Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Siapa Pasien Pertama Virus Corona yang Mengubah Hidup Kita?
Oleh : Redaksi
Jumat | 24-04-2020 | 15:04 WIB
ulah-covid19.jpg Honda-Batam
Pemakaman jenazah warga yang meninggal karena covid-19. (Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Batam - Bayangkan menjadi orang pertama. yang mengalami gejala COVID-19. Waktu itu belum disebut demikian. Orang ini mungkin mengira bahwa dia hanya kena flu biasa.

Dia tidak tahu bahwa virus itu akan menginfeksi jutaan orang di seluruh dunia, menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dan memicu kekacauan ekonomi.

Kita hanya bisa membayangkan, karena tidak tahu pasti siapa pasien pertama tersebut. Sampai saat ini.

Yang kita ketahui, orang ini berasal dari Provinsi Hubei di China dan kemungkinan besar tinggal di Kota Wuhan. Dari situlah, virus ini perlahan-lahan menyebar kemana-mana.

Pada 31 Desember 2019, saat dunia bersiap menyambut tahun baru, China menyampaikan laporan ke Organisasi Kesehatan Dunia WHO mengenai adanya beberapa kasus pneumonia aneh di Wuhan. Dan itu terjadi sejak 12 Desember.

Penyakitnya menyerupai SARS. Mereka yang terserang mengalami batuk kering, demam, badan terasa sakit dan tidak enak badan.

Apakah ini akan jadi wabah penyakit baru setelah SARS yang telah menewaskan 770 orang di dunia antara tahun 2002 dan 2003. Saat itu negara-negara Asia siap sekali menanggulanginya.

Laporan China ke WHO saat itu menyebutkan, penularan virus baru ini tidak ditandai dengan penularan dari manusia ke manusia.

Mereka mungkin saja tidak keliru saat itu.

Meskipun hampir tidak mematikan seperti SARS, namun virus misterius ini sangat menular, seperti belakangan kita ketahui.

Misteri sebuah pasar di Wuhan

Pada Januari, pihak berwenang setempat menutup Pasar Makanan Hasil Laut Huanan setelah dua pertiga kasus awal COVID-19 dilacak berasal dari pasar hewan dan daging tersebut.

Namun dugaan bahwa di sinilah asal-usul COVID-19 berpindah dari hewan liar ke manusia tetap menjadi spekulasi.

Tim peneliti China mengklaim orang pertama yang didiagnosis dengan COVID-19 diidentifikasi pada 1 Desember 2019.

Pasien pertama itu, katanya, sama sekali 'tidak memiliki kontak' dengan Pasar Huanan.

Wu Wenjuan, dokter di Rumah Sakit Jinyintan Wuhan yang melakukan penelitian ini, menjelaskan bahwa pasiennya adalah seorang pria lanjut usia yang menderita penyakit Alzheimer.

"Dia tinggal empat atau lima pemberhentian bus dari pasar itu. Karena dia sakit, sehingga bisa dikatakan dia tidak keluar rumah," katanya seperti dikutip BBC.

Jika dia adalah Pasien Pertama, maka genesis virus yang terkait dengan kelelawar kemungkinan bersembunyi di tempat lain.

Pertanyaannya, di mana dan bagaimana virus itu bisa menyebar.

Menurut pakar epidemiologi dari Australia, Allen Cheng, dari perspektif epidemiologis, mengetahui sumber wabah ini sangat penting untuk mengawasi penyakit terkait hewan di masa depan.

Namun dia menegaskan bahwa untuk saat ini "asal-usul virus tidak sepenting kebutuhan untuk mengendalikan penyebarannya".

Steven Wylie, seorang pakar evolusi virus di Universitas Murdoch, mengatakan virus itu mungkin sudah lama ada di antara kita.

"Kemungkinannya adalah bahwa virus corona ini sudah ada pada manusia sejak lama, lalu beradaptasi dengan inang barunya dari binatang liar," katanya.

"Kasus-kasus pertama diidentifikasi di Wuhan pada November, tapi mungkin sudah terjadi sebelum itu, dan virusnya mereproduksi dan menyebar di dalam tubuh manusia," jelasnya.

"Ketika virus ini belajar untuk menyebar dari orang ke orang, hal itu menjadi masalah," tambah Wylie.

Rumor soal laboratorium di Wuhan

Pemerintah AS saat ini sedang menyelidiki teori lain yang jauh lebih kontroversial.

Kepada media Fox News, Presiden Donald Trump mengatakan: "Semakin banyak kita mendengar cerita, kita sedang melakukan pemeriksaan sangat teliti terhadap situasi mengerikan ini."

Wakil Presiden Mike Pence bahkan lebih jauh menuntut China untuk "berterus terang".

Sentimen serupa disuarakan Mendagri Australia Peter Dutton, yang menyebut China "berutang" kepada warga Australia yang meninggal akibat virus ini.

Pemerintah China dan petugas laboratorium di Wuhan membantah keras bahwa pihaknya terkait dengan wabah itu.

Teori ini menyebutkan bahwa virus itu entah bagaimana dimanipulasi oleh para ilmuwan China.

"Tidak ada bukti bahwa SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19 pada manusia, berasal dari sebuah laboratorium di Wuhan," jelas Profesor Edward Holmes dari Universitas Sydney.

Prof Holmes mengatakan kelimpahan, keanekaragaman dan evolusi virus corona pada satwa liar menunjukkan penyakit ini muncul secara alami.

"Namun, pengambilan sampel yang lebih besar dari spesies hewan di alam, termasuk kelelawar dari Hubei, diperlukan untuk menentukan asal-usul yang tepat," katanya.

Tetapi Profesor Nikolai Petrovsky dari Flinders Unversity mengatakan meski sejauh ini belum ada bukti bahwa virus ini hasil manipulasi lab, namun pantas diselidiki lebih lanjut.

Mudik Tahun Baru Imlek

Virus baru dan sangat ganas ini secara diam-diam dan efektif menyebar di Wuhan dan wilayah sekitar yang padat.

Pada saat yang bersamaan, banyak warga China mudik Tahun Baru Imlek pada tanggal 24 Januari.

Ratusan juta warga China melakukan perjalanan pulang atau pergi ke luar negeri selama masa tersebut.

Ketika semakin jelas virus ini baru dan berbahaya, pihak berwenang pun berusaha menghentikan, dengan cara menyetop transportasi dan membatalkan kegiatan masyarakat.

Tapi sudah terlambat untuk menghentikan jutaan orang yang telah menyelesaikan perjalanan mudik mereka.

Namun pada tahap-tahap ini, dunia masih menganggap kejadian mengerikan ini sebagai "masalah China" sendiri.

Negara-negara seperti Australia mulai memperhatikan dan bertindak, tapi di tempat seperti Italia dan Korea Selatan, kerusakan sudah terjadi.

Menyebar dengan cepat

Seorang wanita di Thailand yang melakukan perjalanan dari Wuhan adalah orang pertama di luar China yang terkena virus corona.

Wanita berusia 73 tahun ini mengatakan dia sama sekali tidak mendatangi pasar mana pun. Dia hanya pernah makan di restoran dan melihat orang-orang batuk di sekitarnya.

Kemudian, di Korea Selatan, seorang anggota jamaah keagamaan yang belum pernah ke Wuhan, terjangkit penyakit ini.

Wanita itu pergi makan siang dengan teman-temannya, lalu ke spa dan berdebat dengan pejabat kesehatan masyarakat sebelum akhirnya mengajukan tes COVID-19.

Korea Selatan telah melaporkan 10.638 kasus dan 237 kematian sejauh ini.

Di AS, seorang pria yang pernah datang ke Wuhan kembali ke rumahnya di Washington pada 19 Januari.

Dia tidak menunjukkan gejala ketika tiba di rumah, tapi telah membaca berita tentang corona dan ketika merasa sakit, dia langsung ke dokter.

Kemungkinan pasien pertama di Amerika telah melakukan hal dengan benar, tapi hal itu tidak menghentikan ledakan kasus di sana.

Infeksi ini menyebar dengan cepat. AS kini telah menjadi sumber nomor satu infeksi COVID-19 di dunia.

Penyebar utama, 'bom biologis', dan kapal pesiar

Di Italia, kasus pertama dialami seorang pria berusia akhir 30-an mengembangkan kasus pneumonia aneh dan datang ke rumah sakit di Lombardy pada 18 Februari.

Pasien ini memiliki COVID-19 tapi tidak menunjukkan gejala selama hampir sebulan - dia main bola, jogging, menghadiri acara makan malam.

Pria itu tidak memiliki kontak yang diketahui dengan seseorang dari China, dan mungkin terkena penyakit itu dari orang lain di Italia.

Mungkin saja dia sudah merupakan ke-10 atau 20 atau ke-100.

Viru corona segera menjadi bencana di Italia: menyerang populasi lansia di sana, menewaskan sedikitnya 24.000 orang dan menginfeksi sekitar 180.000 lainnya.

Di Australia, kasus COVID-19 yang pertama kali dikonfirmasi berasal dari seorang pria berusia lima puluhan yang melakukan perjalanan dari Wuhan ke Melbourne pada 25 Januari.

Tetapi kelompok terbesar yang terinfeksi di Australia sekarang bukan lagi dari luar negeri, tapi dari dalam masyarakat kami sendiri.

Foto-foto kerumunan orang di pantai Bondi di Sydney pada Maret lalu menjadi viral karena mereka mengabaikan rekomendasi untuk tinggal di rumah. Pada hari-hari berikutnya, belasan orang di Bondi dinyatakan positif.

Lalu, keputusan untuk membiarkan kapal pesiar Ruby Princess berlabuh di Sydney pada 19 Maret menyebarkan lebih dari 400 kasus COVID-19 ke Australia.

Kerumunan massa tampaknya telah menjadi akselerator ekstrim yang menciptakan lonjakan kasus besar di seluruh dunia.

Pertandingan bola antara Atalanta dan Valencia digambarkan sebagai "bom biologis" yang menyebarkan virus di dua negara.

Sepertiga dari kasus di India juga dikaitkan dengan pertemuan kelompok keagamaan di Delhi.

Bisakah kita mencegah pandemi lain?

Penyebaran virus saat ini mungkin tampak menakjubkan dalam skalanya dan kematian yang diakibatkannya, tapi dalam satu hal kita beruntung.

Bayangkan jika COVID-19 sama mematikannya dengan SARS dan MERS, tetapi dengan daya menularnya sebesar sekarang.

Dalam skenario itu, tanpa vaksin, kita akan mengalami wabah modern dengan kematian global yang mungkin mencapai ratusan juta.

Sejumlah pakar menyebutkan, paparan virus corona terutama berasal dari keinginan untuk makan daging.

Di saat dunia terglobalisasi di mana orang dan barang mengalir dengan bebas, kuman dan virus dapat menyebar dalam waktu singkat.

Jika pencegahan virus turunan hewani tidak dimungkinkan, maka kesiapsiagaan menghadapi pandemi berikutnya sangat penting.

Kemampuan untuk menguji dan melacak terbukti sangat penting dalam perjuangan untuk mengendalikan, menekan, dan mungkin menghilangkan ancaman baru.

Sistem politik yang transparan pada saat krisis merupakan penyelamat.

Bahkan negara terkaya di dunia gagal bertindak cukup cepat untuk mencegah bencana.

Di New York, lubang kubur yang penuh dengan peti mati mencerminkan kegagalan mengatasi hal ini.

Di Inggris, seorang Perdana Menteri yang bercanda soal berjabat tangan dengan penderita COVID-19, justru hampir mati.

Kehidupan pasca pandemi

Ketika virus ini akhirnya bisa diatasi, bagaimana kehidupan kita selanjutnya?

Apakah kita masih akan secara spontan menjabat tangan kenalan baru? Atau tidak lagi.

Kapan kita bisa kembali ke pantai dan berbaring di pasir di antara ratusan orang asing tanpa merasa khawatir?

Sulit membayangkan ke supermarket dan memegang sebiji alpukat tanpa merasa khawatir sama sekali.

Namun seiring dengan itu semua, mungkin juga kita akan berterima kasih kepada virus corona.

Kita jadinya dapat lebih menghargai kesehatan kita sendiri, karena seakan diingatkan hal ini bisa hilang dalam sekejap.

Mungkin saja ritme gaya hidup lama akan dengan tetap dilanjutkan begitu badai ini berlalu.

Tapi pandemi ini mungkin juga menginspirasi diri kita, masyarakat, dan seisi planet mengenai perlunya gaya hidup baru.

Dan dari keganasan COVID-19 bisa saja muncul sesuatu yang lebih baik bagi kita semua. Mungkin.

Sumber: vivanews.com
Editor: Chandra