Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perlu Ada Partai Bergaya 'Post Islamisme' yang Perjuangkan Politik Islam
Oleh : Irawan
Minggu | 12-07-2020 | 10:04 WIB
webinar-politik-islam.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Webinar Gerakan Pemikiran Politik Islam yang digelar Indonesia Paradise Talk, Komunitas Kopi Asyik dan Badan Hubungan Umat Partai Gelora Indonesia

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengamat Gerakan Islam Internasional Tengku Zulkifli Usman (TZU) mengatakan, Politik Islam yang diperjuangkan partai atau kelompok Islam saat ini tidak mengalami kemajuan yang signifikan, malahan terjebak pada Fundamentalis dan Islamisme.

"Kalau ada kadernya mendoktrin anti Pancasila, negara thogut, dan Pancasila syirik, itu ciri-ciri Fundamentalis dan Islamisme. Mereka harusnya kompromi dengan negara, bukan memperjuangkan jamaah tertentu," kata Tengku Zulkifli Usman dalam webinar Gerakan Pemikiran Politik Islam yang dipandu Raihan Iskandar di Jakarta, Jumat (19/7/2020) malam.

Dalam webinar yang digelar Indonesia Paradise Talk, Komunitas Kopi Asyik dan Badan Hubungan Umat Partai Gelora Indonesia, TZU menilai, perdebatan antara Islam, sekulerisme dan liberalisme tidak akan pernah selesai.

"Kita sudah 75 tahun merdeka, sudah harus mapan cara berpikirnya. Kalau terus begini, yang nasionalis menyalahkan fundamentalis ke orang Islamis, dan Islamis menuduh komunis ke nasionalis. Bentrok pemikiran itu, tidak ada gunanya," katanya.

Sebagai sesama anak bangsa, menurut dia, harus bersama-sama mencari solusi untuk mengatasi kepemimpinan yang lemah saat ini demi kamaslahatan bersama, bukan sebaliknya saling memperlemah.

TZU menegaskan, umat Islam tidak bisa lagi mengedepankan cara-cara Fundamentalis dan Islamisme dalam memperjuangkan Politik Islam, karena Indonesia telah disepakati sebagai negara demokrasi.

"Kalau berjuang, ya harus punya perwakilan agar bisa merebut kekuasaan, dan perubahan-perubahan itu diatur lewat undang-undang. Tapi politisi Islam, masih tidak bisa keluar dari bayang fundamentalis dan berhadapan dengan negara, padahal sudah era reformasi," katanya.

Menurut TZU, para politisi Islam harusnya mencontoh para pemimpin Tunisia dan Turki yang berhasil mengubah secara drastis, negara sekuler menjadi negara Islam. Tunisia dan Turki tidak lagi memperdebatkan masalah agama dengan negara

"Negara dan agama bisa bersatu, ada semacam kompromi yang dikenal sebagai madzab 'Post Islamisme'. Ini sudah dilakukan Tunisia dan Turki, mereka berhasil," katanya.

Ia mengatakan, gaya 'Post Islamisme' yang seharusnya dikedepankan oleh para politisi Islam, bukan malah memperdebatkan soal Pancasila, Islam dan Komunisme, karena hal itu sudah selesai.

"Sudah harus mapan berpikir, ternyata yang Islam kalau disuruh berpolitik Islam yang bener tidak ngerti, begitu juga yang sekuler, disuruh sekuler sekalian nggak ngerti. Jadinya saling menyalahkan si A dan si B saja tanpa ada solusi," katanya.

TZU berharap ada sebuah partai politik di Indonesia yang memiliki gaya Post Islamisme' dalam memperjuangkan Politik Islam, yang menyatukan negara dan agama.

"Siapapun yang mampu menerapkan gara Post Islamisme di Indonesia akan menjadi partai terbesar suatu saat nanti," tegas Tengku Zulkifli Usman.
Sementara itu, tokoh Reformasi 1998 dan mantan Anggota DPR dari PKS, Rama Pratama menambahkan, perjuangan Politik Islam tidak bisa diklaim hanya dilakukan partai Islam saja, sementara yang non Islam (nasionalis) tidak memperjuangkannya.

"Saya tidak ada jaminan politisi partai Islam memperjuangkan nilai-nilai Islam? Justru kadang partai non Islam memperjuangkannya," kata Rama.

Rama meminta perlu dibedakan definisi antara Islam dan Muslim, serta antara Politik Islam dan Islam Politik. Sebab, Islam tidak selalu linier dengan Muslim.

"Wajar jika ada skeptis terhadap Islam Politik, karena alih-alih memperjuangkan Islam di politik, namun malah terjebak pada politisasi Islam. Bahkan lebih jauh lagi memanipulasi Islam untuk kepentingan politiknya sendiri, kepentingan sesaat saja," tandas Rama.

Editor: Surya