Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPD RI Pertanyakan Aturan Sektor Industri dan Perdagangan dalam RUU Cipta Kerja
Oleh : Irawan
Selasa | 07-07-2020 | 08:52 WIB
dpd_ciptaker1.jpg Honda-Batam
Pimpinan Komite II DPD dengan Guru Besar IPDN Juanda dan Kabid BPBD Sumbar Rumainur (Foto: DPD RI)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Komite II DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof Dr Juanda SH MH, dan Kepala Bidang pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Kabid BPBD) Sumbar, Rumainur, membahas RUU tentang Cipta Kerja khususnya Bidang Perdagangan & Industri, di Ruang Rapat Majapahit Gedung DPD RI, Senin (6/7/2020).

Wakil Ketua Komite II DPD RI, Bustami Zainudin mengatakan RUU Cipta Kerja secara tidak sadar sedang menciptakan kewenangan yang super sentralistik.

"Jelas kalau semua dipusatkan akankah mampu, karena sekarang saja rentang kendali pengawasan kita belum berjalan dengan maksimal," jelas Bustami.

Anggota DPD RI Dapil DIY, M Afnan Hadikusumo mempertanyakan faktor utama yang menjadi kelemahan dari produk hukum yang ada, sehingga perlu untuk dilakukan pengaturan lintas sektor dan mencabut atau membatalkan ketentuan yang bertentangan, yakni melalui konsep omnibus law.

"Sebenarnya yang salah itu undang-undangnya atau aparaturnya sehingga perlu diatur payung hukum baru bagi beberapa produk hukum. Rentang kendalinya yang sangat panjang, sehingga menjadikan perizinan semakin sulit," ujar Afnan.

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) menyampaikan beberapa catatan kritisnya terkait RUU Cipta Kerja di antaranya mengenai wewenang pemerintah daerah yang banyak dipangkas dan dialihkan kepada Pemerintah Pusat.

Menurutnya, perlu dilakukan kajian yang mendalam dan proporsional, karena kewenangan sentralistik dinilai tidak linier dengan visi Presiden RI yang ingin membangun daerah.

"Izin usaha ditarik menjadi sentralistik, ini harus dikaji, perlu ada argumentasinya, apakah dibawa menjadi kewenangan pusat atau daerah. Kalaupun daerah selama ini terkesan berbelit-belit dalam memberikan perizinan, yang perlu diperkuat adalah kontrol dari pusat. Bagaimana daerah akan berkembang jika semua ditarik ke pusat," ujar Juanda.

Pakar Hukum Tata Negara ini melihat pentingnya peranan DPD RI dalam pembahasan setiap produk hukum sehingga pasal-pasal yang terdapat di dalamnya tidak mereduksi kewenangan daerah.

Dimana terdapat kewenangan DPD RI dalam pembahasan RUU antara lain yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hubungan pusat dan daerah.

"Saya belum melihat ada hubungan yang clear dan tegas antara DPD RI dengan daerah. Padahal daerah membutuhkan DPD RI dan DPD RI merupakan representasi dari orang-orang daerah. Perubahan produk hukum yang berkaitan dengan kemajuan daerahlah yang harus diperjuangkan oleh DPD RI, bagaimana supaya tidak mereduksi kewenangan daerah," tambahnya.

Sementara itu, Kepala Bidang pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Kabid BPBD) Sumbar, Rumainur menjelaskan bahwa fakta-fakta yang terjadi dalam kaitan dengan regulasi di Indonesia adalah banyaknya regulasi yang tumpang tindih antara pusat dan daerah sehingga perlu segera diselesaikan.

Salah satunya adalah UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang perlu dilakukan harmonisasi dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

"Konsep penyusunan norma RUU Cipta Kerja seharusnya bertujuan melakukan sinkronisasi. Namun, sistem pemusatan kekuasaan di pusat berpotensi memperlambat perizinan," katanya.

Rumainur menilai seharusnya pemerintah pusat bertugas sebagai supervisi. Daerah akan sulit berkembang karena tidak menjalankan UU yang ada karena telah dikembalikan ke pusat.

Rapat Dengar Pendapat tersebut berakhir menjelang jadwal istirahat siang. Rapat tersebut juga dihadiri oleh Anggota Komite II secara fisik dengan menerapkan protokol penanganan Covid-19, maupun secara virtual di daerah masing-masing Anggota.

Editor: Surya