Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Raung Ratap Diksi Puisi Febriadi
Oleh : Opini
Rabu | 20-10-2021 | 10:01 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI25.png Honda-Batam
Wartawan senior dan budawan Kepri, Rida K Liamsi. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

SEPERTI mantera, pantun, syair, gurindam, seloka ,talibun, dan lain lain bentuk puisi yang tumbuh subur di dunia kesusasteraan Melayu, pada hakekatnya karya karya tersebut adalah puisi puisi pentas. Teaterikal. Artinya, puisi puisi yang harus dibacakan, baru terasa indah dan terasa kekuatan puitika nya .

Dengan berbagai cara, termasuk diiringi musik dan instrumen bunyi yang lain, yang membuat puisi puisi itu terasa mengaduk dan menusuk batin para pendengarnya. Pembacaan pantun, syair, dan lain lain itu, dengan cara teaterikal itu, kemudian menjadi semacam tradisi. Dan itu bisa dijumpai di mana mana di kawasan budaya Melayu ini.

 

Kekuatan vocal dan kemampuan mengeksplore emosi itu membuat penyair yang membacakan puisinya menjadi maestro. Artinya, orang orang yang bukan penyair dan pencipta puisi puisi itu, akan sulit dan memerlukan tahapan tahapan eksersais yang panjang untuk membuat puisi puisi klassik itu menjadi indah dan berarti. Lihatlah para pemantun yang menjadi penghidang acara perkawinan misalnya. Tangkas dan kreatif sehingga pantun pantun yang dilantunkan , selalu mengejutkan.

Tradisi itulah yang kemudian, menurut saya, mempengaruhi keberadaan para penyair yang tumbuh, berkembang di kawasan budaya melayu ini. Hampir semua puisi puisi mereka dapat dirasakan hentakan bunyi dan letupan sajak sajak pada kata kata yang mengunci frasa di setiap baris atau larik puisi puisi itu.

Karena itu, sebagai penyair yang tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi kepenyairan melayu ini, saya merasakan nya dalam puisi puisi yang ditulis oleh Muhamad Febriadi dalam kumpulan puisinya ini. Bukan hanya hentakan diksi dan dentang kata kata yang menjelujur frasa puisi puisinya, tapi juga letupan letupan emosi yang menyertainya. Itulah pesonanya.

Saya masih tetap berpendapat, betapapun hebat sebuah puisi, tapi kalau kehilangan pesonanya, maka alangkah tidak berkesannya puisi itu. Seakan membaca puisi dengan hambar . Puncak pesona sebuah puisi, adalah diksi dan frasa nya.

Diksi yang dipilih secara cermat dan cerdas. Diksi yang digali dan ditimang timang dengan hati hati, akan memberi kekuatan magis pada puisi, apalagi kemudian disajikan dalam frasa frasa yang mengigit dan mengejutkan .

Mohamad Febriadi, salah seorang penyair Kepri yang berhasil menggali diksi untuk puisinya secara piawai sehingga puisinya seakan bernyanyi. Menari dan menghentak hentak emosi yang membaca dan mendengarnya. Puisi puisi Febriadi memang puisi puisi pentas. Puisi puisi yang harus dibacakan dengan vocal yang kuat. Vocal yang bisa mencapai puncak emosi sebagai sebuah raung dan rentak, simbol kehidupan.

Lihatlah puisi "Batin dan Puncak Cindai" Puisi yang digali dari legenda dan jejak sejarah di negeri Lingga. Puisi ini dan juga puisi puisi lainnya, sangat terasa indah dan magisnya jika Febriadi sendiri yang membacakannya. Latar belakang sebagai penyanyi dengan kadar vocal yang kuat, menyebabkan puisinya itu terasa sampai. Menggugah dan juga menggugat. Benar benar seperti sihir. Menikam dan menghentak emosi.

Saya kira latar belakang dirinya yang besar dalam tradisi budaya melayu, dalam tradisi pantun, syair, gurindam dan juga joget, menjadikan dirinya sebagai penyair yang hadir dengan puisi puisi yang penuh sihir. Di setiap bait puisinya terasa seperti pekik mantra. Pemanggilan yang tak tersurat. Gemuruh katakata seakan berlomba menunju akhir frasanya.

Saya pikir, mungkin, ketika menulis puisi puisi nya ini, Febriadi telah bernyanyi dulu , membangunkan emosi dan semangat dendang, sebelum kemudian mengemas dan memoles ulang sebagai sebuah puisi. Tradisi memantun lebih dahulu sebelum sebuah pantun selesai ditulis, adalah tradisi yang sudah ada sejak zamsn mantra. Tradisi melayu lama. Sastera lisan mendahului sastra tulis.

Setiap saya membaca puisi puisi nya yang terkumpul dalam antologi "Debu Ngenang" ini, saya juga merasa berpantun. Bernyanyi dan menari. Melaung dan menyeru semua kekuatan alam untuk membawa kata kata itu pergi dan mencari rindunya. Inilah yang selalu saya sebut puisi rasa pantun. Satu bahagian dari genre sastera dalam mazhab Riau.

Dalam pengamatan saya hampir semua penyair yang besar dan berkembang di jazirah budaya melayu ini, mewarisi tradisi dan roh pantun, syair dan mantera dalam puisi puisi mereka.

Bukan hanya bentuk, tapi juga semangat dalam ruang dan rangkap pantun. Puisi yang bertutur tentang sekujur ingatan dan kerinduannya. Puisi puisi yang selalu terasa jejak sejarahnya. Mitos dan legenda. Dan itulah kekuatan mantra. Kata kata yang menggerakkan jiwa. Dan bila dibacakan, di visualisasikan, akan menjadi sebuah pertunjukkan yang menakjubkan.

Puisi puisi Muhammad Febriadi dalam kumpulan puisinya ini, memang puisi puisi yang penuh pesona. Puisi yang dengan kata kata mampu membangkitkan suasana. Pesona kata kata.

Shabas!