Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tempuling, Pancang Nibung, Kemejan dan Amis Musim
Oleh : Opini
Jumat | 31-12-2021 | 14:40 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI-SENYUM8.png Honda-Batam
Rida K Liamsi, wartawan senior dan budayawan Kepri. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

DAVITT MATTHEW, seorang pengacara yang menetap di USA dan sedang melakukan penelitian tentang ikan hiu, mengirim email kepada saya, dan bertanya tentang beberapa hal tentang puisi saya Tempuling, Kemejan dan Pancang Nibung. Saya rasa dia seorang pejuang konservasi alam, yang sedang berjuang untuk menyelamatkan ikan hiu.

Dia tidak menjelaskan di mana dia baca puisi saya itu, apakah melalui internet atau dari buku puisi saya. Tetapi saya senang puisi itu ada yang tertarik dan ingin saya menjelaskan berbagai latar penulisan puisi itu.

Pertama, yang dia ingin tahu adalah, apa makna dari prasa : Hanya waktu yang mencabutmu dari terumbu. Apakah itu petanda kemejan pindah ke tempat lain atau ke permukaan laut, sehingga dengan mudah ditangkap nelayan?

Tentang prasa, "Hanya waktu yang mencabutmu dari terumbu" dalam puisi Pancang Nibung (satu), saya katakan, Pancang nibung itu penanda lubuk di mana kemejan hidup dan berbiak pada musim tertentu.

Karena itu hiu kemejan tidak ditangkap sepanjang musim, meskipun bisa saja dengan alat alat tertentu. Sementara dimana tempat mencacak pancang nibung itu, hanya nelayan yang ahli yang tahu.

Karena itu pancang dan lubuk itu hak pribadi nelayan yang menemukan lubuk dan mencacak pancangnya. Tak boleh nelayan lain mengail atau menangkap ikan disana , tanpa izin nya. Di kampung kelahiran saya, Bakong, terkenal sebuah lubuk kemejan, namanya Lubuk Cuk Alek. Entah sudah berapa banyak kemejan yang ditangkap di situ.

Pencang nibung yang sudah tercacak di lubuk itu, maka sepanjang hayat pancang itu akan tetap di situ. Hanya waktu yang akan mencabutnya . Karena itu pancangnya tercacak dalam pada terumbu karang. Tak tercabut meski digoyang arus. Makin digoyang, makin dalam tertancap.

Di lautan, pancang itu seperti sebuah lukisan. Seekor camar hinggap dan kemudian pergi. Tak ada hubungan pancang nibung dengan berpindahnya kemejan ke permukaan atau ke bagian laut yang lain. Sebab kemejan ini hanya ada dan ditangkap di lubuk itu. Kalau pun dia akan mati, dia akan kembali ke lubuk itu juga. Kalau pun ada yang terdampar di pantai, tandanya kemejannya sudah mati lebih dahulu di lubuknya.

Mengapa kemejan ditangkap? Kemejan adalah jenis hiu terbesar di kawasan laut kepulauan Riau, di laut dalam yang berkarang. Seekor kemejan bisa lebih 100 kg beratnya. Kalau dapat menangkap seekor kemejan, maka berarti bisa mendapat persediaan makanan lebih 3 bulan untuk menghadapi musim Pacakelik bagi nelayan, yaitu musim sakal (Oktober sampai desember).

Daging nya akan di potong kecil kecil, selain untuk kepentingan sendiri, juga dibagi juga dengan tetangga lain, se kampung. Daging itu di salai di atas para (ini cara dan tempat yang secara tradisional memanggang dan mengawetkan daging kemejan). Nanti daging salai itu akan dimakan sedikit sedikit. Disayat dan digulai (biasanya ditambah dengan daging pisang muda dan menjadi gulai lemak pusang muda).

Menangkap Kemejan merupakan perburuan, meskipun hiu nya tidak sebesar paus. Tapi kalau kail ditariknya, sampan nelayan bisa berputar putar dan terseret jauh ke tengah lautan. Nah untuk menaklukkannya harus ditombak dengan tempuling.

Tombak bermata satu. Seperti novel 'The Old Man On The Sea'-nya Hamingway. Banyak nelayan tak pulang dan tewas di laut, meskipun akhirnya nelayan, temupuling, kemejan dan sampannya terdampar di pantai. Baca puisi saya Tempuling :

"Sebarang tempuling tersadai di gigi pantai sehabis badai. Seorang bocah menemukannya sehabis sekolah. Tuhan, siapa lagi kini telah menyerah ......dan seterusnya."

Penangkap atau pengail kemejan, bukan orang suku Laut, tapi Orang Sekanak. Orang Melayu tua. Orang suku laut adalah bahagian dari orang Sekanak. Mereka berasal dari Palembang, dari sebuah tempat di sungai Musi. Dan sudah terkenal sejak zaman Sriwijaya dan kerajaan Melayu Bukit Siguntang.

Tugas mereka adalah pengawal kerajaan, angkatan laut, orang kerahan, dan para pendekar. Ceritanya bisa ditemukan dalam buku Early Kingdom-nya Paul Michael Munoz. Sekarang mereka bermukim di pulau Singkep, Posek, Alang Tiga, Sebangka dan lainnya. Dalam peta tua Belanda ada yang namanya Teluk Sekanak. Teluk di utara pulau Singkep yang bentuknya seperti sebuah poci (klik Jantungmelayu.com cari tulisan sejarawan Aswandi Syahri).

Apakah hiu kemejan itu memang mempunyai taring ? Tidak, diksi taring dalam puisi saya, lebih pada simbol perjuangan kemejan mempertahankan dirinya. Tapi gigi Kemejan, tulang kemejan dan semuanya bagian tubuhnya, berguna. Tulsngnya, untuk dibuat pipa rokok, cincin, dan handy craft lainnya. Ada antioksidannya di serat dan tulang kemejan. Sama seperti ikan duyung (dugong).

Tentang prasa amis musim, pun hanya penanda isyarat. Amis memang bau anyir laut, anyir ikan, anyir musim. Di masarakat suku Sekanak mereka akan menemukan firasat pada musim. Bau laut. Pada musim sakal, laut sangat berbahaya dan kotor karena ada biota laut yang tercerabut lalu hanyut dan menimbulkan bau. Tapi amis musim dalam puisi saya adalah isyarat tentang bahaya, bala, kematian dan kekalahan. Hanya nelayan yang piawai yang tahu isyarat musim. Tentang anyir dan amis musim.

Setiap merwka turun ke laut bersama sampannya, melempar kail nya je lubuk kemejan, mereka ajan memandang kangut. Melihat awan, menangkap tandatanda alam. Apakah kemejan akan menyambar kail, apakah kemejan akan menyeretnya ke laut dalam, apakah dia akan memenangkan pertarungan dalam perburuan itu. Slam akan memberi isyarat, termasuk bau anyir musim. Dan mungkin saja dia kalah :

"Sebatang tempuling tersadai di bibir pantai, sehabis badai. Seorang bocah merasakan pelupuknya basah. Tuhan, kirimkanlah sesorang untuk menemukannya, menguburkanya di antara pantai. Dan memberikan sebuah tanda.Dan jangan biarkan arus membawanya ke lubuk dalam yang aku pun tak tahu dimaba akan aku tuliskan rindu ku..."

Itulah penggalan puisi Tempuling itu. Baca juga puisi pancang nibung, baca juga puisi Kemejan, yang terkumpul dalam antologi puisi saya, antologi dua bahasa (Indonesia- Inggris), ROSE.

2021

Penulis adalah wartawan senior dan budayawan Kepri