Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Polemik Retribusi Labuh Jangkar, Demam KEK Bintan Timbulkan 'Penyakit' Kebijakan Economic Zone
Oleh : Opini
Rabu | 17-11-2021 | 13:00 WIB
Tino-Sebayang1.jpg Honda-Batam
Tino Rila Sebayang. (Istimewa)

Oleh: Tino Rila Sebayang, S.IP., M.Si.

Letak geografis Pulau Bintan, Kepulauan Riau dinilai memiliki potensi ekonomi dari jalur perdagangan laut, khususnya dalam dinamika hubungan internasional (yakni; perdagangan internasional). Gagasan tentang potensi ekonomi ini, kian dipertegas oleh kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dengan menetapkan Galang Batang sebagai salah satu dari belasan KEK di Indonesia.

Kawasan industri smelter mineral menjadi pilihan pemerintah, untuk dimanfaatkan oleh investor (pebisnis) di kawasan tersebut.

Akselerasi pembangunan KEK Galang Batang ini pun, makin meningkat sejak ditetapkannya pada tahun 2017 lalu, yang kemudian mulai beroperasi pada Desember 2018. Tercatat bahwa, KEK Galang Batang ini diusulkan oleh Badan Usaha PT. Bintan Alumunia Indonesia, yang sesuai dengan strukturnya akan diselanggarakan oleh Pemprov dan Pemkab Bintan, di bawah koordinasi Kemenko Bidang Perekonomian.

Merujuk pada konsepsi KEK, setidaknya perlu dipahami, bahwa; model ini dikenal dengan istilah Special Economic Zone (SEZ), yang merupakan tahap kedua dari lima tahap pembangunan ekonomi yang berorientasi pada 'Zona Ekonomi'. Berdasarkan model Economic Zones yang dirumuskan oleh UNIDO, terdapat lima fase, yang diawali dengan; Industrial Park (FTZ), Special Economic Zones (KEK), Eco-industrial Park, Technology Park, dan Innovation Park. Kelima tahapan tersebut bukan sekadar bingkaian teoritis yang dituliskan di atas kertas putih.

Namun, masing-masing dari fase tersebut sangat menentukan karakteristik infrastruktur penunjang yang dibutuhkan, serta strategi kebijakan dari setiap tahapan yang ada. Terkait pembangunan Special Economic Zone di Galang Batang Bintan, salah satu aspek yang perlu disiapkan adalah infrastruktur penunjang relevan serta insentif kebijakan bagi para investor. Tahapan ini jelas berbeda dengan fase pertama (Industrial Park), dimana model tersebut diterapkan hanya dengan dasar sumber daya yang ada, sedangkan aspek insentif dan infratruktur lanjutan belum menjadi agenda penting pada tahapan ini.

Ironisnya, narasi yang justru kerap muncul ke permukaan publik terkait pembangunan KEK Galang Batang adalah wacana tentang keuntungan ekonomi dari jalur perdagangan laut yang strategis, atau bahkan dalam beberapa bulan terakhir, dikaitkan dengan retribusi Labuh Jangkar yang dapat berpotensi menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemprov Kepri.

Di sisi lain, bingkai pemberitaan media juga didominasi oleh persoalan larangan pengutipan retribusi labuh jangkar di wilayah Bintan, Kepualuan Riau. Hal ini menjadi catatan krusial, di kala fokus dan orientasi kebijakan KEK merupakan bentuk akselerasi dari kesiapan negara bersama pemerintah daerah, dalam upaya menstimulus gerak laju industri berskala makro. namun, spirit itu kian terlupakan hanya karena wacana tentang pemungutan retribusi labuh jangkar yang akan diserap oleh Pemprov Kepri. Dengan kata lain, secara prinsip economic zone praktik ini mempertegas anomali pembangunan ekonomi berbasis semangat liberalism pasar. Insentif yang harusnya difasilitasi oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, justru berujung pada tarik-menarik perencanaan pemungutan retribusi, yang kemudian hal itu mempertontonkan kontrakdiksi pada aspek bargaining position terhadap kalangan pebisnis (investor) di bidang perdagangan jalur laut.

Ditambah lagi, terlepas dari menyoal ketidak sesuaian karakteristik kebijakan economic zone dengan rencana pemungutan retribusi labuh jangkar hal ini juga telah menuai polemik dengan Pemerintah Pusat. Di mana, pada 17 September 2021 lalu, Kementerian Perhubungan mengeluarkan ketentuan yakni melarang Pemprov Kepri untuk melakukan pemungutan retribusi labuh jangkar. Tarik-menarik kepentingan, yang tercermin dari tumpang tindih kebijakan ini kian mempertegas pula, bahwa regulasi pembangunan KEK Galang Batang digenangi oleh ketidakmampuan serta kekurangan informasi; baik di kalangan Pemerintah Pusat, hingga Pemerintah Daerah.

Artinya, demam KEK telah merasuki Pemprov Kepri, yang kemudian menjadi 'symptom' dalam sendi-sendi kebijakan economic zone.

Hal lain yang menjadi perhatian artikel ini, berkaitan dengan aspek dampak lingkungan dalam praktik labuh jangkar yang akan diberlakukan. Mengingat wilayah utara pulau Bintan yang telah banyak disoroti oleh kalangan akademis, media, dan aktivis lingkungan hidup persoalan limbah sludge oil dari jalur perdagangan laut internasional juga tak kunjung usai.

Setidaknya selama tiga dekade terakhir. Dalam artian, komitmen Pemkab Bintan dan Pemprov Kepri terhadap agenda lingkungan hidup, yang menjadi fokus perhatian dunia internasional seolah tidak diindahkan serta diadopsi sebagai landasan dalam menentukan decision-making process.

Sungguh ironis, di tengah laju gerak ekonomi pada era industrialisasi, saya sebagai salah satu warga Bintan, tidak melihat adanya keseriusan dalam mengontrol dampak lingkungan hidup, dalam agenda kebijakan ekonomi Kepri, khususnya Pemkab Bintan. Sehingga, Pemprov Kepri dan/atau Pemkab Bintan memperlihatkan kegamangan dalam sikap kebijakan yang pro-lingkungan hidup, yang menjadi norma utama dalam seluruh agenda rezim internasional hari ini.

Relevansi Terkait Retribusi Labuh Jangkar, sebagai Lokus Dampak Pembangunan KEK pada bagian ini, saya ingin mengupas terkait polemik retribusi labuh jangkar yang berdampak pada laju pembangunan KEK Galang Batang, di Bintan. Polemik ini menjadi anti klimaks dari pembangunan KEK, yang telah menggerogoti secara substansial, kebijakan ekonomi politik, dan bahkan aspek sistemik dalam kerangka relasi kuasa. Dari beberapa dimensi itu, dapat dikategorikan ke dalam 5 persoalan utama, yang mana, seluruhnya dibalut dengan ketidakmampuan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam menentukan decision-making process, khususnya kebijakan economic zone, yang dikaitkan dengan dampak relasi kuasa terhadap proses perumusan kebijakan ekonomi politik.

Adapun permasalahan pertama, berkaitan dengan aspek; geostrategi kebijakan ekonomi politik, yang mana penentuan lokasi KEK Galang Batang sesungguhnya dinilai kurang strategis. Berdasarkan zonasi ekonomi perdagangan jalur laut, tentu saja, narasi Menko Bidang Perekonomian dan Pemprov Kepri di kalangan media dan publik kerap menyuarakan optimisme atas potensi ekonomi yang dapat dihasilkan dari pembangunan KEK Galang Batang.

Namun, jika merujuk pada data marine traffic yang tergambarkan di bawah ini, terlihat bahwa lokasi KEK Galang Batang yang disinyalir akan menghidupkan jalur laut sebagai rantai gerak perekonomian lokal, nasional, dan bahkan internasional tidaklah cukup strategis.

Keamanan dan keselamatan pelayaran yang justru bukan memberlakukan kebijakan pemungutan retribusi labuh jangkar, yang tentu saja sangat kontradiktif terhadap spirit pembangunan KEK. Kategori kedua yang menjadi fokus permasalahan demam KEK dan polemik retribusi labuh jangkar ini, berkaitan dengan aspek egoisitas Pemprov dalam menarasikan serapan PAD melalui serapan retribusi ini.

Komunikasi politik media yang diwacanakan oleh Gubernur Kepri terkait serapan PAD ini, dinilai sebagai narasi wacana populis. Praktik politik populisme tersebut diperkuat lagi dengan menyematkan dampak resesi ekonomi di masa pandemi, yang tentu akan dapat di-recovery melalui kebijakan retribusi labuh jangkar tersebut. Hal yang dilupakan adalah, upaya ini seolah tidak relevan dengan semangat pembangunan KEK Galang Batang yang secara konseptual di berbagai negara, justru disertai dengan insentif kebijakan pro-pebisnis.

Sehingga, wacana populis ini terkesan menjadi kosong dan bergerak di ruang hampa yang bertolak-belakang dengan kebijakan stimulant KEK. Sehingga, opini saya lebih menyoroti seharusnya Gubernur Kepri dan Bupati Bintan, lebih banyak menarasikan dan mengupayakan insetif kebijakan KEK, sebagai wujud nyata dari promosi KEK Galang Batang di kalangan investor domestic dan internasional.

Pola komunikasi Pimpinan Daerah yang banyak memuat narasi promosi investasi, merupakan bentuk kerja nyata yang lebih terukur dibandingkan sekadar membangun narasi pemulihan ekonomi di masa pandemi, melalui perjuangan terhadap retribusi labuh jangkar yang dinilai kontraktiktif dengan KEK.

Catatan ketiga yang menjadi fokus tulisan ini, berada di seputar aspek decision-making process. Secara prinsip dan fundamental, proses pembuatan keputusan oleh aktor di level pemerintah daerah maupun pemerintah pusat mensyaratkan etika rasionalitas. Yang mana, rasionalitas ini dipertimbangkan melalui elemen cost-benefit, dengan paratemer yang jelas dan terukur.

Syarat lain yang menjadi fokus pada decision-making process ini, berhubungan dengan dimensi individual leader, yaitu; misconception, disinformation, selective perception, affective bias, dan cognitive bias. Seluruh dimensi tersebut kerap menjadi faktor yang mengakibatkan decision making process yang berpotensi menghasilkan kebijakan yang tidak rasional.

Secara sederhana, faktor ini berkaitan dengan dimensi kemampuan pemimpin dalam menentukan kebijakan, melalui informasi yang terima, faktor emosional individu, hingga kemampuan dalam memecahkan masalah. Berkaitan dengan faktor tersebut, seolah alur dan spirit kebijakan KEK yang berorientasi pada konsep economic zone, tidak memenuhi aspek rasionalitas.

Di mana, elemen cost dan benefit dari bentuk keseriusan insentif kebijakan, justru mencapai titik anti klimaks dengan munculnya rencana pemungutan retribusi labuh jangkar.

Sedangkan pada permasalahan keempat, sehubungan dengan persoalan relasi kuasa antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan munculnya regulasi tentang larangan dari Kemenhub terhadap Pemprov Kepri mengutip retribusi labuh jangkar. Sesuai dengan prinsip yang konsisten, seolah Pemerintah Pusat mengeluarkan regulasi tersebut sebagai bentuk antisipasi atas pelemahan pembangunan KEK di Galang Batang.

Hanya saja, di sisi lain, aspek relasi kuasa yang kerap mempertontonkan corak komunikasi politik Pemerintah Pusat dan Daerah sering menuai serta bermuatan kepentingan politis. Sehingga, polemik larangan labuh jangkar ini, terkesan menjadi sketsa atas relasi kuasa yang mengakibatkan munculnya resistensi dalam epistemik politik yang diskursif.

Sederhananya, epistemik politik yang terbentuk dari pola interaksi ini, justru memunculkan relasi kuasa yang dipenuhi oleh narasi politik populisme, dengan mengusung common will di tengah masyarakat, bukan bertujuan sebagai pemenuhan common needs bagi kepentingan masyarakat.

Terakhir, fokus dan catatan artikel ini sebagai permasalahan yang krusial di tengah polemik larangan retribusi labuh jangkar dan akselerasi KEK Galang Batang, adalah; kurangnya sentuhan riset/penelitian dan pengembangan terhadap alur kebijakan economic zone sesuai dengan konsepsi empiris. Dalam konteks pentahelix collaboration, aspek pemenuhan riset yang berisikan informasi serta keterlibatan ilmuan menjadi syarat mutlak dalam proses penentuan kebijakan ekonomi politik. Pola kebijakan antara polemik labuh jangkar, dengan spirit pembangunan KEK Galang Batang ini jelas memperlihatkan minimnya implementasi pentahelix di jajaran Pemprov Kepri, khususnya Pemkab Bintan.

Keterlibatan dari kaum akademisi tentu dibutuhkan dalam upaya mengisi kekosongan puzzle dalam orientasi, hingga perumusan langkah-langkah pengembangan KEK Galang Batang sesuai dengan konsepsi Economic Zones. Maka, dapat pula dikatakan polemik terkait larangan retribusi labuh jangkar ini di tengah akselerasi pembangunan KEK, tidak melalui proses riset ilmiah yang menjadi syarat mutlak di era pentahelix.

Kelima dimensi masalah yang telah dikategorikan narasi di atas, telah mengelaborasikan catatan-catatan penting akibat munculnya polemik labuh jangkar ini di tengah spirit pembangunan KEK Galang Batang yang berorientasi pada insentif kebijakan. Sehingga, setidaknya Pemprov Kepri perlu mempertimbangkan kelima aspek tersebut sebagai landasan pertimbangan atas perjuangan untuk membawa polemik retribusi labuh jangkar ini ke Mahkamah Agung.

Perjuangan Pemprov Kepri Terkait Kebijakan Labuh Jangkar, Sebagai Symptom Penyakit dalam Implementasi Economic Zone Sebagai akhir dari bagian artikel ini, saya menawarkan justifikasi dan opini untuk mempertegas alur pelaksanaan KEK Galang Batang sebagai konsepsi Economic Zone khususnya yang telah banyak berhasil di berbagai negara di dunia. Sedikit mengadopsi dari disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan, bahwa symptom dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk gejala yang muncul dari pola indikasi penyakit yang tidak diharapkan keberadaanya.

Meminjam terminologi symptom tersebut, tampaknya polemik labuh jangkar ini dapat dijadikan sebagai satu gejala yang nantinya berpotensi menimbulkan penyakit pada implementasi KEK Galang Batang. Pola dan narasi yang fokus pada aspek PAD sebagai bentuk akselerasi kebijakan ekonomi politik sesunguhnya bukanlah sebuah substansi yang perlu dikomunikasikan kepada publik, khususnya dalam kerangka rationality of decision making process.

Ditambah lagi, dengan banyaknya kemunculan gagasan Gubernur Kepri untuk terus mengawal, bahkan membawa kasus ini ke Mahkamah Agung kian mempertegas misconceptions atas pengembangan KEK Galang Batang tersebut.

Pola perilaku Gubernur Kepri yang ingin memperjuangkan labuh jangkar untuk dikelola oleh Pemprov, tentu dipenuhi oleh esensi kontradiksi economic zone. Dengan kata lain, alih-alih ingin berjuang melalui jalur hukum dan politik, justru perjuangan itu menjadi gejala tersendiri bagi potensi kegagalan KEK Galang Batang ke depannya.

Tetap, secara konsisten argumentasi ini berfokus pada promosi investasi di Galang Batang, hingga insentif kebijakan yang akan diberlakukan demi meningkatkan bargain position di kalangan pebisnis. Maka dari itu, kedua kata kunci utama tersebut, menjadi seolah disorientatif dengan munculnya gagasan pemungutan retribusi labuh jangkar di wilayah Kepri, khususnya Bintan.

Atau, kemunculan symptom melalui gejala polemik labuh jangkar ini, merupakan indikasi nyata dari ketidaksiapan Pemprov Kepri dan Pemkab Bintan dalam mengemban tanggungjawab pembangunan KEK Galang Batang sedari awal diberlakukannya? Sehingga, gejala penyakit dalam tubuh kebijakan ekonomi politik yang normalnya muncul dari faktor eksternal, kini justru tampak terlihat dari pengelola internal di daerah itu sendiri?.

Dengan kata lain yang lebih kritis, Pemprov Kepri dan Pemkab Bintan apakah benar-benar memiliki komitmen yang besar, dalam hal. membangun KEK Bintan ke depannya? Atau justru, narasi 'membosankan' tentang pemulihan ekonomi di masa pandemi, hanya dijadikan alibi politis dalam upaya memperjuangkan pengelolaan retribusi labuh jangkar di Provinsi Kepri?.

Penulis merupakan Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Unpas Bandung & Founder Anthromedius Indonesia (Lembaga Perusahaan Konsultan Politik-Media)