Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Protes Kesetaraan Gender Dituduh Feminisme Radikal, Perempuan Harus Lawan Seksisme!
Oleh : Opini
Sabtu | 13-03-2021 | 18:53 WIB
Mileni.jpg Honda-Batam
Milenitryasa. (Istimewa)

Oleh Milenitryasa

Dalam keadaan saat ini, setiap bangsa dituntut untuk saling berkompetisi. Kaum perempuan jelas memiliki andil yang sangat besar dalam perubahan peradaban dunia, bahkan tidak sedikit perempuan yang telah membuktikan perannya, kemampuannya dan inovasinya dalam memberikan sumbangsi yang luar biasa bagi negrinya.

Akan tetapi Isu-isu yang beredar di era globalisasi mengenai kesetaraan gender, cukup menjadi perhatian untuk masyarakat. Kiprah tentang perempuan tak pernah sepi dari perbincangan, bahkan selalu jadi isu popular di media sosial. Perbandingan antara perempuan dan laki-laki yang terkesan mengkotak-kotakan sudah sejak lama terjadi.

Paradigma masyarakat Indonesia mengenai perempuan secara tradisional saja, seolah menentukan dan mencerminkan "Bagaimana seharusnya menjadi perempuan ideal". Ketimpangan dan standar berlebihan yang diaplikasikan ke beberapa kaum perempuan seakan tidak pernah adil. Pandangan tradisional seperti perempuan tidak perlu terlalu didengar, tidak boleh terlalu keras dalam berbicara, tidak perlu berpendidikan tinggi, masih sangat sering kita jumpai diberbagai tempat di negeri ini. Di indonesia kasus berbasis gender akan kekerasan juga banyak terjadi, mulai dari pernikahan di bawah umur, kekerasan seksual, kesenjangan sosial pada pendidikan dan kejahatan dalam rumah tangga.

Laporan The Global Gender Gap Index 2020 menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari 153 negara dengan skor 0.70. Angka tersebut sayangnya tidak mengalami perubahan dari tahun 2018. Peringkat tersebut masih tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, seperti Filipina pada urutan 16, Laos pada urutan 43, Singapura pada urutan 54 dan Thailand pada urutan 75. Pada bidang pendidikan dan kesehatan, setidaknya Indonesia telah mencapai skor 97,0. Dengan kata lain, ketimpangan tersebut hampir telah tertutup.

Namun, jika ditelisik pada subindeks, angka literasi dan rasio partisipasi pendidikan dasar perempuan masih rendah, yaitu 94 persen perempuan dibanding 97 persen laki-laki, serta 91 persen dibanding 96 persen laki-laki. Pada bidang politik, catatan ketimpangan masih terjadi walaupun kondisi tersebut dapat dikritisi dengan pencapaian representasi politik perempuan di parlemen pada Pemilu Legislatif 2019 lalu yang mencapai 20.87 persen. Hal ini merupakan dampak dari salah satu faktor akan pandangan serta pemahaman yang mengkotak-kotakan gender, menjadikan seseorang memiliki ketakutan, ketidakpercaya dirian dan akhirnya perempuan menarik diri untuk terlalu menonjol. Bahkan Seiring berjalannya waktu masalah ketimpangan gender belum juga selesai malah makin parah.

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas mengutarakan, "Ketimpangan terjadi makin parah di situasi pandemi ini. Hasil dampak sosial dari Badan Pusat Statistik (BPS) penurunan pendapatan di masa PSBB, justru terjadi pada 71 persen dari pendapatan rendah, jelas ini menjadi masalah bagi perempuan yang merupakan kepala keluarga, lansia, dan disabilitas."

Kondisi yang memperihatinkan ini semakin menantang di tengah pandemi Covid-19, dan semakin memperburuk ketimpangan gender yang ada, sehingga perempuan menjadi semakin rentan.

Munculnya gerakan feminisme dalam mencari keadilan, postingan perbandingan antar perempuan dengan laki-laki, acap kali muncul di media sosial, membuat saya semakin tergelitik untuk membicarakan perlakuan Seksisme diskriminasi terhadap gender dalam sudut pandang perempuan. Seksisme merupakan suatu bentuk prasangka maupun diskriminasi kepada kelompok lain baik perbedaan gender maupun kelamin, di mana laki-laki bisa saja menjadi korban, namun pada umumumnya korban dari prilaku seksis adalah perempuan.

Menurut Camridge Dictionary Seksisme berhubungan dengan kepercayaan suatu masyarakat bahwa adanya kodrat bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya, yang mana kodrat tersebut sangat fundamental. Orang-orang yang memiliki sikap Seksis biasaya menganggap diri mereka superior dan terkesan menggurui, memandang perempuan sebagai orang yang tidak kompeten, manusia kelas dua dan hanya bisa berperan secara domestik. Impact dari Seksisme ini berlipat-lipat tergantung dari identitas si perempuan, misalnya umur, agama dan etnis.

Mengutarakan protes maupun aksi akan pemikiran, kesadaran kritis yang berusaha menghentikan ketertindasan, sering kali diartikan dengan Feminisme Radikal yang dinilai berlawanan dengan Islam serta dipertentangkan hingga menyuarakan Anti Feminisme dan juga dinilai terlalu mempersalahkan hal yang tidak seharusnya dipermasalahkan. Nyatanya Feminisme dan Islam keduanya sama-sama mengakui bahwa antara perempuan dan laki-laki sama mulianya dihadapan sang pencipta.

Tanpa sadar bangsa Indonesia merupakan hasil dari perjuangan Feminis, hak atas terjaminya pendidikan, ekonomi hingga kebasan bersuara yang terbuka untuk perempuan saat ini, merupakan perjuangan panjang sejak era kolonialisme. Sekarang pertanyaanya apakah kita masih butuh Feminis itu? Apakah bentuk Feminisme tidak ada yang postif, sehingga harus dipertentangkan? Perempuan yang dianggap mahkluk lemah, preciuous dan bahkan disamakan dengan berlian yang harus dilindung dan dijaga, sehingga tercipta ruang batasan, dan sedihnya disetujui oleh beberapa perempuan, hasilnya jika perempuan keluar dari batasan tersebut, akan dianggap ambisius, contohnya saja pandangan agar tidak perlu terlalu pintar dan tidak perlu terlalu sukses, karena katanya susah untuk mendapatkan jodoh dan bila perempuan terlalu mengejar karirnya, perempuan di judge tidak becus dalam mengurus keluarga.

Padahal perempuan juga berperan besar dalam rumah tangga. Saat menjadi seorang ibu rumah tanggapun perempuan dituntut untuk multitasking, jika perempuan tidak memiliki ilmu atas semua itu, bagaimana mereka akan mengurus keluarga dan anak-anaknya dan apakah perempuan tidak boleh menghasilkan?

Sebagai perempuan, sekedar memilih pilihan saja sudah menantang. Sebagian perempuan mendapatkan halangan dalam harinya bahkan celaan dari lingkungan. Sifat yang perasa dan sering memiliki perasaan bersalah walau memiliki tujuan yang mulia membuat perempuan di anggap emosian, cendrung memakai perasaan dan dianggap tidak mampu menjadi pemimpin.

Penelitian menunjukan, kesuksesan seorang perempuan sering kali berkolerasi negatif, sedangkan kesuksesan laki-laki berkorelasi postif. Menjadi sukses dan disukai kerap bertolak belakang bagi perempuan, mengupayakan suatu posisi, dicap mementingkan diri sendiri, karna kenyataannya ambisi yang dimiliki bertentangan dengan tradisi.

Menariknya beberapa perempuan bisa tidak merasa jika ada yang salah padahal mereka telah menjadi korban Seksisme, sedihnya lagi mereka membenarkan hal itu dan memposisikan diri bahwa mereka adalah seorang perempuan yang posisinya berada di bawah laki-laki. Kasarnya, seperti seorang korban yang menerima tindasan dari seorang pelaku, seakan-akan mereka melakukan pelestarian Seksisme dan membuat Seksisme akan terus ada di negara ini.

Secara tidak sadar perempuan merendahkan kemampuan dirinya, mereka kerap dilema, ragu untuk menunjukan keberhasilan, dan ragu untuk punya ambisi, dikarenakan takut dinilai macam-macam oleh lingkungan atas tradisi yang tidak lagi relevan. Semestinya, karena tradisi merupakan seperangkat nilai yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain dan merupakan praktek budaya yang harusnya dinamis, bila tidak lagi relevan sesuai dengan perkembangan zaman, kita harus mampu memilih dan memilah, mana tradisi yang perlu dipertahankan dan mana tradisi yang harus ditinggalkan.

Ini merupakan tantangan bersama yang harus kita lawan, walau bukan perkara mudah untuk meninggalkan paradigma dan tradisi yang lama tertanam, kaum perempuan harus memiliki pikiran yang sama dan saling mendukung, perilaku Seksis yang tidak harusnya mereka dapatkan, pemahaman-pemahaman yang menjurus meragukan dan menjatuhkan wanita harusnya bisa diubah dengan cepat dalam era perkembangan teknologi seperti sekarang ini, dengan menularkannya lewat teknologi, memungkinkan para penggunanya melampaui batas yang luas dalam bertukar ide serta membagi pemahaman.

Perempuan harus punya pandangan bahwa mereka mulitiperan, bukan hanya sekedar cukup, namun lebih dari cukup, mereka memiliki cita-cita, mereka boleh punya ambisi, dan berjuang atas ambisinya. Pandangan baru seperti itulah yang harus kita para perempuan tularkan, serta mencoba merangkul satu sama lain, khusunya untuk generasi-generasi milenial, agar dapat lebih semangat dalam menemukan jati diri.

Penulis adalah mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang