Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Manuver Pegawai KPK Gagal TWK
Oleh : Opini
Kamis | 12-08-2021 | 14:53 WIB
A-kantor-kpk_jpg2.jpg Honda-Batam
Gedung Merah Putih, KPK di Jakarta. (Foto: Ist)

Oleh Thaya Salsabila

PARA pegawai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) diharapkan tidak terseret politik praktis dan menghentikan kegaduhan. Pasalnya, alih status pegawai KPK telah sesuai aturan dan dilaksanakan secara transparan.

Tes wawasan kebangsaan adalah ujian maha penting sebelum seseorang diangkat jadi ASN, termasuk para pegawai KPK. Mereka sudah menjalaninya dan hasilnya 75 orang tidak lolos. Dari orang-orang itu, maka 24 orang diberi kesempatan kedua dan sisanya harus rela untuk meninggalkan KPK pada awal november 2021.

Mengapa ada yang tidak lolos tes dan gagal mendapatkan kesempatan kedua? Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan bahwa mereka mereka gagal karena rapornya sangat merah, alias skor TWK sangat rendah. Sehingga wajar jika tidak bisa diangkat jadi aparatur sipil negara.

Selain itu, para ex pegawai KPK yang tidak lolos TWK ketahuan memiliki agenda politik. Salah satu dari mereka ditengarai memiliki keterlibatan yang erat dengan kelompok radikal, sehingga berbahaya jika meneruskan karirnya di lembaga antirasuah tersebut. Jangan sampai KPK terkena virus radikalisme, karena bisa berbahaya bagi negara.

Bayankan jika tidak ada tes wawasan kebangsaan sebagai filter untuk mengetahui apakah ada pegawai KPK yang terlibat radikalisme, mau jadi apa? Bisa-bisa KPK hancur karena digerogoti dari dalam, karena ulah kelompok radikal yang memanfaatkan jabatan dan pangkat untuk kepentingannya sendiri. Apalagi pegawai KPK punya banyak rekanan sehinga bisa jadi ada lobi yang membahayakan negara.

Jika ada pegawai KPK yang ketahuan punya keterlibatan terhadap radikalisme maka ia bisa mengeluarkan statement di media sosial dan menyatakan keberpihakannya. Ini sangat berbahaya karena bisa-bisa publik menduga bahwa KPK sudah terlibat radikalisme, padahal itu hanya pernyataan pribadi, bukan lembaga. Namun karena ia sudah lekat dengan KPK seolah-olah terlihat sebagai pernyataan lembaga.

Kalau sudah begini maka masyarakat bisa heran, mengapa KPK yang merupakan lembaga negara, yang katanya harus netral, malah pro radikalisme? Ini akan merusak nama baik KPK, sehingga pegawai yang terlibat radikalisme memang harus diberantas. Cara mengatahuinya adalah dengan tes wawasan kebangsaan, karena ada beberapa soal mengenai radikalisme, terorisme, dan isu SARA.

Selain itu, pegawai KPK yang tidak diberi kesempatan kedua juga ketahuan memiliki agenda politik yang negatif. Jika harus netral sejak awal tetapi diam-diam mbalelo, akan berbahaya. Misalnya pada seorang penyidik senior yang terang-terangan tidak mau mengusut kasus seorang pejabat tinggi, yang ternyata adalah saudara sepupunya. Ia sudah bersikap subjektif sehingga harus ditindak.

Jika ia atau pegawai-pegawai lain malah mendukung saudara atau teman untuk terhindar dari operasi tangkap tangan, maka sudah tidak bisa dibiarkan. Mereka tidak bisa beralasan bahwa pejabat yang jadi saudaranya itu clean karena ada bukti yang menunjukkan bahwa ia diam-diam korupsi. Jangan-jangan OTT dibatalkan karena pejabat itu akan dicalonkan jadi RI-1 pada 2024 mendatang.

Oleh karena itu, tiap pegawai KPK yang terseret arus politik, baik sayap kiri maupun kanan, harus dibersihkan dengan metode tes wawasan kebangsaan. Mereka harusnya evaluasi, mengapa tidak lolos ujian. Bukannya mengadu ke Komnas HAM seperti anak kecil atau berkoar-koar di media sosial.

KPK adalah lembaga negara yang harus dijaga kesuciannya dari radikalisme dan segala pengaruh politik yang negatif. Netralitas KPK harus benar-benar dijaga, salah satunya melalui tes wawasan kebangsaan. Jangan sampai ada yang terseret arus politik praktis dan malah membunuh KPK dari dalam.*

Penulis adalah pengamat politik bermestautin di Bogor