Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dinamika Deklarasi Prabowo-Puan
Oleh : Opini
Sabtu | 13-11-2021 | 11:17 WIB
foto_untuk-opini-08.jpg Honda-Batam
Belandika Pristical, ASN yang sedang kuliah di Stisipol Raja Haji Tanjungpinang

Oleh Belandika Pristical

Ada yang menarik jika melihat bursa calon presiden dan calon wakil presiden untuk pemilu tahun 2024 mendatang, di mana Prabowo dan Puan Maharani telah didekralasikan untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden untuk pemilu tahun 2024 mendatang oleh sekelompok relawan yang mengatasnamakan Poros Prabowo-Puan Maharani.

Ini cukup unik, di mana pada pemilu 2019 kedua partai ini saling berhadapan dengan Jokowi sebagai Capres dari PDIP dan Prabowo sebagai Capres dari Gerindra, namun di lain tempat deklarasi dari relawan terhadap tokoh seperti Ganjar Pranowo dari Partai PDIP maupun Sandiaga Uno dari partai Gerindra juga terjadi, hal ini menimbulkan Frasa Elite Partai VS Ketua Partai, dimana Prabowo sendiri merupakan Ketua Partai dari Partai Gerindra, dan Puan Maharani adalah ketua DPP Partai PDIP.

Adagium atau peribahasa tidak ada kawan dan lawan abadi dalam arena politik yang ada hanya kepentingan abadi paling tepat jika di kaitkan dengan deklarasi Prabowo-Puan Maharani. Peter Schroder dalam bukunya yang berjudul Strategi Politik menjelaskan strategi politik bergabungnya Prabowo dan Puan Maharani dapat di kategorikan sebagai strategi cooperate, dimana dalam strategi cooperate menuntut kerjasama dalam setiap langkah yang diambil dalam mencapai tujuan. Ketika kepentingan politik mengalahkan rivalitas semua dapat terjadi, apalagi sebelumnya partai gerinda sendiri telah bergabung ke dalam pemerintahan dengan di tunjuknya Prabowo sebagai Menteri Pertahanan olehdan Edy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia oleh Presiden Jokowi.

Lalu mengenai pencalonan Ganjar Pranowo maupun Sandiaga Uno yang juga terjadi di beberapa daerah merupakan dinamika politik adalah kata yang paling tepat dalam menjelaskan kejadian tersebut.

Leo Agustoni (2009) menggungkapkan bahwa dinamika politik terkait
sekali dengan persoalan partisipasi dan demokrasi , isu partisipasi sudah lama dibahas namun tetap saja problematic, salah satu sebabnya karena pemaknaan yang bias penguasa.

Ketika partisipasi dimaknai sebagai keikutsertaan dalam menunaikan agenda-agenda pemerintah, medium-medium yang disediakan hanyalah birokratis-teknokratis: mekanisme perencanaan dari bawah , penjaringan aspirasi dan sejenisnya.

Ganjar Pranowo maupun Sandiaga Uno sebagai elite partai hanya bisa menerima ketika Partai gerindra maupun PDIP sudah mengusung Prabowo maupun Puan untuk menjadi Capres dan Cawapres, karena sebagai elite partai chance mereka sangat kecil untuk mendapatkan dukungan dari partai politik. Jika Prabowo dan Puan diusung oleh partai masing-masing karena berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu menyatakan Partai atau koalisi partai yang berhasil memperoleh minimal 25 persen suara atau 20 persen kursi di DPR yang dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Satu-satunya partai yang mampu mengusung calonnya sendiri tanpa koalisi di pemilu tahun 2024 hanyalah PDIP, jalan satu-satunya bagi mereka adalah mendapatkan dukungan koalisi dari partai lain yang mana hal tersebut menjadi cukup mustahil menilai mereka masing - masing adalah elite partai yang berbeda. Lain halnya jika mereka adalah calon independent yang mana masih memungkinkan partai lain berkoalisi untuk mencalonkan mereka.

Tentu saja hal ini menjadi kekecewaan terhadap pendukung dari kedua calon tersebut dan juga kerikil tajam pada jalan yang kita namakan demokrasi , prestasi dari Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah selama dua periode dan berhasil membangun Jawa Tengah dan juga sandiaga uno seorang tokoh muda yang juga seorang pengusaha kaya yang berprestasi yang juga telah berpengalaman dalam memimpin dalam birokrasi pemerintahan seperti saat menjabat sebagai wakil Gubernur Jakarta dan juga menteri pemuda dan olahraga.

Keduanya hanya akan menjadi partisipan mengikuti agenda politik dari partai dan hanya bertugas dalam menjaring suara dari pendukungnya mereka akan terlarut dalam dinamika politik partai dan tidak akan dapat kita lihat sepak terjang , visi misi dan juga pandangan revolusioner mereka dalam memimpin dan membangun negeri indonesia ini.

Indonesia adalah negara demokrasi, dan demokrasi mengajarkan kita untuk
berpecah dan bangga dengan golongan atau kelompok. Dominasi yang kuat mengalahkan yang lemah. Minoritas tak ada hak untuk melawan keputusan, maka dari itu masa-masa pemilu tidak lebih dari perebutan kekuasaan, bukan mencari sosok pemimpin.

Secara filosofi, pemilu merupakan hal yang baik dan mulai karena bertujuan untuk mencari pemimpin rakyat. Namun, dalam praktiknya, pemilu justru menjadi proses politik untuk memperoleh, mempertahankan, atau mendapat bagian dari kekuasaan. Tak ada yang melarang atau menyuruh merangkul lawan jadi kawan atau sebaliknya. Tapi bila demokrasi model semacam ini dibiarkan terjadi terus-menerus dipastikan akan berdampak buruk. Jika perbedaan dihilangkan dan semua menjadi satu warna karena kepentingan, maka satu warna pelangi di langit tidaklah lebih indah dibandingkan tujuh warna pelangi yang kita ingat. (*)

Penulis adalah ASN yang sedang kuliah di Stisipol Raja Haji Tanjungpinang