Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

The EndGame, Dokumenter Mereka yang Disingkirkan dari KPK
Oleh : Redaksi
Rabu | 09-06-2021 | 14:20 WIB
A-THE-WACHDOG-KPK.jpg Honda-Batam
Poster film dokumenter The EndGame. (Foto: Watchdoc)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belumlah usai. Puluhan pegawai KPK yang merasa tersingkirkan lewat TWK masih terus berjuang menentang kebijakan pimpinan KPK yang mereka anggap 'janggal dan tidak relevan' itu.

Sebagaimana diketahui, TWK merupakan buntut dari revisi UU KPK pada 2019 yang mengharuskan pegawai KPK beralih status menjadi aparatur sipil nasional (ASN). Namun, alih-alih langsung mengalihstatuskan semua pegawainya menjadi ASN, pimpinan KPK lewat peraturannya kemudian mewajibkan kelulusan TWK sebagi syarat alih status.

Hasilnya, dari 1.351 pegawai KPK yang mengikuti TWK, sebanyak 75 pegawai dianggap tidak memenuhi syarat untuk lulus tes. Di antara mereka yang tidak lulus adalah para penyidik dan pejabat senior KPK yang selama ini dikenal berprestasi, seperti penyidik Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid.

Ketidakadilan yang dirasakan oleh 75 pegawai KPK itu terekam secara jelas dalam film dokumenter KPK, The EndGame. Film garapan Watchdoc yang mulai akhir pekan lalu diputar serentak di seluruh Indonesia itu merekam pengakuan 16 sosok penuh komitmen dan integritas yang selama ini menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyampaikan keterangan terkait pelantikan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di gedung KPK, Jakarta, Selasa (1/6/2021). KPK resmi melantik 1.271 pegawai yang lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menjadi ASN.

Sayangnya, berpegang teguh dengan nilai integritas tidak menjadi jaminan bagi mereka untuk bisa lulus TWK. Salah satunya yakni sang raja operasi tangkap tangan (OTT), Harun Al Rasyid.

Bergabung dengan KPK sejak 2005, ia mengaku menemukan panggilan hati sebagai penyelidik, karena menyadari korupsi merupakan persoalan bangsa yang utama. Dijuluki sebagai raja OTT lantaran pada 2018, Harun pernah memimpin 12 dari total 29 operasi penangkapan dalam setahun.

"Dan di KPK, saya bisa berbuat banyak. Menangkap gubernur, bupati, menteri, wakil rakyat yang ingin mengambil banyak uang negara dan menangkap politikus nakal. Saya merasa, di sini sumbangsih saya ke negara," ujar Harun.

Dukungan terus berjuang dalam memberantas korupsi pun ia dapat dari keluarga. Meskipun ia sempat berada di titik terendah, di saat sang ibu memintanya untuk berbuat yang tidak sesuai dengan prinsipnya.

Saat itu, sang ibu memintanya agar bisa membantu sang adik dalam mendapatkan pekerjaan. Diketahui, adik bungsu dari Harun merupakan lulusan terbaik dari salah satu universitas negeri ternama di Indonesia, namun usai lulus bersekolah, sang adik belum mendapatkan pekerjaan.

"Ibu sampai bilang, nak tolong perhatikan adikmu. Masak selama ini (kamu) tidak punya kawan," ujar Harun menirukan kalimat sang Ibu.

Ibunda Harun, bahkan membandingkan dirinya dengan tetangganya yang memberikan suap agar bisa diterima sebagai pegawai honorer. "Ibu bilang anak tetangga untuk jadi pegawai honorer bayar Rp 50 juta," kata Harun.

"Saya sampai menyembah-nyembah ke ibu saya, bahwa saya sudah berjanji ke negara memberantas seperti itu (tindak pidana suap)," tambah Harun.

Namun, lambat laun sang ibu mengerti dengan pekerjaan yang diemban oleh putranya. " Saat ini ibu, sudah mengerti dan pada tahap tidak bakal memberikan nomor telepon saya bila ada saudara atau kerabat yang menanyakan nomor saya kepadanya," ungkpanya.

"Ini yang buat saya mendapat semangat dari keluarga dan orang tua, " Harun menambahkan.

Sayangnya, nilai integritas yang dimiliki Harun justru membuatnya tersingkir dari KPK. Ia menjadi bagian dari 51 pegawai yang dilabeli 'merah' dan dinilai tidak bisa lagi dibina berdasarkan hasil asesmen TWK.

Padahal Harun mengaku masih ingin menuntaskan pekerjaannya yang belum selesai. Bagi Harun, pekerjaan yang dijalaninya selama ini bagian ibadah. Meski ia menyadari tugas merupakannya tak mudah dan penuh risiko, perjuangannya adalah tugas mulia agar masyarakat Indonesia menjadi makmur dan adil.

"Integritas tak ada di pasar, integritas lahir dari pribadi, tidak ada kata bersahabat atau bersekongkol dengan segala bentuk kejahatan," ujar Harun.

Pegawai KPK lainnya yang juga tak lolos adalah Benydictus Siumlala Martin Sumarno. Pria yang akrab dipanggil Beny itu masuk ke KPK pada 2017 melalui program Indonesia Memanggil.

Sebelum menjadi pegawai KPK, Beny sudah berkecimpung terlebih dahulu di dunia pendidikan. "Saya pernah jadi guru (sebelum masuk KPK), lalu saya dapat WhatsApp dari kakak saya tentang lowongan Indonesia Memanggil 11, yang akhirnya saya ikut dalam tesnya," ujar Beny.

Salah satu alasannya bergabung karena melihat nama besar KPK yang memiliki rekam jejak sebagai lembaga yang bersih dan berintegritas. Saat itu ia juga mengagumi para penyidik maupun penyelidik KPK yang tak gentar dalam memberantas korupsi.

Apalagi, saat itu KPK membuka lowongan untuk posisi fungsional pendidikan masyarakat. Hingga sebelum disingkirkan, Beny bekerja di Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat.

"Saya bangga menjadi bagian dari KPK. Selama ini pun saya bekerja bersama dengan para senior yang memiliki integritas dan kinerja jelas. Apalagi, ketika mendatangi beberapa daerah, saya melihat masyarakat sangat mencintai KPK," ujar Beny

Di sisi lain, Beny juga merasa miris melihat korupsi sangat berpengaruh pada perekonomian masyarakat, terutama pada masyarakat kalangan bawah. Beny mengaku sangat sedih jika harus meninggalkan KPK.

Sebab, menurut dia, jarang sekali ada tempat berkarya seperti KPK yang selalu mengutamakan kejujuran dan menjaga integritas. Bagi Beny, bekerja di KPK tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga menjadi sesuatu untuk orang lain. Bekerja di KPK memiliki pengaruh yang sangat besar dan berguna bagi orang lain.

Perihal asesmen TWK, Beny mengaku merasa jangal dalam setiap prosesnnya. Mulai dari pertanyaan yang sangat tidak masuk akal, hingga para pewawancara yang seolah menutup diri dan sengaja bersikap misterius. Soal yang ia kerjakan tidak bertuliskan TWK melainkan soal dengan judul Indeks Moderasi Bernegara.

"Ketika masuk dalam ruang wawancara pun saya melihat tidak ada alat rekam, tidak tahu juga kalau ada yang disembunyikan," kata Beny.

Kejanggalan yang sama pun dialami oleh Rieswin Rachweell. Sehari sebelum menjalani TWK, rumah orang tuanya yang berada di luar pulau Jawa sempat didatangi orang yang tidak dikenal.

"Kejadian aneh sebelum tes, rumah saya didatangi orang tidak dikenal, mengaku dari Kementrian, ngomong ke ibu saya, padahal rumah saya di suatu pulau yang harus naik pesawat," kata Rieswin.

Menjadi seorang pegawai KPK sebenarnya tak pernah terlintas oleh Rieswin. Dengan latar belakang disiplin ilmu Teknik Sipil, Rieswin akhirnya memberanikan diri mencoba bergabung dengan KPK pada 2017. Ia lalu dipercaya bertugas sebagai penyelidik.

"Dulu saya bekerja untuk uang. Setelah berada di KPK saya merasa ada untuk negara, ada kepuasan sendiri, ada manfaat secara luas, ada pengaruh pada masyarakat sehingga bersemangat," kata Rieswin.

Ia sangat bangga dengan pekerjaannya. Apalagi, menurut dia, sebelum 2019 tidak ada yang bermain kasus dan tidak ada intervensi di KPK. Sayangnya, setelah 2019 ada beberapa kali kasus bocor dan dihambat. Ia mengalami sendiri adanya kasus yang bocor dan dihambat itu.

Kebocoran informasi di KPK dibenarkan oleh Hasan. Penyidik yang juga masuk dalam 75 pegawai yang tak lolos TWK itu, menyebut belakangan kebocoran informasi OTT sering terjadi.

"OTT bocor ya pasti dari internal ada, pegawai tidak berintegritas, " ucap Hasan.

Ihwal sering bocornya informasi terkait penyelidikan atau penyidikan kasus korupsi, menurut Harun Al Rasyid terjadi sejak Firli Bahuri menjadi Deputi Penindakan KPK pada 2018. "Kebocoran kasus itu justru banyaknya pas zaman Firli, deputi," ujar Harun.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko yang juga menjadi salah satu aktor The EndGame menyebut proses TWK merupakan sebuah 'perselingkuhan'. Sebab, ia dan pegawai KPK baru tahu ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam tes tersebut.

"Karena nih ternyata kami baru tahu ada beberapa pihak itu yang ikut-ikut campur terkait sistem rekrutmen ini, ada BAIS, BIN, BNPT, ada BNN dan lain-lain. Kenapa saya bilang perselingkuhan? Mestinya surat formal itu 100 persen dipertanggungjawabkan pindah dari KPK ke BKN, mereka saling melempar tangan. Saya khawatir ini mirip kegiatan intelijen," ucapnya.

Selain itu, Sujanarko juga mempertanyakan soal siapa pihak yang membuat soal dalam tes tersebut. Sebab, BKN mengaku tidak tahu begitu juga Kemenpan-RB. Di samping itu, KPK juga melalui Firli Bahuri dalam konferensi pers pada 5 Mei 2021, menyatakan tidak terlibat dalam pembuatan soal.

"Saya ragu jangan-jangan TWK bukan untuk kepentingan KPK, tapi untuk lain, ini ya pelemahan KPK," ujarnya.

Firli Bahuri, usai melantik 1.271 pegawai KPK menjadi ASN, menegaskan tidak ada upaya menyingkirkan siapa pun melalui TWK. "Saya agak heran kalau ada kalimat bahwa ada upaya menyingkirkan. Saya ingin katakan tidak ada upaya untuk menyingkirkan siapa pun," ucap Firli di gedung KPK, Jakarta, Selasa (1/6/2021).

Firli berargumen, sebanyak 1.351 pegawai yang mengikuti TWK menggunakan ukuran, instrumen, pertanyaan, dan modul yang sama.

"Kenapa saya pastikan itu? Karena tes yang dilakukan wawasan kebangsaan diikuti oleh 1.351 pegawai dengan ukuran yang sama, instrumen yang sama, alat ukurnya sama, waktu mengerjakan sama, pertanyaannya sama, modulnya sama. Hasilnya memenuhi syarat 1.271 yang tidak memenuhi syarat 75," kata Firli.

Selain itu, Firli juga mengatakan pelaksanaan TWK telah sesuai dengan mekanisme dan prosedur. "Kalau boleh saya katakan semua dilakukan sesuai dengan kriteria, sesuai dengan syarat, sesuai dengan mekanisme, dan sesuai dengan prosedur. Hasil akhir memang ada yang memenuhi syarat ada yang tidak memenuhi syarat. Jadi, tidak ada upaya untuk menyingkirkan siapa pun, kami pimpinan tidak ada niat menyingkirkan seseorang," ujarnya.

Puluhan pegawai yang tidak lulus TWK saat ini tengah melakukan perlawanan, baik melalui gugatan hukum dan juga pengaduan ke lembaga terkait, termasuk Komnas HAM. Namun, pelaporan mereka ke Komnas HAM sepertinya tidak akan digubris oleh pimpinan KPK.

Alih-alih memenuhi panggilan Komnas HAM pada Selasa (8/6/2021), pimpinan KPK justru menyurati balik Komnas HAM dengan mempertanyakan di mana letak dugaan pelanggaran hak asasi manusia dari TWK. Namun, Komnas HAM masih memberikan kesempatan, kepada pimpinan KPK untuk bisa memberikan klarifikasi.

"Jadi, kalau hari ini pimpinan KPK belum datang, kami tetap memberikan kesempatan, haknya untuk memberikan informasi dan keterangan tambahan kepada kami," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, M Choirul Anam, di kantor Komnas HAM, Selasa (8/6/2021).

Anam menyampaikan, pihaknya memberi kesempatan kedua bagi pimpinan KPK pada Rabu (9/6/2021) untuk memberikan klarifikasi terkait polemik TWK. Jika Firli cs tetap mangkir dari pemanggilan, Komnas HAM akan mengambil cara lain untuk memeriksa aduan dari para pegawai KPK.

"Kami akan menggunakan informasi yang kami peroleh dari satu pihak dan dengan cara kami. Kami juga akan mendapatkan informasi yang lain," kata Anam.

Sumber: Republika
Editor: Dardani