Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Percakapan Cangkir Kopi yang Galau
Oleh : Opini
Rabu | 22-09-2021 | 14:04 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI21.png Honda-Batam

PKP Developer

Budayawan Kepri dan wartawan senior, Rida K Liamsi. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

"Aku hanya kopi tanpa nama
Yang tumbuh di kaki dunia
Di lereng lereng terjal
Yang becek karena air mata"

(Yoan S Nugraha/Kopi Kaki Lima)

Tradisi minum kopi di kedai kedai kopi, terutama di kawasan jazirah tanah melayu ini, sebuah tradisi tua yang belum diketahui kapan, di mana dan bagaimana bermula.

Mungkin saja berasal dari tradisi minum kopi di Cina mengingat pembuat dan pengusaha kedai kopi yang terkenal itu adalah para barista dari Hailam, Cina.

Tradisi ngopi ini kini telah mengalahkan bahagian dari ekspresi cinta seorang kekasih yang dengan rasa sayang telah membancuh kopi dan menghidang kepulan asap putih beraroma pahit itu, tetapi sang pujaan hati yang ditunggu untuk meneguk luapan rindu itu, memilih cara yang menimbulkan luka: meneguk seteguk dan menghilang ke kedai kopi. "Abang ngopi kat baba A Seng ya, ada kengkawan ngajak berbual."

Huuuh. Begitulah. Tradisi ngopi di kedai kedai kopi sudah menjadi ritual para lelaki di kawasan ini. Tradisi yang menghidupkan suasana percakapan dan perbincangan tentang apa saja, dengan suara keras, maupun berbisik.

Dari urusan politik, sampai ke debat tentang baris baris puisi menggemparkan dunia, oleh penyair besar, yang sedang berusaha mengubah dunia. Denting cangkir kopi yang resah, gelisah dan juga galau.

Cangkir cangkir porselin Cina yang bergurat hitam sisa daki kopi, seakan tak kering dengan berbagai cerita. Dan para pengopi mengembara dengan imaji dan resa rasanya ke berbagai belahan hidup.

Dan setelah matahari naik, setelah uap kopi lesap, merekapun bingkas, bergerak pergi dan memburu rezeki dan makna hidup yang lain, yang tak selesai di cangkir kopi.

Ada yang kembali ke kantor sekedar untuk mengisi daftar hadir atau mem finger print kan kehadirannya di mesin absensi.

Begitulah Yoan S Nugraha (YSN) mengemas ke 50 puisi kopi nya dalam antologi "Kafein Tingkat Tinggi" dengan berbagai prasa, diksi dan metafor, yang ujud akhirnya adalah sebuah jargon : Dengan Kopi kehidupan menjadi berseri.

Prasa ini adalah personifikasi dari para pengopi dalam menerjemahkan gairah hidup mereka. Untung malang, dan perjalanan rezeki hidup. Yang didapat dari ide ide diskusi, dari runding dan mufakat serta transaksi, dan juga berbagai janji dan autopi lain.

Cangkir cangkir kopi, yang dalam denting dan galaunya, adalah baris baris puisi. Refleksi hidup dari sebuah tradisi dan bancuhan kultural suatu negeri.
Suasana hati para pengopi di pagi hari . Meskipun tentu saja ada kopi siang, kopi malam, tetapi "Kopi Time" yang penuh rima dan dialektis itu sesungguhnya hanya pada kopi pagi.

YSN dengan ke 50 puisinya yang terhimpun dalan antologi ini, menunjukkan betapa dia bukan hanya seorang penyair yang handal, tapi juga seorang yang mahir (serap) dan paham (khatam) dengan hal ihwal kopi.

Bukan saja urusan darimana asal kopi dan turunan produk nya dari kopi hitam sampai ke kopi latte, tapi juga filisophi kopi. YSN bisa menceritakan tentang ihwal dan makna tersembunyi dari cangkir cangkir kopi. Makna tentang cinta, persahabatan, hasad dengki, serta politik perkopian.

YSN dengan frasa-frasanya yang kental dengan kata kata dari bahasa Melayu (bahkan banyak yang sudah menjadi kata kata arkhais), bahwa sebuah dunia dan seluk beluk bernegara dapat bermula dan berakhir di kedai kopi.

Tempat yang tanpa deklarasi dan pernyataan politik yang gegap gempita telah menjadi pusat semua keputusan pilitik dirancang dan diselundupkan. Semacam Majlis permusyawaratan para pengopi dalam menuntukan hitam putih dunia. Dan dalam proses dan methamorfosis nya, kini menjadi cafe-cafe dan ruang selesa menikmati kopi dalam berbagai manifestasinya.

Dengan puisi puisi nya itu YDN menggambarkan hasil renungannya tentang aroma dan rasa biji biji kopi yang melekat pada cangkir dan gelas, ke dalam baris baris puisi yang seperti aroma kopi.

Ada yang manis, harum, kental, pahit dan payau. Sungguh sebuah penafsiran yang kaya atas perjalanan tradisi ngopi dan hiruk pikuk sosial yang menyertainya, dan menjadi puisi puisi yang menggelegak.

Frasa frasa yang lincah, melompat lompat dari satu diksi ke diksi yang lain. Dari satu metafor ke metafor yang lain, dimana kopi sebagai kata bisa menjadi apa saja.

Bisa bermakna apa saja. Dan melambangkan apa saja. Namun punya hakekat yang sama; dengan puisi kehidupan menjadi penuh makna, karena sesungguhnya yang memberi warna kehidupan ini adalah tradisi.

Tradisi perpuisian adalah salah satu yang tanpa kehendak nya telah ikut mewarnai kehidupan ini. Seperti tradisi kopi, dalam puisi soal Tuhan pun dapat diperbincangkan, demikian juga dengan starata kepemimpinan dan kekuasaan yang lain. Demokrasi kopi, demokrasi puisi.

Puisi puisi YSN dalam kumpulan ini juga menunjukkan betapa bahasa melayu itu sebuah bahasa yang sangat puitikal. Seakan bernyanyi di ujung ujung baris. Seakan bercakap cakap di pangkal pangkal katanya.

Dengan roh dan tradisi syair dan pantun, YSN mengemas puisi puisinya dan membiarkanya menguap dan membangkitkan rasa kopi nya di semua bait puisi.

Puisi puisi yang baik memang puisi puisi yang bisa berbicara dan berdialog dengan para pembacanya, yang bercakap-cakap dengan suasana di sekitarnya. Puisi puisi yang menyisakan renungan dan pertanyaan : Sesungguhnya hidup ini apa dan mengapa?

Dan bagaimana kelak semua kita akan berdepan dengan segala jejak dan langkah kita para pengembara ini, saat ke rumah asal. Ayat terakhir dari surah Yasin, sesungguhnya sebuah maha puisi yang menghunjam tikamnya ke jantung kita para pemuja kopi dan dan para penyair. Dengan puisi bisakah ke galauan cangkir kopi hidup kita menjawabnya?

"...Aku hanya kopi kaki lima
Yang hidup di cangkir cangkir sederhana
Dari recehan dan remah remah
Yang tak berharga"

(Kopi Kaki Lima)

2020/2021

Esai ini sebelumnya adalah kata pengantar untuk buku kumpulan puisi Yoan S Nugraha "Kafein Tingkat Tinggi". Essai ini telah saya tokok tambah untuk menjadikannya lebih mudah dipahami.

Penulis adalah budayawan Kepri dan wartawan senior.