Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

PPP Ingatkan Agar Revisi UU Pemilu Jangan Sampai Buat Pijakan Partai Tertentu untuk Menang Mudah
Oleh : Irawan
Rabu | 08-07-2020 | 08:52 WIB
arwani_thomafi_b.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua Komisi II Arwani Thomafi

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arwani Thomafi mengingatkan, revisi Undang-Undang Pemilu jangan sampai dibuat hanya untuk pijakan memudahkan partai politik tertentu atau kontestan tertentu untuk menang dengan mudah.

Dia mencontohkan, yakni misalnya tradisi menaikkan parliamentary threshold (PT) dianggap menaikkan kelas atau demokrasi di Indonesia.

Hal itu disampaikan Arwani dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk 'Ke Mana Arah RUU Pemilu?' di Media Center Parlemen, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (7/7/2020).

"Ini kan sesuatu yang harus kita perdebatkan. Apa iya kalau PT naik dari 4 ke 5 persen atau dari kemarin sebelumnya dua setengah dan tiga setengah, itu betul-betul sudah mencerminkan demokrasi kita naik kelas atau justru ada kepentingan-kepentingan tertentu, di luar peningkatan kualitas demokrasi kita," kata Arwani.

Arwani menuturkan, kita sudah sepakat menggunakan sistem proporsional, karena memang cocok dengan model keragaman, kebhinekaan yang kita punya. Keragaman yang kita punya tidak hanya soal agama, soal suku, bangsa dan semuanya tetapi juga soal warna politik.

"Oleh karenanya keragaman warna politik itu jugalah yang akhirnya kita memilih sistem proporsional," terang Politisi PPP itu.

Dua menjelaskan, sistem proporsional berarti kita ingin agar suara masyarakat itu semakin banyak yang harus dikonversi menjadi kursi, tidak hangus sia-sia .

"Persoalanya kalau kita menaikkan PT, itu ada problem mendasar, yaitu semakin banyak suara yang hilang, semakin banyak suara yang tidak terkonversi menjadi kursi. Artinya apa, artinya ada problem kalau kita menaikkan PT itu justru melahirkan disproporsionalitas, alih-alih untuk menaikkan kelas demokrasi kita, tapi justru yang kita lihat adalah warna politik kita itu semakin mengecil dan semakin menyempit," paparnya.

"Pada akhirnya dipaksa untuk, Indonesia itu politiknya enggak usah banyak-banyak, cukup lima kotak aja, cukup lima warna saja. Ini juga mengancam spirit kebhinekaan, semangat keragaman yang memang menjadi modal kuat kita," sambungnya.

Karenanya, lanjut dia, dalam berdemokrasi jangan terlalu terpaku pada negara yang satu lebih baik, lebih bagus dan sebagainya, tapi harus punya pilihan sendiri.

"Tujuan pemilu itu kan finalnya bukan memilih anggota DPR, bukan memilih presiden, itu kan hanya sasaran antara. Sasaran finalnya apa, sasaran finalnya ya terpilihnya anggota DPR, terpilihnya presiden yang mampu menjaga Indonesia, menjaga NKRI, menjaga Pancasila, termasuk juga menjaga kebhinekaan itu sendiri," terangnya.

Arwani mengaku khawatir jika terus mengikuti arus bahwa kalau menaikkan PT dianggap akan menaikkan kelas demokrasi Indonesia. Sebaliknya, dengan naiknya PT, maka kearifan lokal, keragaman politik yang justru itu menjadi modal kuat dari tegaknya NKRI semakin hari semakin terkikis.

"Dan akhirnya kita dipaksa untuk kembali lagi pada penyederhanaan partai politik seperti Orde Baru tanpa kita sadari, cuma caranya beda. Kalau sekarang melalui regulasi, melalui peraturan perundang-undangan dipaksa untuk ada penyederhanaan politik atau penyederhanaan warna-warna politik itu," pungkasnya.

Editor: Surya