Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dampak Strategis Covid-19 Terhadap Perbankan dan Ketahanan Pangan
Oleh : Opini
Kamis | 23-04-2020 | 08:20 WIB
bank1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi kantor bank. (Foto: Kompas)

Oleh Almira Fadhillah

DAMPAK pandemi Covid-19 terhadap sektor perbankan dan pangan di Indonesia semakin meresahkan. Semakin meningkatnya jumlah kasus covid-19 di Indonesia menyebabkan sejumlah aktivitas ekonomi melambat.

Apalagi ditambah berbagai daerah sudah menuju ke arah kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sehingga nantinya bisa memicu berhentinya aktivitas ekonomi sebagai antisipasi merebaknya covid-19.

Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dijangka pendek dan menengah akan mengalami perlambatan yang cukup tinggi juga.

Sementara terbatasnya akses masyarakat beraktifitas diluar mengakibatkan munculnya lonjakan permintaan akan kebutuhan pokok. Tak seimbang dengan kemampuan produksi pangan yang kondisinya begitu terbatas.

Kebijakan pemerintah Work From Home (WFH) mulai dari bekerja, belajar, dan beribadah membuat mayarakat melakukan pembelian sembako secara masif sebagai upaya untuk memenuhi ketersediaan waktu mendatang.

Seberapa besar perlambatan ekonomi dan ketahan pangan di Indonesia, hingga hari masih belum dapat dihitung secara pasti. Namun perlambatan aktifitas ekonomi sudah terasa, terutama di sektor pariwisata, beberapa industri, perdagangan, transportasi dan investasi.

Sektor-sektor tersebut bahkan banyak mengalami pemberhentian aktifitas ekonomi. Di sektor pangan juga sudah mulai terasa dengan mulai tingginya harga-harga bahan pokok di pasaran.

Jika tidak diantisipasi segera mungkin, dampak yang mengenai sektor riil bisa merembet ke sektor perbankan dan ketahanan pangan. Tentu ini sangat mengkhawatirkan, mengingat Indonesia pernah mengalami krisis 1997-1998 dimana sistem perbankan ambruk akibat meningkatnya kredit bermasalah dan gejolak pasar keuangan.

Sembako di masa itu juga mengalami lonjakan harga yang tajam sehingga melemahkan daya beli mayarakat. Lebih mengkhawatirkan lagi, pandemi Covid-19 bisa jauh lebih parah meluluhlantakkan sistem perbankan dan pangan, mengingat skalanya yang global.

Untuk mengantisipasinya, pemerintahan telah membuat stimulus untuk menjaga agar ekonomi Indonesia tidak berlama-lama melambat.

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Di dalam Perppu tersebut, Bank Indonesia memiliki kesempatan bisa membeli SUN dan atau SBSN di pasar perdana. Perluasan kewenangan ini tentu angin segar dalam mendapatkan defisit fiskal yang lebih besar.

Disamping itu, memangkas suku bunga untuk memberikan stimulus moneter berharap bisa membuat nilai tukar rupiah terjaga. Stimulus berikutnya, meningkatkan pelonggaran moneter melalui intrument kuantitas melalui pemangkasan kewajiban pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM).

Dengan penurunan GWM tersebut akan ada tambahan ketersediaan likuiditas. Di sektor perbankan, relaksasi dan restrukturisasi menjadi kebijakan yang strategis dilakukan untuk menjaga kualitas kredit tetap lancar.

Dampak strategis lainnya adalah sektor pangan. Kebijakan Work From Home (WFH) yang menciptakan permintaan bahan pokok masif membuka peluang import meningkat. Import komoditas pangan menjadi strategis guna menutupi kekurangan stok pangan dari industri lokal.

Disamping itu,stok yang cukup di pasar akan mampu menjaga kestabilan harga sehingga daya beli masyarakat bisa terjaga. Apalagi sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan dan Syawal dimana permintaan kebutuhan pangan selalu meningkat. Selanjutnya, mengingat produk-produk hewani ikut terimbas pandemi covid-19.

Maka, harus ada strategi mengganti sumber protein hewani ke sumber protein nabati sehingga asupan makanan sehat tetap terjaga pula. Perlu adanya pemantauan rutin pula untuk memastikan lancarnya distribusi pasokan pangan dan terkontrolnya harga yang terjangkau.

Pemerintahan pun sudah meminta menteri dalam negeri untuk menginstruksikan pemerintah daerah agar menjaga stok pangan masing-masing. Instruksi ini merupakan tindaklanjut untuk mewaspadai peringatan Food and Agriculture (FAO) yang menyatakan pandemi covid-19 bisa berdampak pada kelangkaan pangan.

Tidak hanya itu, pembukaan Persetujuan Impor (PI) terhadap impor pangan sudah dilakukan dan langkah ini merupakan bentuk respon pemerintah yang adaptif terhadap situasi pandemi covid-19 kali ini.

Pemerintah juga melalui Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan penandatangan kesepakatan bersama antara suplier dan produsen guna menjaga ketersedian stok dan stabilitas harga.

Alhasil kita perlu mengapresiasi ketegasan pemerintah atas penanganan antisipasi dampak krisis sektor perbankan dan ketahan pangan dari pandemi covid-19. Selanjutnya tinggal bagaimana pemerintah mengomunikasikan hal ini dengan jelas kepada pihak-pihak yang terkait.

Apabila komunikasi berjalan dengan baik hingga ke bawah. Maka pesan yang sampai ke masyarakat dan ke pasar internasional terlihat nyata dan tegas, yakni Indonesia memiliki solusi perbankan dan ketahanan pangan yang terukur dan terkendali dengan baik.*

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gunadharma Jakarta