Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Keledai dan 'Charlie Hodoh'
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 02-11-2020 | 14:04 WIB
A-HANG-MUCHID5.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

SAYA berusaha menelusur berbagai sumber secara daring. Saya berusaha mencari kata Charlie dan Hebdo. Kata Charlie menunjukkan sebuah nama, dan Hebdo tidak ditemukan. Yang ditemukan ketika dua kata Charlie dan Hebdo dipadukan. Kedunya pun ditemukan tentu saja dalam penelusuran via mbah Google.

Charlie Hebdo (CH) yang pengucapan dalam bahasa Prancis ?a?li ?bdo. CH adalah nama surat kabar (media) mingguan satir. Media ini menampilkan kartun, laporan, polemik dan lelucon. Karakternya bercirikan non-konformis, sangat antireligius, sayap kiri, dan anarkis.

Oleh karena tidak menjumpainya, maka Saya mencoba memadukan dengan kata Hodoh. Walaupun tidak merip-serupa. Samar-samar, Hebdoh juga terdengar menjadi Hodoh. Saya berusaha menelusur makna Hodoh dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), tidak ditemukan.

Sambil terus mencari, rupanya kata Hodoh berasal dari bahasa Melayu, Malaysia. Hodoh dimaknai sebagai jelek, buruk dan menjijikan. Saya meyakini, tidak sampai di sini, tentu ada makna lainnya lagi. Silakan berselancar untuk menemukan.

Esai akhir zaman berupaya merakit-elaborasi kata Keledai dan "Charlie Hodoh". Tanpa mendalaminya, hampir pasti semua orang di negeri ini tahu jika Keledai adalah nama hewan.

Sebaliknya, dipastikan tak banyak yang tahu, tentang "Charlie Hodoh". Saya meyakini bahwa banyak yang menduga jika CH adalah nama lain atau nama yang disamarkan dari Charlie Hebdo.

Siapa saja boleh menduga. Silakan. Yang jelas, mohon maaf khusus pada yang bernama depan Charlie. Tidak bermaksud melecehakan apalagi menyinggung perasaan. Hemat Saya jika ada dugaan, dipastikan tidak seratus persen salah juga seratus persen benar. Lima puluh-lima puluh (fifty-fifty) bolehlah. Apalagi kata (nama) Charlie disandingkan dengan nama hewan, Keledai.

BACA JUGA: Glokal, Globalis dan Geo-Ideologis

Mohon maaf, sekali lagi bukan bermaksud melecehkan ditambah menyinggung kalbu-nurani. Belum lama atau baru saja, empat hari berlalu umat memperingati kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Saya kecewa dan sedih, ntah kebetulan ataupun tidak, media beraliran kiri di negerinya Immanuel Macron ini, selalu saja berulah.

Yang lucu, ulahnya berulang lima tahunan. Sehingga tidak salah jika Saya menduga, "penistaan" yang dilakukan oleh aktor-aktor pengelolanya melalui karitur nabi, terkesan terstruktur, sistematis, dan massif. Jadi teringat Mahkamah Konstitusi.

Ihwal menelaah-cermati Keledai dan CH ini bagian dari mengantisipasi peristiwa di akhir zaman. Apalagi prihal referensi ke-nubuwah-an (eskatologi) yang terkait dengan upaya-upaya penistaan yang dilakukan baik oleh orang perseorangan maupun secara kelembagaan.

Saat ini "kesan penistaan" dilakukan oleh seorang kepala negara besar, maju konon negeri sumber lahirnya inspirasi kebebesan, dan demokrasi. Inilah negeri Prancis.

Belajar menghadapi politisi selevel Macron, dan pimpinan Uni Eropa (UE) lainnya di azkhir zaman, hemat Saya perlu upaya khusus. Ini tentu saja terkait prilaku yang terkesan berulang, terkendali, terstruktur, sistematis yang dilakukan oleh orang yang hampir sama (itu-itu saja), teristimewa pada masalah yang sama. Masalah pembodohan dan pembelokan tafsir ihwal penistaan agama menjadi kebebasan berekspresi.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin politisi selevel Macron atau lainnya, perlakonan penghinaan, penistaan agama melalui karikatur atau apapun namanya, dimaknai sebagai kebebasan berekspresi atau berpendapat. Hemat saya, sebagai antisipasi pengulangan perbuatan nista ini perlu dilakukan melalui minimal tiga pendekatan di luar yang sudah ada. Misalnya, pemboikotan produk (bidang ekonomi).

Pertama, dengan guyonan, bukan lelucon. Penistaan agama berulang-ulang yang lakon-dipertontonkan media CH, tidak hanya patut dijadikan purwasangka (suudzon), melainkan juga khusnudzon (baik sangka). Berulang mencermati jejak digital, 2015 lalu sudah dilakukan dan memunculkan respon kekerasan.

Berulangnya ulah CH, boleh jadi bung Macron lupa bahwa kesalahan yang berulang itu, selalu diasosiasikan dengan tindakan seekor Keledai yang dalam istilah pribahasa, "jangan terjerembab ke dalam lubang yang sama. Kalau masih juga, berarti seperti Keledai. Hewan saja tidak ingin terjerembab-masuk ke lubang yang sama".

Mengumpamakan Keledai ini boleh jadi berklid-klindan dengan frame teroris yang rutin dituduhkan kepada umat. Yang melalui jejak digital umum mahfum diketahui jika framenya bersumber dari kaum globalis penguasa dan pengusaha jaringan media besar dunia. Yang dalam konteks ini tindakan teroris disamakan dengan orang Islam (muslim).
Respon pemuatan karikatur di media yang sama dan berulang, mustahil bukan bagian dari upaya memframing melalui agenda setting yang pelaku pemenggalan adalah bagian dari kegiatan teror (pekakunya tentu saja teroris). Para teroris inilah yang oleh bung Macron dianggap sebagai musuh negara.

Dalam konteks ini, mustahil bung Macron yang berasal dari politisi beraliran moderat (tengah, tidak ekstrim kanan dan kiri), tidak paham. Siapa di belakang keberadaan ISIS, dan peristiwa 911, misalnya.

Mustahil, politisi sekaliber Macron tidak tahu. Saya sarankan bung Macron berkonsultasi dengan lembaga kecerdasan (intelijen) level dunia seperti CIA, dan M16. Dijamin pasti dapat jawabannya.

Hemat saya, kalaupun pada akhirnya, tidak menemukan jawaban alias bingung, maka bung Macron seperti 'kura-kura makan tahu'. 'Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan'. 'Jangan sampai Singa yang bertarung, Pelanduk mati di tengahnya'.

Kedua, dengan nasehat. Tidak berupaya untuk menggurui. Saling menasehati untuk menemukan yang haq (benar), dan bersabar adalah salau satu bagian penting ajaran Rasulullah Muhammad. Esensi ajaran ini sesuai yang disatirkan, tentu saja wajib diapresiasi oleh umat.

Namun apresiasi yang dimaksud, tidak hanya dengan yang oleh para petinggi barat termasuk bung Macron sebagai tindakan biadab dan teror. Respon juga tidak salah jika dilakukan melalui tulisan berupa nasehat.

Nasehat untuk pengelola media CH perlu dilakukan melalui pertanyaan: Apakah pihak pengelola kehabisan bahan? Atau memang ada yang memesannya untuk kepentingan politik pemilihan pimimpin? Mengapa prilaku biadab ini dilakukan berulang, lima tahunan? Dalam konteks Indonesia semacam pemilu.

Sehingga, kesalahan yang dilakukan terkesan sistematis, terstruktur dan massif. Terakhir: Mengapa pihak pengelola enggan belajar dengan Keledai yang tidak sudi terjerembab ke dalam lubang yang sama?

Ketiga, dengan berdoa. Eksprimentasi doa menjadi kewajiban tersenidri khusus bagi mereka yang mempercayai. Siapa yang dapat memprediksi sebelumnya, jika dua politikus anti Islam asal Belanda, Arnoud van Doorn, dan Joram van Klaveren akhirnya menjadi muslim.

Kedua mereka ini adalah konco akrab politikus garis keras anti Islam yang belum mau bertaubat sampai hari ini. Namanya, Geert Wilder (GW).

Hemat saya, tidak keliru jika umat di seluruh dunia berdoa agar bung GW secepatnya mendapatkan hidayah. Terlepas secara DNA, bung GW berdarah Yahudi. Pun Saya meyakini jika berdoanya dengan niat ikhlas, mustahil para pendoa diklasifikasi sebagai atau menjadi Anti Semit. Semoga bung GW mengerti, dan tidak gagal paham.

Yang pada akhirnya untuk sementara, mari berdoa agar bung Macron politikus garis tengah ini, tetap konsisten memperjuangkan apa yang menjadi semboyan bagi negara Prancis dengan, 'liberte, egalite, fraternite (kebebasan, keadilan, persaudaraan).

Siapa tahu hidayah sedang 'bercengkrama' bersamanya. Untuk pengelola media CH, mohon jangan bertindak seperti Keledai. Tindakan ini dapat merusak prinsip, "kebebasan, keadilan dan persudaran".

Tak kalah penting, menjadi Keledai bertendensi jika "kebebasan, keadilan dan persudaran" tersebut hanya milik kaum globalis, teristimewa yang ber-DNA tertentu. Wallahualam. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.