Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Aturan Turunan UU Cipta Kerja Berpihak pada Industri Rakyat
Oleh : Opini
Rabu | 27-01-2021 | 14:20 WIB
A-UU-CIPTAKER.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. (Foto: Ist)

Oleh Indra Kurniawan

SAAT ini Pemerintah terus mengoptimalkan pembahasan penyusunan aturan turunan UU Cipta Kerja. Aturan turunan tersebut diyakini mampu menyelesaikan permasalahan hiper regulasi dan tetap memihak pada kemajuan industri rakyat.

Pemerintah Pusat tengah merampungkan produk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perdagangan dan Perindustrian dimana hal tersebut merupakan turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Para pelaku usaha juga berharap agar RPP ini dapat mengakomodasi kepentingan industri, seperti jaminan kepastian bahan baku hingga perlindungan industri dalam negeri.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengatakan RPP Perindustrian dan perdagangan sangat penting bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Maka dari itu pihaknya pun mengusulkan beberapa masukan. Salah satunya adalah perlu adanya perbaikan mekanisme impor.

Jemmy menilai, perlu adanya kebijakan ketat berupa kewajiban menyertakan perizinan impor bagi importir yang mengimpor melalui Pusat Logistik Berikat (PLB), Gudang Berikat (GB) dan Free Trade Zone (FTZ).

Adapun untuk RPP perindustrian dirinya menuturkan bahwa pemerintah perlu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor. Menurutnya impor hanya dilakukan bila industri di dalam negeri tidak dapat memproduksinya baik sebagai bahan baku atau bahan penolong.

Pihaknya melihat belum ada bab yang membahas jaminan pasar domestik bagi produk dalam negeri, sehingga RPP ini tidak bisa mendorong penggunaan bahan baku dalam negeri hingga memperbaiki kebijakan impor.

Ia melihat selama ini kemudahan impor yang seharusnya membantu industri dalam negeri khususnya IKM malah menjadi bumerang dan mengancam industri dalam negeri. Dari dalam negeri masalah mahalnya ongkos logistik menjadi masalah klasik yang masih menjadi pekerjaan rumah.

Tingginya biaya logistik disebabkan karena penerapan infrastruktur logistik belum terintegrasi dan menciptakan biaya ekonomi tinggi.

Sementara itu Rachmat Hidayat selaku anggota dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), menambahkan industri makanan dan minuman juga ikut terdampak dengan adanya pandemi ini.

Meskipun masih bisa mencatatkan pertumbuhan yang positif, namun industri ini harus melakukan adaptasi dari perubahan perilaku konsumen yang lebih mawas terhadap kesehatan ataupun kebersihan dalam produk makanan dan minuman yang akan mereka konsumsi.

Di samping itu, beberapa tantangan juga dihadapi oleh industri makanan dan minuman seperti misalnya belum adanya jaminan pengadaan energi yang lebih kompetitif, ketersediaan bahan baku, hingga jaminan pasokan bahan baku.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Agung Pambudhi berharap pemerintah menyelesaikan persoalan investasi dan berusaha melalui aturan turunan UU Cipta Kerja yang tengah disusun.

Oleh karena itu, pemerintah juga harus tegas selaku pemegang otoritas kebijakan dalam memutuskan perizinan dan aturan hukumnya.

Pengusaha tentu sangat mengharapkan pelayanan perizinan jauh lebih memberikan kepastian dari sebelum adanya UU Cipta Kerja.

Dirinya sangat percaya manajemen paling primitif perlu dijalankan yakni reward and punishment bagi ASN yang bertugas melayani perizinan. Itu tepat untuk mengubah perilaku kerja yang selama ini ada.

Ia juga berharap, agar kemudahan investasi harus tergambar dari seluruh RPP yang dibuat pemerintah.

Misalnya, mengenai kemudahan pengurusan izin yang berbasis sistem mulai pemenuhan persyaratan dokumen hingga pelaku usaha atau pemohon mendapatkan izinnya. Agung meminta proses tersebut tidak hanya mudah, tetapi juga pasti.

Langkah pemberian perizinan berbasis risiko memang menjadi ruh regulasi UU Cipta Kerja. Kebijakan tersebut harus dimaksimalkan untuk kemudahan masyarakat.

Agung berujar, yang paling penting dalam proses ini adalah terkait dengan bagaimana sistem yang dapat menjamin partisipasi dan juga konsultasi dimana publik bisa memberikan catatan atas peraturan-peraturan yang menjadi regulasi turunan dari UU Cipta Kerja.

Penerapan undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja patut diapresiasi sebagai salah satu solusi mengatasi tumpang tindih regulasi kegiatan usaha.

Metode penyusunan regulasi secara omnibus tersebut diharapkan dapat mereformasi peraturan sehingga mampu meningkatkan investasi di Indonesia, tentunya peningkatan investasi ini akan sejalan dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja.

Aturan turunan ini diharapkan juga sejalan dengan semangat regulasi di atasnya agar tidak terjadi tumpang-tindih regulasi dan hambatan investasi lainnya.

Ke depan yang dibutuhkan oleh masyarakat baik pelaku usaha atau pekerja adalah iklim industri yang kondusif, sehingga perlu adanya regulasi yang dapat mempercepat upaya peningkatan ekonomi negara.*

Penulis adalah kontributor Milenial Muslim Bersatu