Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Identitas Ideo-Biologis
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 07-12-2020 | 14:04 WIB
A-HANG-MUCHID10.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

BERDISKUSI ihwal hubungan antara ideologi dan biologis, ibarat ungkapan, "tak lakang di panas, tak lapuk di hujan". Dalam konteks kekinian menjadi penting manakala ideologi dan bialogis dipahami dalam sudut pandang (perspektif ) identitas, muasal jatidiri.

Hubungannya bersinambung menjadi Identitas Ideo-Biologis sesuai tajuk pada esai akhir zaman yang berupaya diulas-cermati. Tajuk ideologi dan identitas dalam konteks dengan altar biologis menjadi urgen untuk ditelaah-cermati oleh karena sedang berlangsung pertarungan ideologi yang benderang.

Hanya saja, sayup-sayup senyap seolah-olah tersembunyi, disembunyikan atau ketidaksadaran. Jejak digital memperjelas bahwa pertarungan yang sadang berlangsung belum banyak menjadi kajian khusus.

Berulang-kali dikemukakan jika sebelum RUU (rancangan undang-undang) HIP (haluan ideologi Pancasila) dicabut dari prolegnas, pertarungan tak akan berhenti. Idiom penting jika pertarungan "senyap-tersembunyi" yang tak lakang dan tak lapuk, keduanya (identitas, ideologi yang bertendensi biologis) sangat tergantung dari siapa yang memperjuangkan.

Indikatornya mudah ditelusur bersandar pada uji-cabut RUU-nya di prolegnas tersebut yang ada pada lembaga legislatif, perwakilan partai-partai politik.

BACA JUGA: Hidayah Akhir Zaman

Secara sederhana untuk memperjelas jejak historis hubungan identitas dengan ideologi yang bertendensi biologis (ideo-biologis), pendekatan pemikiran politik dapat membantu mengurainya. Menghubungkan antara identitas, ideologi dan biologis terdeksi berdasarkan produknya.

Contoh sederhana, studi pemikiran politik berargumen jika pemikiran (politik) yang masih abstrak dalam wujud ideologi dapat terdeteksi (dideteksi) melalui dua hal. Pertama, melalui kelembagaan politik (partai poltik), mohon perhatikan ad-artinya. Kedua, melalui referensi dapat berupa buku teks, biografi atau auto-biografi.

Bersandar pada contoh sederhana, maka mudah ditelusur hubungan identitas, ideologi yang bertendensi biologis. Menjadi penting dicermati adalah jika institusi politik dalam sebuah negara demokrasi (partai politik) adalah alat utama penerus, penyambung atau mempertahankan ideologi tertentu.

Sementara aktor (pelaku) adalah pengguna alatnya. Dalam hubungan ini tentu saja para pengguna alat harus memenangkan pertarungan. Pemenangnya secara otomatis akan menentukan bertahan atau tidaknya ideologi tersebut.

Dalam konteks memperjungkan ideologi ini pula manusia (pemikir) dapat didefinisikan sebagai sebuah bagian dari identitas. Dalam konteks identitas inilah bagian penting terhadap refleksi klarifikasi karakter yang inheren dengan sinyalemen perbedaan dan persamaan ikhwal ke-manusia-an.

Manakala sama [identik], maka manusia akan saling berkolaborasi [bekerja sama] termasuk dalam berideologi. Sementara, jika berbeda, manusia akan cenderung bersitegang [konflik]. Esensinya manusia dan identitas adalah interaksi karakter yang saling melengkapi, bersitegang dan berdamai. Begitulah sunatullahnya.

Mencermati dan belajar kisah penolakan RUU HIP menjadi penting jika "pertarungan ideologi" (istilah ideo-biologis) terkait langsung dengan ke-gen-an [memahami identitas manusia bersumber dari gen biologisnya atau DNA-nya].

Ini dilatarbelakangi oleh karena identitas manusia yang terklarifikasi secara logis umumnya didasarkan kepada empat hal utama yakni, kesamaan [identik] karena ideologi [agama], genealogi [keturunan sandaran bialogisnya], budaya, dan kepentingan intristik [ke dalam] seperti: ekonomi, politik, sosial, hukum dan lainnya.

Istilah biologis (idea-biologis) yang dipersoalkan adalah bagian dari genealogi [sesuatu yang berhubungan dengan keturunan sejak lahir] yang jamaknya dimaknai bersandarkan anak biologis (keturunan penggagas ideologi).

Dalam hubungan ini, era 1960-an sinyalemen nasionalis-agama-komunis (nasakom), menjadi titik hubung betapa urgensinya menelaah-cermati ihwal identitas dengan ideologi dan biologi sesuai tajuk, "identitas ideo-biologis".

Esai ini tidak bermaksud membongkar sejarah luka lama, melainkan sebagai pengingat bagi para pihak yang berkepentingan, mustahil menyatukan antara ateisme (paham yang meniadakan tuhan) dengan kayakinan orang beragama yang percaya ("mempunyai") tuhan.

Esensinya, mustahil diintegrasikan dalam sebuah harmonisasi hubungan antara kedua-pihak yang berseberangan. Sejarah penolakan paham yang tidak bertuhan dalam wujud regulasi tentu saja bukan harga mati. Oleh karena itu menjadi jelas manakala pertarungan ideologis masih tetap, dan akan berterusan sehingga ke akhir zaman.

Dalam wujud untuk tidak menolak proses yang sedang terus-menerus berlangsung, paling tidak jejak sejarah negeri ini jangan dilupakan. Seperti pendapat orang-orang bijak, "belajarlah" pada jasmerah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Dipertegas menjadi jangan sakali-kali "melupakan atau justru amnesia sejarah".

Menjadi kata akhir bersandar pada "jasmerah", dua catatan, dan yang ketiga pertanyaan perlu untuk direnungi. Pertama, sebagai partai, paham komunis (komunisme) mustahil keberadaannya di negeri ini, karena regulasi melarangnya. Kedua, sebagai ideologi yang berkembang dalam pemikiran, mustahil komunisme dapat diidentifikasi, kecuali terimplementasi pada institusi politik, buku-buku teks atau referensi lainnya.

Pertanyaannya: apakah dari perspektif biologis, "komunisme" yang bersandarkan dendam dapat dengan mudah dipadamkan? Atau telah terjadi sidrom amnesia sejarah?

Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.