Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR RI Tegaskan Tak Menutup Pintu Amandemen, Tapi Juga Tak Paksakan
Oleh : Irawan
Senin | 06-09-2021 | 16:20 WIB
diskusi-amandemenb.jpg Honda-Batam
merasa tidak perlu diamandemen, ya nggak usah dipaksakan juga," kata Arsul berbicara dalam Diskusi Empat Pilar MPR bertema 'Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945 dalam Mencapai Cita-cita Bangsa' di Jakarta

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Arsul Sani berpandangan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 harus dijadikan sebagai the living constitution atau konstitusi yang hidup. Makna dari konstitusi yang hidup itu artinya, kalau dirasakan perlu ada amandemen, maka bisa dilakukan.

"Jangan kita tutup (amandemen). Tapi kalau kita kemudian merasa tidak perlu diamandemen, ya nggak usah dipaksakan juga," kata Arsul berbicara dalam Diskusi Empat Pilar MPR bertema 'Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945 dalam Mencapai Cita-cita Bangsa' yang digelar di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/9/2021).

Menurut Arsul, pasca pidato Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam Sidang Tahunan pada 16 Agustus 2021 lalu, ada kesan yang ditangkap ditangkap publik, bahwa seolah-olah MPR itu sudah memutuskan akan melakukan amandemen.

"Tapi saya sudah sampaikan di mana-mana juga, terutama meskipun ada pidato itu jangan dimaknai bahwa MPR itu sudah memutuskan amandemen. Karena yang namanya Pimpinan MPR yang bersepuluh, apalagi Ketua MPR yang hanya satu orang, tidak punya kewenangan untuk memutuskan, apakah akan dilakukan amandemen atau tidak" tegasnya.

Dikatakan Arsul, kewenangan untuk melakukan amandemen atau tidak, kembalikan kepada aturan yang ada di Pasal 37 UUD NRI 1945, dimana disebutkan harus ada minimal sepertiga berarti dari 711 Anggota MPR yang terdiri dari Anggota DPR da DPD itu.

Berarti harus ada 237 atau 238 Anggota MPR, baru kemudian timbul kewenangan MPR untuk melakukan amandemen.

"Selama itu hanya katakan lah yang 10 itu sepakat semua saja, ya enggak bisa. Jadi itu itu dulu yang harus dipahami. Sara memahaminya bagaimana, memahaminya yaitu sekedar wacana, kenapa wacana itu digulirkan, ya karena ada rekomendasi dari MPR periode lalu, dimana ada sejumlah rekomendasi," bebernya.

Rekomendasi MPR periode lalu yang dimaksud Arsul, pertama adalah untuk melakukan pengkajian amandemen terbatas, berupa introduksi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dengan payung hukum Ketetapan (TAP) MPR.

"Yang berarti, kalau payung hukum yaitu TAP MPR, perlu amandemen posisinya memang pada saat itu, di akhir MPR periode lalu, dimana ada 7 fraksi plus kelompok DPD yang setuju. Itu ada PPHN dengan TAP MPR, ada 3 fraksi yang setuju dengan PPHN tapi payung hukumnya dengan undang-undang, yakni Fraksinya Demokrat, Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PKS," sebutnya.

Sementara menyangkut PPHN ini, menurut Arsul, semua fraksi sepakat. Jika ada yang tidak sepakat atau yang berbeda pendapat itu adalah payung hukumnya.

"Tentu yang tidak sepakat paling kalau dengan TAP MPR. Tapi sepakat dengan PPHN tentu PPHNnya kemudian menggantikan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional," ujarnya.

Tolak amandemen
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan menegaskan Fraksi Partai Demokrat menolak amandemen UUD 1945. Penolakan itu berkaitan dengan situasi sekarang masih dalam suasana pandemi Covid-19.

"Posisi kami Fraksi Partai Demokrat menolak melakukan amandemen. Posisi kami adalah menolak untuk melakukan amandemen, karena banyak yang harus kita lakukan," kata Syarief Hasan.

Sementara di MPR RI, menurut Syarief Hasan belum ada keputusan apapun tentang amandemen. Esensinya sampai sekarang belum ada keputusan apapun.

"Yang ada ialah MPR melakukan kajian tentang wacana amandemen. Kita berpendapat perlu ada pendalaman yang lebih jauh lagi, katanya. Sebenarnya amandemen merupakan rekomendasi MPR periode sebelumnya," katanya.

"Kami tidak buru buru untuk memutuskan. Kalaupun ada keputusan dari badan kajian, kami juga harus sosialisasi. Jadi banyak hal yang kita fikirkan sebelum melakukan keputusan," imbuhya.

Menurut Demokrat, untuk membuat GBHN atau PPHN cukup melalui undang-undang, maksimal maksimal bisa melalui TAP MPR.

"Jadi tidak perlu dengan melakukan perubahan amandemen, karena banyak yang harus menjadi pertimbangan," katanya

Sedangkan pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengungkap ada dua aroma di balik wacana amendemen UUD NRI Tahun 1945.

Aroma pertama menurut Pangi, harumnya amendemen karena ada Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) diupayakan masuk dalam Konstitusi.

"Aroma kedua saya mencium bau amis politik yang akan menunggangi terbukanya kotak pandora yang diisi dengan jabatan presiden tiga periode atau penambahan masa jabatan," kata Pangi.

Jika aroma amis itu terjadi, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini mengaku akan turun ke jalan untuk demo. "Saya akan turun demo," tegasnya.

Selain itu, Pangi juga mengingatkan perpanjangan masa jabatan Presiden, DPR RI hingga MPR RI jelas-jelas gratifikasi konstitusional.

"Perpanjangan masa jabatan eksekutif dengan legislatif itu gratifikasi konstitusional," tegasnya.

Ia menambahjan, Indonesia baru 23 tahun mengenal demokrasi, sehingga pintu amandemen dibuka, maka ototarian akan kembali berkuasa dan memberangus demokrasii.

"Jadi masih sangat mungkin otoritarian kembali terjadi di Indonesia. Ini kemunduran demokrasi," imbuhnya.

Editor: Surya