Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Glokal, Globalis, dan Geo-Ideologis
Oleh : DR Muchid Albintani
Selasa | 27-10-2020 | 14:04 WIB
A-HANG-MUCHID4.png Honda-Batam

PKP Developer

DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

ESAI akhir zaman ini berupaya merakit-elaborasi istilah Glokal, Globalis, dan Geo-Ideologis. Mengantisipasi peristiwa di akhir zaman prihal referensi ke-nubuwah-an (eskatologi) merupakan jalan penting mendapat keselamatan menuju Yaumul Mahsyar.

Konteks akhir zaman, tidak lagi menandai masa lalu, melainkan transisi: antara seperdetik masa lalu menuju seperdetik masa datang. Oleh karena itu, mengantisipasi akhir zaman inheren bagi umat mempersiapkan bekal menuju Yaumul Hisab sebelum ke Yaumul Mizan.

Berklindan-pancang pengetahuan ilmu antisipasi adalah asbab penting jika istilah Glokal, Globalis, dan Geo-Ideologis perlu diungkap-paparkan walaupun serba ringkas.

Pertama, Glokal. Istilah Glokal menginspirasi cara berpikir global, namun berposisi atau berlokasi pada aras lokal. Istilah ini populer di Malaysia satu dekade lalu sebagai antisipasi dampak negatif-positif Globalisasi.

Merespon memaknai esensi Glokal, referensi akademis buku yang bertajuk: "Gelobalisasi, Peserta atau Mangsa" turut menjadi bahan telaahan utama. Begitulah Glokal sebuah inspriasi berasbab pemikiran.

BACA: Revolusi Tersembunyi?

Belajar dari muncul-mencuatnya istilah Glokal menunjukan seolah-olah Globalisasi adalah sebuah proses keniscaaan yang tak dapat dihentikan. Manakala Glokal adalah wujud lain bagian esensi mengejar ketertinggalan sebagai upaya mentransformasi pengetahuan dan ilmu.

Dalam konteks ini, Glokal identik dengan cara berpikir, tidak justru bagian perlawanan arus Globalisasi. Jadi, esensinya Glokal adalah istilah yang berkarakter melawan dalam format intelektual, tapi bukan produk atau kebijakan.

Kedua, Globalis. Tak banyak yang menyadari sebelumnya ihwal istilah Globalis yang sudah teramat banyak disebut-sebut di akhir zaman ini. Yang banyak muncul-mencuat justru hanya hasil produknya yang oleh orang-orang dikenal dengan sebutan Globalisasi.

Sementara Globalisasi wujud produknya yang berbasis teknologi, barang mewah, merek dagang, intertaimen, dan yang lainnya. Perwujudan produknya ini, tanpa sadar mempengaruhi prilaku manusia yang seolah-olah bukan disebabkan Globalisasi.

Padahal sudah banyak referensi akademis mengingatkan jika Globalisasi adalah produk kaum Globalis. Sederhananya Globalis adalah orang per-orangan yang berkolaborasi menjadi kelompok atau organisasi yang berkarakter eksklusif menguasai tata-kelola dunia.

Dalam konteks menyambut keberadaan kaum Globalis inilah, esai akhir zaman memfokus-cermati ihwal asbab motivasi utama kaum Globalis yang berbasis ideologis.

Ketiga, Geo-Ideologis. Mahfum diyakini jika negeri "bukan lautan hanya kolam susu", ini dijuluki strategis oleh karena berkedudukan, bukan saja di antara dua Samudra, Hindia dan Pasifik, juga dua benua, Asia dan Australia. Kedudukan ini berdampak dilaluinya jalur perdagangan dunia.

Yang tak kalah pentingnya negeri ini berada di lokasi perairan yang kaya sumber daya alam. Walaupun, eksprimentasi keuntungan dari kedudukannya tersebut belum terimplementasi hingga saat ini.

Sementara, jika dicermati berpedoman Geo-Ideologis, konsekwensinya amat sangat mendalam.

Pengalaman sepanjang sejarah perjuangan dari masa kemerdekaan, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila sampai ke Reformasi-Oligarki, kedalammnya berkontribusi negatif-memprihatinkan. Yang jika tidak menjadi perhatian, sebelum akhir zaman menjemput, dikhawatirkan namanya duluan tiada.

Ketiadaan bukan hanya isapan jempol belaka. Mari cermat-telaahi dari sisi Geo-Ideologis, jika negeri ini masih dalam tahap "pertarungan ideologi" yang belum selesai.

Kemelut RUU HIP dengan isu upaya perubahan dasar negara dari Pancasila ke Tri atau Eka Sila adalah identifikasi muncul-mencuatnya "pertarungan Islam vs Komunisme" (walaupun secara regulasi, paham ini masih dilarang). Sementara Nasionalis adalah besutan cara berpikir Glokal.

Mencermati ketiga istilah ini dalam lanskap akhir zaman adalah refleksi yang menjadi determinasi pilihan, bukan sebuah keniscayaan. Dalam konteks akhir zaman dengan menggunakan Geo-Ideologis sebagai perspektifnya, keberadaan Globalis dapat dicermati yang menghasilkan dua argumentasi.

Pertama, keberadaan kaum Globalis adalah pengusung ideologi Cabalis yang memperdaya ke-Tauhid-an berperoses menuju syirik (ateis). Kaum Globalis adalah agen tunggal pembawa "misi khusus" yang wajib diketahui untuk diantisipasi.

Propaganda kaum Globalis berhasil meruntuhkan akhlaq umat. Contoh sederhana, sebuah peristiwa tatkala menyikapi prihal penghinaan terhadap umat (Islam) melalui peloncoaan kartun nabi.

Peloncoan jelas berupa penghinaan selalu dibela dengan argumentasi "kebebasan berekspresi". Sementara, manakala ada perlakuan yang sama terhadap kum Yahudi, diklasifikasi sebagai Anti-Semit.

Belum lagi jika di Uni Eropa (UE), seseorang yang menafikan keberadaan Holocaus, misalnya, mendapat sanksi hukum sesuai regulasi UE. Inilah sejumput kelucuan dari banyak contoh lainnya.

Kedua, keberadaan kaum Globalis adalah pengusung faham materialisme. Faham ini sukses menjadikan pembangunan yang selalu diasosiasikan sebagai materi.

Dalam versi lain, materi dikenal dengan sebutan proyek. Yang berkonsekwensi pada setiap membangun fisik (bangun jalan, jembatan atau lainnya) yang mengemuka selalu instrumentasi berupa fee (rente).

Istilah kerennya, "bagi-bagi proyek" atau "persentase buat saya berapa". Dalam konteks kesuksesan ini pula, hemat penulis perlu dicermat-telaahi ihwal pendapat jika paham Komunis (komunisme) dan Kapitalis (kapitalisme) adalah saudara kembar yang sengaja ditugaskan oleh kaum Globalis untuk merusak akhlaq umat.

Bersandarkan pada kedua argumentasi ihwal kaum Globalis, bukankah semuanya menuju kepada karaktar individualis? Hanya saja perbedaannya, individu yang memproduksi keserakahan dengan individu yang menjauhi keserakahan.

Itulah sebabnya pertanggungjawaban untuk menjauh dari siksa neraka adalah refleksi dari individu dulu, baru keluarga. "Jauhkan dirimu, dan keluarga mu, dari api neraka". Wallahualam. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.