Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyelamatkan Waktu, di 'Lorong Waktu' nya Hening Wicara
Oleh : Opini
Rabu | 10-11-2021 | 15:36 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI-SENYUM1.png Honda-Batam
Rida K Liamsi, wartawan senior dan budayawan Kepri. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

PRASA yang menjadi judul esai ini, meskipun tidak eksplisit ditulis dalam kumpulan puisi ini tetapi hakekat waktu yang demikian itu dapat dirasakan di dalam puisi puisi yang terkumpul dalam buku ini. "Pelangi di Langit Perth".

Sebuah pengembaraan penyairnya, Hening Wicara, bersama demensi dan makna waktu. Bukan hanya pengembaraan bathin tetapi juga secara phisik penyairnya yang telah melakukan perjalanan menembus lorong waktu.

 

Perjalanan dan pengembaraan yang mencoba menyelamatkan waktu yang dimiliki , supaya bermakna, supaya kehidupan yang dimiliki dan dibawa menembus lorong waktu itu, menjadi sesuatu yang berharga untuk dicatat dan di pahat dalam jurnal kehidupan .

Konsistensi terhadap sikap dan pemaknaan hidup melalui tamsil dan iktibar waktu yang diberikan oleh Yang Maha Pengasih itulah yang di dalam puisi puisi penyair ini, menjadi sesuatu yang membuat hidup bukan sebagai beban. Tapi kesaksian betapa waktu yang ada itu seperti sebuah jalan panjang yang dilalui dengan rasa syukur dan keceriaan.

"Karena tak ada kesedihan yang abadi, maka nikmatilah kebahagiaan itu tanpa tapi...” Ungkapan atau penggalan puisi ini menunjukkan bagaimana sikap penyair ini memandang proses dan perjalanan kehidupannya.

Baginya, kehidupan adalah sebuah perjalanan dari satu lorong ke lorong waktu lainnya. Dan dalam perjalanan itu dirinya menjadi apa saja, menjadi siapa saja, yang pemaknaannya dialah yang memutuskan:

Dermaga. Tempat persinggahan. Sementara. Meski kecil hanya selebar daun. Tapi melekap di dada. Simbolik sekali :

Di dada ku // ada dermaga selebar daun // tempat di mana aku betah menunggu mu // bertahun tahun.

2018

Begitu antara lain salah satu puisi dalam kumpulan ini. Bagi penyair keberadaan nya dalam perjalanan itu, seluruh waktu yang ditempuh dan disentuhnya adalah faset faset puisi.

Semua yang tampak, semua yang terasa, semua adalah puisi yang kemudian dia catat, dia tulis, dia renungkan. Sebuah karcis pertunjukan konser, sebuah tiket, semenit waktu di ruang menunggu pesawat, sepotong ayam goreng cepat saji, sepotong pagi, sepotong gerimis, seulas senyum sahabat lama, semua adalah ujud waktu, ujud mozaik kehidupan, dan dia nikmati itu sebagai anugerah:

Dada Penuh Cinta

hanya pada dada penuh cinta
tersedia laci penyimpan bahagia
luasnya cukup untuk menampung seisi semesta.

(2018)

Puisi puisi pendeknya sungguh menarik. Puisi puisi itu ratarata memilih bentuk tiga baris, tanpa harus tunduk pada hukum apa itu Haiku, apa itu terzina, atau kaidah perpuisian lainnya, tapi jelas baris baris puisi itu, menjadi waktu dan warna hari, menjadi inti percakapan bathinnya.

Tampaknya, seperti kebanyakan penyair masa kini, sebuah puisi yang dikutip dan dipungut dari percikan hari, waktu, kembara hidup sehari hari, tidaklah terlalu perlu direnungkan dan dihadapkan di depan berbagai pertanyaan philosofis.

Puisi puisi ini adalah sesuatu yang untuk dirasakan, bukan puisi puisi yang hendak dan harus dimaknai. Puisi puisi yang ditulis untuk menandai sebuah sentuhan hidup pada waktu, dimanapun. Memberi makna pada waktu, menyelematkan waktu agar tidak pergi begitu saja dan sia dia.

Seberapa besar nilai dan makna waktu bagi penyair ini? Itu pertanyaan yang mungkin bisa disimak dari ke 50 puisi yang terkumpul dalam antologi ini. Puisi puisi ini memang sebahagian besar adalah puisi puisi perjalanan, puisi puisi rekaman ingatan yang berbancuh dengan berbagai kenangan persahabatan dan endapan rasa yang lainnya. Terkadang terkesan ngilu dan perih, tetapi juga dapat larut dalam bonanza kebersamaan. Seperti puisi ke 50 atau puisi penutup buku puisi ini ;

Beth dan Maria

Seperti sepenggal kalimat awal
Lagu cinta fenomenal
Ratusan purnama mereka lalui bersama

Ribuan tetes airmata jatuh sepanjang lorong nostalgia
Garis garis serupa tergurat di telapak tangan
Hanya hati senantiasa berpelukan

Saling menguatkan
Dalam terik kehidupan

Tiap kali bertemu
Yang mereka lakukan hanya itu
'menyelamatkan waktu'

Sebab,
Di dada mereka telah terpatri sebuah semboyan :
'karena tak ada kesedihan yang abadi, maka berbahagialah tanpa tapi ..,'

Perth, 2018

Puisi penutup ini menegaskan tentang bagaimana kehidupan moderen dalam menyikapi makna dan keberadaan waktu. Kita sama punya waktu 24 jam sehari semalam, tapi makna dan hakekat waktu kita berbeda.

Kita sama berjalan menerobos lorong waktu, tapi cara kita menyelamatkan waktu kita berbeda. Waktu adalah jembia kehidupan yang menusuk kita, tapi kita merasakan pedih yang berbeda. Shabas !

2020/2021

Essai ini berasal dari Kata Pengantar saya untuk kumpulan puisi "Pelangi di Langit Perth"-nya Hening Wicara.

Penulis adalah wartawan senior dan budayawan Kepri