Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kontribusi Generasi Milenial pada Kebijakan Pemerintah
Oleh : Opini
Kamis | 19-11-2020 | 14:56 WIB
ilustrasi-generasi-millenial11.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi kaum milenial. (Foto: Ist)

Oleh Didin Hafidhuddin

BONUS demografi Indonesia memperlihatkan profil peningkatan jumlah penduduk usia produktif. Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) menunjukkan, data kependudukan Semester I 2020 sebanyak 268.583.016 jiwa (per 30 Juni 2020).

Dari total jumlah yang ada, penduduk usia produktif menginjak angka paling besar, yakni sebanyak 183,36 juta jiwa (68,7%). Jumlah ini tak sekadar angka, tetapi juga soal orientasi visioner dan kualitas kesejahteraan. Maka, pertanyaan kritisnya: "Bagaimana memberdayakan penduduk usia produktif ini untuk kesejahteraan bangsa dan negara?"

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengkalkulasi bonus demografi ini. Dari data yang ada serta melirik konteks dikeluarkannya UU Cipta Lapangan Kerja, setidaknya terdapat lebih dari 7 juta orang belum mendapatkan pekerjaan (kategori pengangguran).

Angka ini menjadi ancaman serius bagi negara mengingat dalam kurun waktu setahun, Indonesia selalu mendapat bonus angkatan kerja baru sebanyak 2 juta orang. Angkatan kerja baru ini diklasifikasikan ke dalam dua jenis pekerja, yakni pekerja formal dengan total 55,3 juta pekerja (42,74%) dan pekerja informal sebanyak 74,1 juta pekerja (57,26%).

Dari angka ini, terlihat bahwa jumlah pekerja informal lebih mendominasi daripada pekerja formal. Meningkatnya jumlah pekerja informal, umumnya dilatarbelakangi oleh perkembangan sistem informasi dan teknologi. Ruang gerak usaha dan kerja pun lebih banyak memanfaatkan infrastruktur digital.

Lalu bagaimana strategi pemerintah dalam mencermati angka ini dan peluang yang mungkin bisa diambil? Pemerintah yang bijak tentu bisa membaca semua grafik performa angka jumlah penduduk dan bagaimana kemudian ia menyusun strategi agar bisa menangkap peluang.

Pemerintah yang bijak, juga tak ingin bonus demografi hanya menjadi angka yang mampu memperkuat bangsa secara kualitatif. Jika hanya bangga secara kualitatif, untuk apa?

Dalam orientasi kebijakan jangka panjang, pemerintah tentunya membuat sebuah perencanaan matang dan melihat dengan jeli, faktor-faktor apa saja yang menghambat para pekerja untuk terjun ke lapangan kerja.

Langkah yang diambil sejauh ini adalah membuka investasi dan perluasan lapangan kerja. Dengan membuka kran investasi, pemerintah mampu menekan laju pertumbuhan ekonomi ke angka 7% atau lebih. Ini adalah target.

Dampaknya, jika pertumbuhan ekonomi menguat dengan menarik investasi, maka pemerintah mampu mengcover 7 juta penganggur dan 2 juta angkatan kerja baru setiap tahun.

Oleh sebab itu dengan adanya kebijakan pemerintah lewat UU Cipta kerja mampu menciptakan situasi iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan terciptanya lapangan pekerjaan, sehingga secara otomatis menurunkan angka pengangguran sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian saat pandemi.

Bagaimanapun juga pemerintah tidak ingin menjerumuskan atau membiarkan rakyatnya menderita, karena setiap rumusan kebijakan pemerintah pada akhirnya ditujukan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Sudah semestinya masyarakat mengapresiasi upaya pemerintah tersebut ketimbang mengolok-olok atau nyinyir apalagi sampai percaya dengan hoaks. Maka dari itu, bersama lawan hoaks dan konten negatif seputar UU Cipta Kerja dan penanganan pandemi Covid-19 guna mendukung upaya pemerintah membangun kesehatan masyarakat dan pemulihan ekonomi nasional.*

Penulis adalah Ketua Forum Pegiat Media Sosial Independen Regional Kabupaten Tangerang