Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ekonomi Biru Mengulang Kembali Pemiskinan Nelayan Tradisional
Oleh : redaksi
Kamis | 28-06-2012 | 12:47 WIB

JAKATRA, batamtoday -- Pernyataan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada KTT Rio G+20 tentang perlunya ekonomi biru (blue economy) dalam perencanaan pembangunan nasional berkelanjutan adalah sikap yang seharusnya tak perlu dilakukan karena semenjak Revolusi Biru dan program industrialisasi perikanan, jumlah kemiskinan masyarakat nelayan menepati jumlah tertinggi (BPS 2008) dan hanya meletakkan sektor kelautan dan perikanan menjadi objek ekploitasi yang meminggirkan jutaan nelayan tradisional yang justru penyumbang perikanan nasional 95 persen.

Demikian disampaikan Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) dalam siaran pers kepada batamtoday, Kamis (28/6/2012).

Konsep ekonomi biru, lanjut Budi, akan lebih banyak meniru konsep ekonomi hijau (green economy) yang pada pelaksanaannya banyak ditentang oleh masyarakat tani dan masyarakat adat yang tinggal di wilayah kawasan hutan.

Budi menambahkan, seperti REDD (Reducing Emissions throuhg Deforestation and Forest Degradation), yang pelaksanaannya dilakukan dengan mengukur kapasitas alami dari hutan dalam menyerap dan menyimpan karbondioksida yang kemudian diperdagangkan di sejumlah pasar karbon, seperti Kyoto Carbon Market dan Chicago Climate Exchange.

Pada akhirnya, sambung Budi, REDD hanyalah melepas tanggung jawab negara-negara industri untuk mengurangi emisi karbon di dalam negeri dan mengalihkan ke negara-negara dengan areal hutan yang luas seperti Indonesia. Dan pada kenyataannya, petani dan masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan dipaksa untuk pergi dengan cara diintimidasi untuk tidak kembali.

"Konsep tersebut justru akan diulang kembali memberikan kesempatan korporasi guna menanamkan investasi di sektor kelautan tanpa melibatkan peran partisipatip masyarakat nelayan tradisional. Ekonomi biru adalah bentuk ekonomi-kapitalistik yang didukung oleh negara-negara industri, yang menggesernya dari daratan kelautan," ujar Budi.

Menurutnya, hal ini tertuang mulai UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) adalah satu nyata tindakan inkonstitusional yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, serta UU Perikanan No. 45 Tahun 2009 yang diberikan kemudahan melakukan perizinan bagi kapal asing menangkap di Indonesia. Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS 2008) menunjukan angka kemiskinan masyarakat nelayan yang tinggi 63,47 persen penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pedesaan pesisir.

SNI menilai, hal yang sama juga bagaimana Coral Triangle intiative (CTI) yang mendapat sokongan dana hutang us$ 150 juta dari Amerika Serikat untuk mengelola secara bersama-sama kawasan laut CTI yang membentang diwilayah Indonesia, Malayasia, Filipina, Timor-Timur, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Selain itu, anggaran tersebut dipakai untuk membangun bentang laut atau tata ruang kelautan dan melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.

"Tetapi CTI pada prakteknya menjadi ruang privat dan pemonopolian bagi wilayah tangkap nelayan tradisional atas nama konservasi sehingga kawasan tangkap nelayan tradisional menjadi tertutup, sehingga nelayan tradisional menjadi korban penembakan aparat keamanan dan pengusiran," katanya.

Menurut Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Konsep ekonomi biru lebih memperluas ekploitasi sumber daya perikanan yang didorong kepada industrialisasi perikanan yang justru akan meminggirkan jutaan nelayan tradisional di Indonesia.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, harus melihat bagaimana gagalnya Revolusi Biru yang membuka luas eksploitasi perikanan dan kelautan sehingga rusaknya kawasan pesisir termasuk hutan bakau akibat tambak-tambak udang modern yang dibiayai oleh lembaga donor serta tidak tepatnya industrialiasi perikanan dengan mendorong nelayan pantai menjadi nelayan lepas pantai dengan memberikan 1.000 kapal berbobot 30 gros ton.

"Seharusnya pemerintah mendorong nelayan tradisional dengan menyiapkan pasar yang adil bagi pengembangan kesejahteraan ekonomi keluarga nelayan. melindungi wilayah tangkap tanpa harus diusir karena nelayan tradisional sudah ada sejak turun temurun," tandasnya.