hikmahanto Juwana. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Tidak perlu ada kebanggaan atau glorifikasi berlebihan pada penandatangaan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura di Pulau Bintan pada Selasa (25/01/2022) lalu.

Rektor Universitas Achmad Yani Prof Hikmahanto Juwana mengatakan, glorifikasi menjadi tidak perlu karena perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura telah ditandatangani pada tahun 2007 di Istana Tampak Siring saat pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Lee Hsien Loong.

"Perjanjian ekstradisi yang ditandangani pada Selasa kemarin hanya pengulangan penandatanganan dengan amandemen pasal yang mengatur keberlakuan secara retroaktif dari 15 tahun menjadi 18 tahun," ujar Hikmahanto kepada wartawan, Kamis (27/1/2022).

Guru besar ilmu hukum internasional itu menyebutkan, di tahun 2007 pemberlakuan 15 tahun agar perjanjian ekstradisi dapat menjangkau mereka yang terlibat dalam pengucuran Bantuan Likuiditas BI (BLBI), utamanya mereka yang telah mengganti kewarganegaraanya menjadi WN Singapura.

"Lalu apakah amandemen 18 tahun akan dapat menjangkau peristiwa BLBI bila diberlakukan tahun 2022 ini?” imbuhnya.

Kemudian, alasan kedua disebutkannya, bahwa glorifikasi seolah perjanjian ekstradisi yang ditandatangani Selasa kemarin langsung berlaku.

"Padahal setiap penandatangan perjanjian ekstradisi masih harus diikuti dengan proses pengesahan (ratifikasi) oleh DPR. Setelah itu dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara Indonesia dan Singapura barul kemudian perjanjian ekstradisi berlaku," katanya.

Selanjutnya yang ketiga, kata Hikmahnato, glorifikasi sangat tidak berdasar jika Singapura masih mensyaratkan perjanjian ektradisi berlaku dikaitkan dengan berlakunya perjanjian pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) yang sangat berpihak pada kepentingan Singapura.

"Pada tahun 2007 Presiden tidak mengirim Surat Presiden ke DPR untuk pembahasan perjanjian ekstradisi karena publik tidak setuju dengan perjanjian pertahanan. Atas alasan tersebut perjanjian ekstradisi tidak pernah mendapat pembahasan, apalagi pengesahan dari DPR," ujarnya.

Terakhir, lanjut Hikmahanto, glorifikasi sangat tidak berdasar karena belakangan Singapura sangat koperatif bila ada permintaan dari Indonesia terkait buron tertentu meski perjanjian ekstradisi belum efektif berlaku.

"Perubahan sikap Singapura ini karena Singapura tidak ingin dipersepsi oleh publik Indonesia sebagai tempat pelarian pelaku kejahatan kerah putih,” pungkasnya.

Sumber: RMOL
Editor: Dardani